Chereads / Predestinasi Cinta Gayatri / Chapter 15 - Jangan Membohongi Eyang

Chapter 15 - Jangan Membohongi Eyang

"Untuk apa aku terobsesi? Aku hanya memenuhi permintaanmu untuk menandatangani perjanjian itu," sahut Gayatri tanpa ragu.

Entah mengapa, mendengar jawaban Gayatri, Ganendra merasa sakit hati. Terasa nyeri di dalam dadanya begitu mengetahui jawaban Gayatri. Pasti gadis itu menjawab sesuai isi hatinya. Ganendra baru menyadari bahwa istrinya itu tidak mempunyai perasaan apa pun kepadanya. Entah kenapa Bu laki-laki itu seakan tidak rela.

Sesungguhnya Gayatri memang telah lama menyimpan perasaan kepada Gerindra. Rasa cinta yang sudah lama juga berusaha untuk dia musnahkan karena tahu jika Ganendra membencinya sejak kecil.

Semenjak malam pertamanya dengan laki-laki itu, dia benar-benar sudah mati rasa pada Ganendra. Mendapatkan perlakuan kasar dari sepupu yang menjadi suaminya itu membuat semua perasaan yang bertahun-tahun lamanya telah dia pendam sendiri akhirnya hilang dalam sekejap. Dia benar-benar kecewa dengan Ganendra.

'Apa lagi yang bisa kuharapkan dari laki-laki ini. Kalau saja bukan karena memenuhi permintaan Eyang Putri dan Eyang Noto, aku tak akan mau untuk menikahinya. Dasar laki-laki tak punya hati dan perasaan!' batin Gayatri geram.

Gayatri beranjak dari sofa dan membuka lemari, lalu mengeluarkan satu setel pakaian. Tanpa ragu dia melenggang ke kamar mandi. Tak lama terdengar gemericik air.

'Mungkin dia lagi mandi. Mau ke mana lagi, dia?' batin Ganendra.

Ganendra membiarkan saja Gayatri berbuat apa pun. Dia pura-pura tak peduli padahal dalam hatinya dia juga ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Gayatri sesudahnya.

Tak lama Gayatri keluar dari kamar mandi. Da telah berganti pakaian rumahan. Ganendra yang mencuri pandang ke arahnya diam-diam tersenyum lega. Ternyata istrinya itu tidak akan pergi, pakaian yang dia pakai sudah menunjukkan hal itu.

Tak lama terlihat Gayatri membentangkan sajadah. Rupanya dia hendak beribadah. Ganendra hanya memperhatikan apa yang dilakukan oleh Gayatri. Laki-laki itu tidak tersentuh sama sekali hatinya untuk untuk ikut beribadah. Dia malah membaringkan dirinya di kasur.

Dengan berbantalkan lengannya sendiri, laki-laki itu menatap langit-langit kamar. Sesekali melihat ke arah Gayatri yang sedang bersujud. Lalu kembali lagi menatap langit-langit kamar karena takut terpergok Gayatri kalau dia memperhatikan tingkah gadis itu.

'Aku nggak pernah melihatmu salat. Apa kamu memang tak pernah melakukannya?" tanya Gayatri sambil membereskan mukena yang baru saja dia pakai.

"Itu bukan urusanmu. Kamu urus aja dirimu sendiri!" sahut Ganendra ketus dan dengan wajah yang ditekuk.

"Aku hanya mengingatkanmu sebagai seorang istri," kata Gayatri tak mau menyerah juga.

"Nggak usah pura-pura peduli sama aku. Ibadahku adalah urusanku, bukan urusanmu."

"Terserah kamulah. Aku hanya mengingatkan."

Gayatri pasrah dengan apa yang menjadi keinginan suaminya itu. Toh dia sudah mengingatkan. Jika Ganendra tidak mau melakukannya, biarlah laki-laki itu sendiri yang menanggung dosanya.

"Le, kamu ndak laper Le?"

Terdengar ketukan pintu dan juga suara yang Noto memanggil, menginterupsi ketegangan yang terjadi di antara mereka berdua.

"Iya, Eyang, sebentar!" seru Ganendra langsung beranjak dari tidurnya. Dia membetulkan bajunya yang sedikit kusut dan memandang tajam ke arah Gayatri.

"Ayo kita turun! Jangan sampai Eyang Noto curiga," ajak Ganendra.

Gayatri mengikuti langkah suaminya setelah terlebih dahulu bercermin dan membetulkan letak kerudungnya. Ganendra membuka pintu kamarnya dan ternyata sang eyang masih ada di sana. Laki-laki sepuh itu tersenyum kepada cucu dan cucu mantunya itu.

"Kupikir kalian sudah lupa dan tidak merasakan lapar lagi karena sudah berduaan di dalam kamar," ledek Noto yang ditanggapi dengan tawa oleh Ganendra

"Eyang bisa aja. Tentu saja kami lapar lah. Kami kan juga manusia, Eyang," sahut Gayatri.

Mereka bertiga berjalan beriringan menuju meja makan. Mereka duduk mengelilingi meja makan. Gayatri mengambilkan nasi dan lauk-pauknya untuk Noto dan juga untuk suaminya. Mbok Minah--ART Noto--memasak menu yang benar-benar menggugah selera. Mereka makan dengan lahap walau pun tanpa bersuara.

Selesai makan, Noto duduk di ruang baca seperti biasanya. Meneruskan bacaannya yang tadi sempat tertunda. Jika pagi hari, Noto lebih suka membaca di teras sambil menikmati sinar matahari. Namun, jika siang hari, dia memilih membaca di ruang baca yang bersebelahan dengan ruang kerja.

Ruang baca itu sudah seperti perpustakaan saja. Ratusan buku tertata rapi di sana. Kebanyakan buku-buku tentang ekonomi. Maklum saja, sebagai seorang pengusaha, bacaan seperti itu seperti sebuah kebutuhan bagi mereka.

Ratusan koleksi majalah bisnis juga terlihat memenuhi rak. Bersanding rapi dengan majalah mengenai batik dan seni rupa. Belum lagi tumpukan koran yang menjulang tinggi di rak tersendiri.

Sementara Gayatri membantu Mbok Minah mencuci piring dan membereskan peralatan makan mereka. Mbok Minah sudah melarang tetapi gadis itu tanpa canggung tetap mengerjakannya.

Ganendra langsung kembali ke kamarnya, setelah melihat apa yang dilakukan oleh istrinya. Sudut bibirnya sedikit terangkat melihat Gayatri yang bersikukuh mencuci piring membuat Mbok Minah terpaksa mengalah dan meninggalkannya. Dari kejauhan, Noto yang baru saja keluar dari ruang baca memperhatikan tingkah cucunya. Dia tersenyum simpul lalu menggelengkan kepala.

Saat melihat Gayatri sudah selesai membereskan peralatan makan, Noto yang sudah duduk di samping meja makan memanggil gadis itu.

"Gayatri, sini Nduk! Duduk dekat Eyang."

Gayatri pun tersenyum dan menghampiri Noto. Cucu mantu Noto itu pun menarik sebuah bangku dan duduk berhadapan dengan Noto.

"Ada apa, Eyang? Apa Eyang memerlukan sesuatu?" tanya Gayatri ramah.

"Ndak, Eyang ndak butuh apa-apa. Eyang cuma pengen ngobrol sama kamu," sahut Noto sambil tersenyum.

"Apa Eyang mau dibuatkan secangkir kopi?" Gayatri mencoba menawarkan sesuatu.

"Oh, boleh. Jika kamu ndak repot." Noto mengatakan itu sambil terkekeh. Gayatri tersenyum lalu segera beranjak untuk membuatkan kopi.

Gayatri mencari Mbok Minah dan menanyakan takaran kopi kesukaan Noto. Dipandu oleh perempuan setengah baya itu, Gayatri pun akhirnya membuat secangkir kopi sesuai selera Noto. Gayatri mengingat dengan baik takarannya agar lain kali tak perlu bertanya lagi.

"Ini kopinya, Eyang," kata Gayatri sambil meletakkan minuman di meja.

"Kamu memang perempuan yang baik. Pantas saja Dahayu begitu menyayangimu," puji Noto tulus.

"Hanya membuatkan kopi, Eyang udah memujiku," timpal Gayatri sambil tertawa karena merasa senang dengan pujian Noto.

"Tak salah Dahayu mengusulkanmu agar menjadi istri Gahendra. Kamu memang benar-benar gadis yang baik. Istri yang baik dan juga cucu yang baik," puji Noto sekali lagi.

"Terus aja Eyang memujiku. Nanti kepalaku bertambah besar lalu jilbabku nggak muat lagi."

Noto tertawa mendengar reaksi Gayatri yang lucu. Dia merasa terhibur dengan kehadiran Gayatri di situ.

"Oh ya, Gayatri. Eyang mau nanya sama kamu. Apakah Ganendra bersikap baik padamu?"

Untuk sesaat Gayatri tersentak mendengar pertanyaan dari dari Noto. Namun cepat-cepat dia menguasai dirinya.

"Eyang ini ada-ada aja. Ya jelas lah Ganendra itu laki-laki yang baik." Gayatri berusaha untuk menutupi keburukan suaminya di hadapan Noto.

"Jangan membohongi Eyang. Eyang ndak suka," sahut Noto dengan tegas.

Gayatri yang mendengar itu mendadak merasa ciut nyalinya. Dia merasa bingung. Haruskah dia jujur pada Noto bagaimana sikap Ganendra padanya?