Akhirnya Ganendra menyelimuti tubuh Gayatri. Daripada dia tergoda dan tak dapat mengendalikan dirinya. Dia tak mau dituduh mesum atau memanfaatkan Gayatri yang sedang tertidur.
Kejadian malam pertama itu telah membuka pikiran Ganendra bahwa dia tidak boleh memperlakukan Gayatri dengan kasar. Dia takut istrinya itu kembali jatuh sakit dan dia disalahkan oleh Eyang Noto. Belum lagi Dokter Fandy yang seakan sedang mengancamnya.
Walaupun Gayatri menyangkal hubungannya dengan Dokter Fandy, tetapi dokter keluarganya itu tak bisa dipandang sebelah mata. Laki-laki berkaca mata itu berpotensi untuk merebut Gayatri dari sisinya. Dia ingat betul ancaman tak kasat mata yang diberikan oleh Fandy sebelum meninggalkannya setelah memeriksa Gayatri di hari itu.
***
Pagi itu Gayatri merasa gelisah sekali. Sejak tadi dia hanya mondar-mandir di kamar. Setelah sarapan bertiga dengan Eyang Noto, Ganendra masih juga belum berangkat bekerja. Dia masih ingin menikmati cutinya. Laki-laki itu menyibukkan diri dengan membaca koran pagi di teras.
Gayatri ingin sekali berbicara padanya, meminta izin untuk pergi. Dia hendak menemui ustaz Karim. Hari itu adalah hari kesepakatan mereka. Dia hendak memberikan jawaban atas proposal taaruf itu.
Gayatri merasa sedikit ragu. Dia tak tahu apakah nanti suaminya akan mengizinkannya atau tidak. Yang pasti, dia harus bertemu dengan Ustaz Karim. Dia akan memberitahukan pada gurunya itu bahwa dia membatalkan taaruf, karena sudah menikah dengan Ganendra.
Akhirnya Gayatri pun membulatkan tekad. Perlahan dia keluar dari kamar, hendak menemui Ganendra. Dia menuruni tangga sambil mulutnya komat-kamit berdoa. Harapannya tentu saja agar Ganendra memberikan izin untuk pergi.
Ganendra masih sibuk dengan korannya, ditemani secangkir kopi yang masih mengepulkan uap. Dengan hati-hati Gayatri duduk di bangku kosong, tepat di sebelah suaminya itu.
"Ada apa?" tanya Ganendra sambil mendoakan wajah.
"Aku mau izin keluar."
"Mau ke mana?" tanya Ganendra lagi sambil memasang wajah waspada.
"Ke tempat Ustaz Karim, sahut Gayatri sambil meremas jemarinya.
Ganendra bukannya menjawab, tetapi malah kembali tenggelam dalam bacaannya.
"Penting?" Laki-laki tampan itu kembali bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari koran.
"Setiap hari Minggu aku pasti datang ke kajian itu. Kamu pasti juga tahu." Kali ini Gayatri menyahut dengan penuh keyakinan.
Selama ini, Gayatri sering melihat Ganendra duduk-duduk di teras jika dia berangkat ke kajian. Terkadang laki-laki itu duduk bersama Noto. Otomatis laki-laki sepuh itu menegur Gayatri dan menanyakan tujuannya. Rasanya aneh kalau Ganendra tak ikut mendengarnya.
"Ayo aku antar." Ganendra mengatakan itu lalu melipat koran di tangannya. Menaruhnya di atas meja dan menyeruput kopi hingga tinggal setengah.
Gayatri tak menyangka jika Ganendra tak hanya mengizinkan, tetapi malah ingin mengantarkannya. Dalam hati dia merasa ragu, takut jika sampai Ganendra mengetahui tentang taaruf itu. Bisa saja dia salah paham dan akan marah. Namun, dia pun mencoba untuk berpikir positif. Toh, mereka sudah menikah.
Tak ada yang harus dikhawatirkan lagi, begitu pikir Gayatri.
"Aku ambil kunci dulu," pamit Ganendra sambil beranjak.
Ganendra melangkah ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil. Tak lama dia sudah kembali keluar dan memanaskan mobilnya. Sedikit ragu, Gayatri pun berjalan menghampirinya.
Setelah Gayatri duduk di samping kemudi, mobil berwarna merah itu pun mulai bergerak. Perlahan meninggalkan rumah dan berbaur dengan kendaraan lainnya di jalanan.
"Di mana tempatnya?" tanya Ganendra sambil fokus ke jalanan di depannya
"Masjid Jami al-Aqsa."
"Yang di jalan Tengah?"
"Iya."
Tanpa banyak bicara lagi, Ganendra membawa mobilnya dalam kecepatan sedang. Tak lama mereka pun sampai di tujuan. Langsung terlihat masjid itu sudah penuh oleh para jamaah yang hendak menghadiri kajian.
Ganendra mencari tempat parkir yang masih lowong. Akhirnya dia memarkir mobilnya di samping masjid.
"Aku tunggu di mobil," katanya begitu Gayatri hendak membuka pintu.
"Kenapa nggak ikut turun?"
"Aku nggak nyaman, nggak ada yang kukenal. Udah, jangan cerewet! Sudah mending aku mau nganterin kamu," kilahnya.
'Lagian siapa yang suruh nganterin,' batin Gayatri sambil membuka pintu. Tanpa banyak bicara lagi, dia pun turun dan melangkah memasuki masjid. Diiringi pandangan Ganendra yang entah.
Kajian pun berlangsung seperti biasanya. Sepanjang kajian, Ganendra hanya duduk di dalam mobil dengan jendela terbuka. Dia bisa mendengar dengan jelas isi kajian tersebut walaupun dia tidak turun. Dia terlalu malas untuk bergabung dengan orang-orang yang tidak dikenalnya.
Seperti sebuah kebetulan, Ustaz Karim menyampaikan ceramah tentang kehidupan suami istri. Ganendra merasa tersentil saat Ustaz Karim membahas tentang hak dan kewajiban suami terhadap istri begitu pula sebaliknya. Dia merasa tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang memberikan perlindungan dan kasih sayang kepada istrinya.
Seketika hatinya merasa tidak terima. Dalam hati dia langsung membantah hal tersebut. Menurutnya itu hanya berlaku jika pernikahan didasari atas cinta. Dengan egoisnya dia menganggap jika pernikahan mereka terjadi karena tanpa cinta. Adalah wajar jika dia tidak bisa memenuhi hak dan kewajiban seperti dalam ceramah ustaz tersebut.
Ceramah dari ustaz sudah selesai, disusul dengan tanya-jawab yang berlangsung dengan begitu seru. Para jamaah begitu antusias menyimak dan memberikan pertanyaan kepada Ustaz Karim. Terdengar beberapa pertanyaan dari para jamaah yang membahas segala hal tentang pernikahan. Ustaz Karim menjawab semua pertanyaan yang masuk dengan jawaban yang tegas, lugas, dan tepat.
Ganendra melirik ke benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir dua jam tetapi pengajian itu belum berakhir juga. Dia mulai diserang rasa bosan. Menurutnya pengajian itu tidak ada sisi yang menarik.
Maklum, selama ini dia memang memeluk agama Islam tetapi tidak begitu memperhatikan ibadahnya. Ayah dan ibunya tidak memberikan contoh yang baik tentang ibadah. Begitu pun dengan Eyang Noto.
Ganendra hampir bisa menghitung dengan jari berapa kali dia melaksanakan salat lima waktu. Bahkan laki-laki itu pun sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kalinya dia melakukan sesuatu yang sebetulnya merupakan sebuah kewajiban bagi umat muslim tersebut.
"Lama banget sih pengajiannya? Apa aja sih yang mereka bahas itu? Dasar bodoh! Kalau nggak tahu kan bisa baca buku. Atau baca di Google juga ada. Buang-buang waktu aja. Bikin lama nungguin nih," gerutunya kesal.
Untuk membunuh rasa bosannya, Ganendra pun menyetel musik dengan suara yang agak kencang. Jadi suara pengajian itu tak lagi menyentuh gendang telinganya. Berganti dengan alunan musik yang dia sukai. Sesekali dia menghentakkan tangan mengikuti irama lagu. Kepalanya pun bergoyang mengikuti irama.
Ganendra sudah tak peduli lagi sedang berada di mana. Dia hanya tahu bahwa dia merasa bosan. Mendengarkan musik membuatnya merasa sedikit terhibur. Dan melupakan kejenuhan yang melandanya.
Setelah sekian lama akhirnya pengujian pun berakhir. Ganendra bisa melihat orang-orang mulai keluar dari dalam masjid. Dia pun segera mematikan musik dan menyalakan mesin mobilnya. Namun, yang dia tunggu tak juga muncul. Entah di mana Gayatri saat ini, Ganendra merasa kesal sekali.
"Ke mana itu orang? Perasaan udah sepi masjidnya. Apa dia kabur?" gumamnya dalam ketidakpastian.