Gayatri terdiam sejenak, memutar otaknya untuk memberikan alasan yang tepat pada suaminya itu. Sejenak dia merasa ragu, haruskah berterus-terang atau mengarang cerita.
"Emm ... tadi ada suatu hal yang aku bahas sama guru ngajiku," ucap Gayatri setelah selesai menimbang-nimbang.
'Kenapa nggak jujur aja, sih? Kenapa dia nggak mau cerita padaku? Apa sebenarnya dia masih ingin nerusin taaruf itu?' batin Ganendra sedikit gusar.
"Aku udah kayak patung aja di sini. Nungguin kamu yang nggak jelas itu. Buang-buang waktu aja."
Ganendra menggerutu sambil menyalakan mesin mobilnya. Tak lama mobil itu pun bergerak meninggalkan halaman masjid.
"Bisa nggak sih kamu nggak usah marah-marah gitu. Kalau memang nggak ikhlas kenapa tadi mau nganterin?" Gayatri menimpali.
"Kamu yang salah. Kenapa lama sekali. Orang-orang udah bubar kamu nggak tahu masih ke mana lagi. Kenapa malah nyalahin aku. Bukannya minta maaf, kek, bilang terima kasih, kek, malah nyalahin orang."
Ganendra mengomel sambil tetap memperhatikan jalanan di depannya. Gayatri bengong. Seumur-umur, dia baru mendengar kalimat terpanjang yang dari mulut suaminya itu. Dia baru menyadari jika Ganendra ternyata sangat lucu kalau sedang mengomel. Sudah mirip emak-emak PMS yang uang belanjanya kurang.
"Makanya, kataku juga apa. Kalau nggak ikhlas nggak usah segala nganterin. Sok perhatian banget jadi orang," sahut Gayatri membuat laki-laki di sebelahnya itu mencibir.
"Jangan ge er kamu, ya! Kalau bukan karena Eyang Noto, aku nggak bakalan mau nganterin kamu ke sini. Dasar perempuan tak tahu diuntung!"
Ganendra kembali mengomel, tak terima dibilang sok perhatian. Padahal aslinya dia juga tak rela kalau Gayatri pergi sendirian. Takut Fandy mendekatinya.
"Lagian apaan sih yang kamu bahas sama guru ngajimu itu? Lama banget. Jangan-jangan kamu dijodohin sama jamaah lainnya, ya?"
Gayatri terkesiap mendengar perkataan Ganendra. Dalam hati dia merasa heran kenapa Ganendra mengetahuinya. Dia merasa curiga dan berpikir jika Ganendra menyusulnya ke rumah Ustaz Karim dan mendengar perbincangan mereka.
Namun, dengan segera dia segera menepis dugaan itu. Tak mungkin Ganendra mengetahui rumah Ustaz Karim dan menyusulnya. Mungkin laki-laki itu hanya menebak-nebak saja.
"Huh, dasar sok tahu!" kilah Gayatri sambil mencibirkan bibirnya
"Ya ... kali aja aku benar. Soalnya aku nggak pernah lihat kamu jalan sama laki-laki. Kamu nggak pernah punya kekasih, kan? Biasanya perempuan yang suka pengajian gitu suka di jodoh-jodohin sama ustaznya. Apa sih namanya taaruf-taaruf gitu," kata Ganendra, sengaja menyindir Gayatri.
"Ya ... menurutku sih lebih baik taaruf gitu. Sudah pasti dicarikan laki-laki yang sepadan. Seiman dan ibadahnya sudah tentu bagus. Daripada harus menikah sama laki-laki yang tak jelas agamanya," sindir Gayatri.
Semenjak menjadi istri Ganendra, dia belum pernah melihat suaminya itu melaksanakan kewajibannya; salat lima waktu. Sebuah kebiasaan buruk yang harus diubah, karena salat lima waktu adalah tiang agama. Apalagi Ganendra adalah seorang suami yang harusnya menjadi seorang imam bagi istrinya.
"Oh, jadi kamu menyesal menikah sama aku? Ya sudah kalau kayak gitu. Sekarang apa maumu? Kamu mau cerai?" tanya Ganendra to the point.
Gayatri kembali terkesiap. Dia tak menyangka reaksi Ganendra akan seperti itu. Dalam hati dia merasa cemas jika suaminya itu mempunyai niat untuk bercerai. Apa yang akan dipikirkan oleh Eyang Noto dan juga Eyang Putri jika mengetahui hal itu?
Pernikahan keduanya baru berjalan dua hari. Dan mereka sudah membahas perceraian. Bisa-bisa kedua eyang mereka langsung terkena penyakit jantung karenanya. Dia pun merasa gugup untuk menjawabnya.
"B-bukan begitu. Maksudku ... aku--"
"Kamu nggak mau kita bercerai?" potong Ganendra membuat Gayatri seketika terdiam, sedetik kemudian menganggukkan kepalanya.
"Jangan bahas perceraian lagi. Kamu harus memikirkan bagaiman reaksi kedua eyang kita jika mendengarnya," ucap Gayatri saat akhirnya bisa menguasai diri lagi.
Ganendra tak menjawab lagi. Matanya tetap fokus pada kemudi dan jalan yang mereka lalui. Dalam hati dia membenarkan ucapan istrinya itu. Eyang Noto adalah segalanya bagi Ganendra. Dia tak ingin membuat laki-laki sepuh pengganti ayahnya itu kecewa. Salah satu alasan dia menyetujui pernikahan itu juga adalah karena sang eyang.
Mereka pun terdiam, masing-masing sibuk dengan pemikirannya sendiri-sendiri. Sampai akhirnya mobil itu tiba di rumah, keduanya masih sama-sama terdiam.
"Aku tahu, kamu baru saja membatalkan taaruf entah dengan siapa. Baguslah kalau kamu ingat apa statusmu sekarang."
Tangan Gayatri yang hendak membuka pintu mobil pun seketika terhenti hingga melayang di udara. Dia begitu terkejut mendengar perkataan Ganendra. Ternyata laki-laki berbaju biru muda itu mengetahui semuanya.
'Kenapa dia bisa tahu? Apa dia mengikutiku hingga rumah Ustaz Karim?' batin Gayatri.
"Terserah apa katamu. Aku tak peduli," sahut Gayatri untuk menutupi keterkejutannya.
Lalu dia pun membuka pintu dan keluar dari dalam mobil, meninggalkan Ganendra yang telinganya terasa panas. Entah mengapa dia merasa tak rela jika Gayatri menjalani taaruf. Dia sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya dia rasakan.
Perasaan aneh itu pernah dia alami saat melihat Anandita bersama laki-laki lain. Merasa cemburu dan tak ingin Anandita mencintai dan dicintai laki-laki lain selain dirinya. Apakah itu artinya dia merasa cemburu pada Gayatri?
Ganendra menggelengkan kepalanya. Dia masih saja menyangkal perasaan itu.
'Nggak. Aku nggak mungkin jatuh cinta dan cemburu pada Gayatri. Ini pasti hanya perasaanku saja. Aku pasti nggak rela dia dekat dengan laki-laki lain karena dia istriku saja. Hanya itu alasannya,' sangkalnya dalam hati.
Ganendra mengembuskan napas kasar dan akhirnya mencabut kunci mobilnya. Turun dari benda berwarna merah itu dan melangkah memasuki rumah dengan hati yang tak menentu.
***
Gayatri langsung masuk ke kamar dan melempar tubuhnya di sofa. Memijat kening yang mendadak terasa berdenyut sakit. Mendadak dia teringat pada Harun.
Jika dia bisa memilih di antara Ganendra atau Harun, tentu saja dia memilih Harun. Dia sudah sangat mengenal betul sifat laki-laki itu. Dia tahu jika seniornya itu adalah laki-laki yang bertanggung jawab, penyabar, dan lembut dalam bertutur kata. Walaupun seorang laki-laki, tak pernah tedengar suara kerasnya, seperti membentak atau berteriak.
Jika berhadapan dengan laki-laki pun sama saja. Harun selalu bertutur lembut, tetapi tetap terdengar tegas. Sehingga semua orang pun segan kepadanya. Bahkan sepertinya tak ada seorang pun yang berani melawan atau menentang apa yang Harun katakan.
Masalah keimanan, tak usah diragukan lagi. Harun bahkan bisa disebut laki-laki saleh yang ibadahnya sangat terjaga. Dia rajin menyambangi masjid kampus untuk beribadah setiap waktunya. Itulah sebabnya Gayatri merasa senang saat mendengar Ustaz Karim mengatakan padanya, pesan Harun saat menyerahkan proposal taarufnya.
"Ustaz Karim, tolong carikan gadis yang baik dan cocok buat saya. Jika Gayatri belum mempunyai hubungan dengan siapa pun, tolong hubungkan dengan saya. Tapi jika sudah, gadis yang lainnya juga tidak apa-apa."
Tentu saja hati Gayatri berbunga-bunga mendengar pesan Harun melalui Ustaz Karim itu. Dia tak menyangka jika laki-laki yang dia kagumi itu ternyata memilihnya. Padahal, banyak gadis-gadis di luar sana yang lebih cantik dan salehah, juga kaya raya. Bukan sepertinya yang yatim piatu.
Gadis berkerudung biru itu tersentak, segera tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara pintu dibuka. Siapa lagi yang datang kalau bukan Ganendra. Suaminya itu langsung duduk di pinggir ranjang, hingga posisi mereka berhadapan. Gayatri memalingkan wajahnya, merasa jengah.
"Hei, dengar dan lihat aku. Aku ingin kita membuat kesepakatan," tegur Ganendra saat melihat istrinya itu seperti tak acuh padanya.
Terpaksa Gayatri kembali berpaling. Dia merasa penasaran, kesepakatan apa yang akan Ganendra tawarkan padanya?