Ganendra kembali merutuk kesal. Dia pun meraih ponsel yang tergeletak di dashboard. Namun dia merasa bingung sendiri karena tidak mempunyai nomor ponsel Gayatri. Otomatis dia tidak bisa menghubunginya.
"Sial! Suami macam apa sih aku ini? Nomor istri sendiri nggak punya. Ha-ha-ha ...."
Ganendra menertawakan dirinya yang begitu bodoh karena tidak pernah terpikir untuk menyimpan nomor ponsel istrinya sendiri.
"Nasib ... nasib ...." Ganendra menggelengkan kepala dan kembali menaruh ponsel di dashboard. Dia memilih menunggu karena begitu malas untuk turun. Apalagi, dia takut Gayatri akan merasa berada di atas angin karena dia menyusulnya.
"Kalau nggak demi Eyang Noto, aku nggak bakalan mau nganterin Gadis Jelek itu. Sial! Dia mau main-main denganku rupanya. Tunggu saja pembalasanku!"
Saat Gerindra sedang merutuki nasibnya, tiba-tiba saja datang seorang gadis di dekatnya. Rupanya gadis itu pemilik motor yang terparkir di sebelah mobil Ganendra.
Melihat gadis tersebut, terbersit sebuah ide dalam hati Gerindra. Dia pun keluar dari mobil dan menghampiri gadis yang sedang sibuk memakai helm itu.
"Maaf, apakah Anda baru saja menghadiri kajian di dalam masjid sana?" tanya Ganendra sopan.
"Iya, benar. Apa Anda sedang menunggu seseorang?" Gadis itu balik bertanya.
"Apa Anda mengenal Gayatri? Kalau iya apa Anda melihatnya?"
Ganendra memilih tak menjawab, malah bertanya lagi pada gadis berkerudung biru itu.
"Oh, Gayatri. Yang orangnya tinggi dan berkulit putih, bukan? Ada tahi lalat di dagu?"
Gadis itu bertanya untuk memastikan perkiraannya.
"Tepat sekali. Anda mengenalnya? Ada di mana dia sekarang? Apa masih ada di dalam?" Ganendra tak sabar untuk menunggu gadis itu berbicara.
"Oh iya. Saya kenal. Tadi saya lihat dia mau ke rumah Ustaz Karim. Rumahnya yang ada di samping masjid sebelah kiri itu."
Gadis itu menggerakkan tangannya, memberikan petunjuk arah menuju rumah Ustaz Karim. Ganendra mengangguk mengerti.
"Terima kasih, Mbak," ucap Ganendra sopan, sambil menganggukkan kepala.
"Sama-sama, Mas," sahut gadis itu sambil tersenyum. Tak lama kemudian gadis itu pun terlalu dengan motornya.
Rasa penasaran menuntun Ganendra untuk berjalan menuju rumah yang ditunjukkan gadis itu. Benar saja, setelah sampai di samping masjid, dia melihat sebuah rumah sederhana bercat putih. Di halaman dan terasnya, berjajar rapi berbagai jenis tanaman hias. Beberapa tanaman sedang berbunga, hingga terlihat asri dan penuh warna.
Ganendra mempercepat langkah dan semakin mendekati rumah tersebut. Dari kejauhan, terlihat Gayatri sedang duduk di dekat pintu. Ganendra tak ingin gadis itu mengetahui kehadirannya. Dia pun bersembunyi di balik tanaman hias yang rimbun.
Dari tempatnya bersembunyi, Ganendra bisa mendengar dengan jelas perbincangan Ustaz Karim dengan Gayatri. Suami Gayatri itu pun menajamkan pendengarannya.
"Jadi gimana Ukhti Gayatri? Apakah sudah ada jawaban untuk proposal taaruf Ikhwan Harun?" tanya Ustaz Karim pada Gayatri setelah perbincangan basa-basi mereka.
Ganendra terbelalak mendengar perkataan Ustaz Karim tersebut. Dia tak menyangka jika Gayatri akan menjalani taaruf, padahal dia sudah menjadi istrinya.
"Sialan! Apa sih maunya? Bisa-bisanya dia menjalani taaruf, padahal dia sudah berstatus sebagai istriku?" gumam Ganendra kesal.
Ganendra merasa tidak rela jika Gayatri menikah dengan laki-laki lain. Mungkin memang benar jika rasa cinta mulai tumbuh dalam hatinya. Namun, sekali lagi dia mengingkari perasaan itu. Dia memilih untuk menyangkalnya.
Menurutnya, Gayatri adalah istrinya dan karena itulah tidak boleh menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Itu saja alasannya.
"Maaf, Ustaz Karim. Sekali lagi saya minta maaf karena mengecewakan semua pihak. Tadinya saya berniat untuk menyetujui proposal ini. Tapi tanpa terduga tiba-tiba saja saya harus menjalani sebuah peristiwa yang akhirnya membuat saya harus membatalkan proses taaruf ini.
Terdengar suara Gayatri menjawab pertanyaan Ustaz Karim. Gadis itu mengatakannya dengan suara bergetar karena menahan perasaannya. Ustaz Karim terlihat terkejut mendengarnya, tetapi dia tak bisa memaksa.
Ganendra menghela napasnya dan bersiap menanti kata-kata yang keluar dari mulut istrinya itu. "To the point aja, kenapa? Berbelit-belit amat jelasinnya?" protesnya lirih.
"Ada apa, Ukhti? Apakah ada sesuatu yang meragukan?" tanya Ustaz Karim setelah bergumul dengan rasa penasarannya.
"Sekali lagi maafkan saya, Ustaz. Saya sekarang sudah menikah. Karena itulah saya membatalkan proses taaruf ini," kata Gayatri kemudian.
Ganendra yang mendengarnya hanya menggukkan kepala. Dia merasa senang karena Gayatri akhirnya mengakui status mereka yang sudah menikah.
"Wah, Ukhti sudah menikah? Kapan? Kenapa sepertinya mendadak? Secepat itukah?"
Ustaz Karim memberondong Gayatri dengan pertanyaan karena begitu terkejut mendengar pengakuan Gayatri. Setahunya, gadis itu tak mempunyai hubungan dengan laki-laki mana pun.
Oleh karena itulah Ustaz Karim memilihnya untuk menerima proposal itu. Lalu, kenapa tiba-tiba saja dia sudah menikah? Apa terjadi sesuatu dengan Gayatri? Begitu pikir Ustaz Karim.
"Begini, Ustaz. Sepupu saya hendak menikah kemarin. Tapi di hari pernikahannya tiba-tiba saja pengantin wanitanya tidak datang. Dan saya terpaksa mengikuti keinginan keluarga angkat saya untuk menikah dengan sepupu saya itu. Semua itu saya lakukan untuk membalas budi pada keluarga angkat saya," terang Gayatri panjang lebar.
Ustaz Karim diam menyimak dan menanggapi setelah Gayatri selesai bercerita.
"Baiklah, Ukhti. Saya mengerti. Maaf jika saya terkesan menekanku karena saya benar-benar tidak mengetahui hal ini."
"Tidak apa-apa Ustaz. Saya yang salah karena tidak langsung memberitahukan hal ini kepada Ustaz," ucap Gayatri sungkan.
"Sudah, Ukhti, tidak apa-apa. Ini bukan kesalahan Ukhti. Saya bisa menerima dan memahaminya. Nanti saya akan bicara dengan Ikhwan Harun mengenai proposalnya."
Ustaz Karim mengatakan itu walaupun hatinya terasa berat. Dia merasa sayang sekali jika Gayatri melewatkan proposal itu. Harun bukanlah orang sembarangan. Keluarganya adalah orang terpandang di kota Yogyakarta. Namun, apa mau dikata. Gayatri sudah menikah dengan laki-laki lain.
"Baiklah, Ustaz. Saya rasa sudah cukup. Saya mau minta izin pulang karena suami saya pasti masih menunggu di parkiran," pamit Gayatri sambil tersenyum.
Dia bangkit dari duduknya lalu menyalami Ustazah Farida dan menangkupkan kedua tangannya di hadapan Ustaz Karim.
"Hati-hati di jalan Ukhti," ucap Ustaz Karim dan iatrinya hampir berbarengan. Keduanya pun mengantarkan Gayatri hingga ke teras.
Sementara Ganendra yang mendengar Gayatri berpamitan dengan cepat mengendap-endap, kembali menuju mobil. Dia tidak ingin Gayatri memergokinya yang sedang menguping pembicaraan mereka
Tanpa sedikit pun curiga Gayatri melangkah menuju parkiran. Sepasang mata indahnya melihat ke sekeliling, mencari-cari di mana mobil suaminya berada. Begitu menemukannya, dia segera mempercepat langkah untuk menghampiri.
"Cepatlah! Lama amat jalannya, udah kayak Putri Solo aja!" hardik Ganendra padanya.
Gayatri mendengkus kesal, lalu membuka pintu dan mengempaskan tubuhnya di bangku samping kemudi.
"Kamu habis ngapain, sih? Orang-orang udah keluar dari tadi."
Seketika wajah Gayatri menegang. Dia merasa bingung harus memberikan alasan apa pada Ganendra.