Chereads / Predestinasi Cinta Gayatri / Chapter 9 - Simalakama

Chapter 9 - Simalakama

Hingga sore hari Gayatri tak keluar dari kamar. Dia hanya tiduran di sofa depan televisi. Tak ada satu pun acara yang menarik perhatiannya. Berulang kali dia mengganti channel, tetapi tetap saja tak menemukan sesuatu yang menarik. Dengan kesal dia mematikan televisi. Benda datar yang demikian besar itu pun akhirnya padam.

Sesekali dia membalas pesan yang pada ponselnya. Rupanya semakin banyak teman sekampus yang mengetahui berita pernikahannya. Berita itu tersebar dengan cepat layaknya gosip selebriti. Orang-orang yang mengenal Gayatri tentu saja langsung mengkonfirmasi berita itu padanya.

Sementara Ganendra tak juga turun dari ranjang. Bahkan laki-laki itu melewatkan salat Zuhur dan juga Asar.

Gayatri ingin sekali membangunkan Ganendra, tetapi dia tidak siap dengan kemarahan laki-laki itu. Dia takut Ganendra jadi marah karena merasa terusik tidurnya. Jadi perempuan cantik itu tetap membiarkan 'sang macan' tetap tertidur dari pada mengamuk tidak keruan.

Sesungguhnya Gayatri merasa sangat bosan dan ingin keluar dari kamar. Namun dia teringat perkataan sang suami yang melarangnya. Mau tak mau, dia tetap bertahan dalam situasi itu.

Gayatri kembali teringat dengan janjinya pada Ustaz Karim. Sehabis pengajian minggu lalu, lewat seorang jamaah perempuan, Gayatri dipanggil oleh guru mengajinya tersebut. Dia pun mengurungkan niat untuk pulang dan memenuhi panggilan Ustaz Karim.

Jamaah pengajian sudah bubar. Tinggal tersisa beberapa orang saja di masjid tempat kajian tersebut. Gayatri pun melangkah menuju sebuah bangunan di samping masjid; kediaman Ustaz Karim.

Ustazah Farida, istri Ustaz Karim, menyambut Gayatri dengan wajah berseri-seri. Perempuan berumur lima puluh tahun itu memeluknya karena mereka sudah berapa minggu tidak bertemu. Maklum, minggu-minggu kemarin Gayatri sedang sibuk dengan skripsinya.

"Kaifa haluki, Salihah?" sambut Ustazah Farida.

"Alhamdulillah, bikhair, Ustazah."

"Kapan mau wisuda?" tanya Ustazah Farida kemudian.

"Bulan depan, insyaallah."

"Alhamdulillah. Semoga diberikan kelancaran, Salihah."

"Aamiin. Syukron katsiron, Ustazah," ucap Gayatri sambil tersenyum senang.

"Afwan, Salihah. Masuk, yuk! Ustaz Karim sudah menunggumu," ajak Ustazah Farida.

Ustazah yang berbadan ramping dan berkerudung lebar itu menggandeng Gayatri untuk memasuki rumahnya. Di sebuah bangku ruang tamu, Ustaz Karim telah menunggu. Laki-laki saleh tersebut melemparkan senyum pada Gayatri. Dengan isyarat tangannya, beliau meminta gadis itu untuk duduk di sebelah Ustazah Farida.

Ustaz Karim duduk di kursi paling ujung, menghadap pintu. Gayatri menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, dan dibalas dengan cara yang sama.

"Bismillah dulu, ya?" Ustaz Karim membuka percakapan mereka, yang ditanggapi oleh Gayatri dengan menganggukkan kepalanya.

"Begini Ukhti, saya menerima sebuah CV dari seorang laki-laki yang mengajak untuk taaruf. Apakah Ukhti bersedia?" tanya Ustaz Karim pada Gayatri. Beliau pun meletakkan sebuah map berwarna biru di depan Gayatri, berisi CV dari seorang laki-laki.

Gayatri terdiam sejenak, untuk sesaat dia menimbang-nimbang. Dia memang sebentar lagi akan wisuda. Dan harapannya dia segera bisa bekerja. Setelah itu dia ingin meninggalkan keluarga Dinoto dan hidup mandiri.

Itulah yang ada dalam rencana Gayatri. Belum pernah terbersit dalam pikirannya untuk segera menikah. Namun, jika ada seorang laki-laki yang mengajaknya taaruf, bukankah itu sesuatu yang bagus? Jadi dia mempunyai alasan yang tepat untuk keluar dari kediaman keluarga Dinoto.

"Apakah Ukhti tidak bersedia?" tanya Ustaz Karim begitu melihat reaksi Gayatri yang hanya diam saja.

Sementara Gayatri sendiri masih berpikir, hingga tidak mendengar pertanyaan Ustaz Karim. Guru mengaji Gayatri itu pun berpikir, mungkin gadis di depannya itu belum ingin menikah. Namun, beliau bisa melihat jika laki-laki yang mengajukan CV padanya itu sangat bagus akhlaknya dan cocok dengan Gayatri. Dia merasa sayang jika harus melewatkan kesempatan tersebut.

"Ukhti, taaruf dalam rangka mencari pasangan yang salih itu termasuk amal salih. Dengan taaruf berarti kita telah melaksanakan perintah Nabi untuk mencari pasangan yang baik agamanya."

Ustaz Karim menghentikan perkataannya, sambil memperhatikan reaksi Gayatri. Gadis itu menundukkan kepala, tetapi terlihat menyimak setiap ucapan Ustaz Karim.

"Lagi pula, segala sesuatu yang kita lakukan untuk menyenangkan Allah, berharap ada pahala, itu termasuk amal salih. Melalui taaruf, kita bisa mengenal calon pasangan sebelum memasuki pernikahan."

Ustaz Karim kembali menambahkan. Kali ini, Gayatri mengangguk, tanda setuju dengan perkataan gurunya. Ustaz Karim menghela napas lega melihat hal itu.

"Jadi ... apakah Ukhti setuju?" tanya Ustaz Karim yang tak dapat lagi menyembunyikan rasa penasarannya.

"Apakah boleh saya pelajarinya dulu, Ustaz? Insya Allah minggu depan saya sudah memberikan jawaban saya," pinta Gayatri.

"Oh, silakan, Ukhti. Saya tunggu jawabannya segera," kata Ustaz Karim sambil tersenyum.

Gayatri pun berpamitan dengan membawa serta map itu. Sesampainya di rumah, dia segera mempelajari isi CV tersebut. Ternyata, laki-laki itu adalah seseorang yang Gayatri kenal. Dia sempat terkejut karena tidak menyangka jika Harun Al Rasyid--laki-laki yang CV-nya dia pegang--mencari jodoh dengan cara taaruf juga.

Semula dia hendak menyetujui proposal CV tersebut, tetapi pernikahan mendadak itu mengacaukan segalanya. Tentu saja dengan statusnya yang sekarang ini, dia tidak dapat lagi meneruskan proses taaruf itu.

"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" gumam Gayatri dengan hati yang gelisah.

Dia pun tak bisa menahan diri untuk berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Membuat Ganendra yang baru saja terbangun mengerutkan kening karena heran.

"Kamu kenapa mondar-mandir kayak gitu? Ada masalah apa?" tanya Ganendra.

"Bukan urusanmu," sahut Gayatri sedikit judes.

Ganendra berdecih melihat reaksi Gayatri. Dia merasa heran karena semenjak menjadi istrinya dalam dua hari itu, baru kali inilah dia melihat wajah judes sang istri.

"Sudah berani bersikap sombong, kamu, ya?" sarkas Ganendra dengan wajah sinisnya.

Gayatri malas menanggapi, hanya diam saja sambil memainkan ponselnya. Merasa tak diacuhkan, Ganendra mengusap wajahnya dengan kasar dan beranjak dari kasur. Menyambar handuk dari tempatnya dan bergegas ke kamar mandi.

***

Malam itu akhirnya Gayatri bisa keluar dari kamar. Dia hendak makan malam bersama dengan Ganendra dan eyangnya. Rasa canggung menyergapnya karena dia tidak terlalu dekat dengan laki-laki sepuh itu.

Memang sesekali Noto mengunjungi Dahayu di kediamannya, tetapi tidak pernah berbincang bersama Gayatri. Noto hanya berbincang dengan sang adik, Dahayu alias Eyang Putri. Jika bertemu dengan gadis itu dia hanya mengangguk atau tersenyum saja.

Berada dalam satu atap bersamanya tentu saja membuat Gayatri merasa serba salah. Noto sendiri juga sebenarnya tak begitu mengenal Gayatri secara personal. Dia hanya tahu jika cucu angkat Dahayu itu gadis yang baik dan tidak pernah berbuat ulah.

Sebenarnya Noto mempunyai kriteria tersendiri untuk calon istri Ganendra. Dia masih memberlakukan perhitungan bobot, bibit, dan bebet. Tidak pernah sekali pun terbersit dalam pikirannya jika Gayatri akan menjadi cucu mantunya. Namun, siapa sangka semua itu terjadi.

Situasi yang tak terduga telah terjadi di hari pernikahan Ganendra, hingga terpaksa Noto harus mengesampingkan masalah bobot, bibit, dan bebet. Dahayu telah menyodorkan Gayatri padanya dan membuatnya tak bisa menolak lagi. Tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan harga diri keluarganya.

"Apa Ganendra memperlakukan kamu dengan baik?"

Tiba-tiba saja Noto mempertanyakan hal itu. Gayatri yang sedang mengisi nasi di piring suaminya langsung menghentikan kegiatannya dan menatap Noto. Terus terang, dia tidak menyangka jika Noto akan bertanya seperti itu.

Gayatri baru saja hendak menjawab, tetapi Ganendra sudah terlebih dahulu menyahuti. "Apa Eyang curiga kepadaku?"

Gayatri jadi serba salah. Apakah dia harus bersandiwara di depan Eyang Noto untuk memperlihatkan jika mereka berdua baik-baik saja? Ataukah memberitahukan pada Eyang Noto perlakuan Ganendra padanya? Dia seperti dihadapkan pada buah simalakama.