Setelah memastikan pintu kamar mandi dalam keadaan terkunci, Gayatri segera membuka pakaiannya dan berendam. Dia kembali meringis saat bagian bawah tubuhnya terasa perih waktu terkena air. Namun, perlahan-lahan rasa perih itu menguap begitu saja setelah beberapa saat berendam. Dia merasa tubuhnya lebih segar dan lebih baik dari sebelumnya.
Gayatri mempercepat acara mandinya begitu mengigat keberadaan Ganendra. Dia takut laki-laki itu akan marah karena terlalu lama menunggunya. Lalu melakukan kekerasan lagi padanya.
Gayatri memakai pakaiannya sambil bergidik ngeri, membayangkan kejadian tadi malam. Sungguh, dia tak menyangka sesadis itu Ganendra padanya. Dalam hati dia berharap suaminya itu tak akan berbuat sesuatu yang lebih buruk lagi pagi itu.
Setelah tak terdengar lagi suara gemericik air, Ganendra segera berlalu dari kamar mandi. Dia sudah merasa yakin jika Gayatri baik-baik saja, bahkan mungkin akan segera keluar dari kamar mandi. Apalagi dia tak ingin istrinya itu memergokinya dan dikira mengintip orang mandi.
Ganendra cepat-cepat duduk di sofa, pura-pura asyik dengan ponselnya. Begitu Gayatri mendekat, laki-laki itu segera menaruh ponsel dan menatap datar ke arah sang istri.
"Makan dulu, terus minum obat," katanya, dan dengan isyarat dagunya dia menunjuk makanan yang telah tersedia di meja.
Gayatri mengangguk, lalu menghampiri suaminya. Ganendra menepuk sofa di sebelahnya, menyuruh Gayatri duduk di sana. Sambil menghela napas, perempuan cantik yang wajahnya masih terlihat pucat itu pun menuruti perintah sang suami.
"Habiskan atau aku yang terpaksa menjejalkan ke mulutmu," ancam Ganendra, membuat nyali Gayatri langsung menciut dan akhirnya menghabiskan sarapannya.
Ganendra tersenyum tipis melihat Gayatri yang ketakutan dan terburu-buru memasukkan makanan ke dalam mulutnya hingga tersedak. Dia pura-pura tak peduli dan membiarkan sang istri mengambil minum sendiri. Sesungguhnya dia tak berniat mengancam. Dia hanya ingin menggertak Gayatri agar mau makan dan minum obat.
Setelah sarapan yang hampir bisa disebut makan siang itu, Ganendra menyuruh Gayatri membereskan barang-barang mereka karena hendak check out dari hotel tersebut.
"Kita mau ke mana?" tanya Gayatri penasaran.
"Apa kamu pikir kita akan tinggal di sini selamanya?"
Gayatri mengembuskan napas dengan kasar. Merasa kesal karena Ganendra kembali bersikap seperti semula, sinis kepadanya. Tanpa bertanya lagi, dia segera mengemasi barang-barang mereka ke dalam koper.
Ganendra bukannya tak menyadari sikap Gayatri. Dia tahu, gadis itu pasti merasa kesal. Dia bisa melihat dengan jelas raut wajah Gayatri. Namun, laki-laki itu memilih untuk tak mengacuhkannya.
Segera setelah mereka check out, Ganendra mendorong koper mereka dan berjalan dengan cepat menuju parkiran. Gayatri kembali merutuk kesal. Dia merasa kewalahan untuk mengimbangi langkah suaminya yang begitu cepat. Apalagi bagian bawah tubuhnya masih terasa sakit dan seperti mengganjal.
"Cepat jalannya! Jangan berlagak seperti Putri Solo!"
Ingin rasanya Gayatri membungkam mulut Ganendra karena kesal mendengar perkataannya. Laki-laki itu seolah tak mengerti derita yang dia alami. Cara berjalannya memang tidak akan normal karena menahan rasa sakit di bagian bawah tubuhnya.
'Aku seperti ini juga karena ulahmu,' jerit hati Gayatri.
Laki-laki itu sudah sampai di tempat mobilnya terparkir dan memasukkan koper ke bagasi. Dia berdiri di samping kemudi dan meneriaki Gayatri yang menurutnya sangat lamban. Sepertinya dia lupa jika Gayatri baru saja sakit karena ulahnya.
Gayatri mempercepat langkahnya sambil menahan sakit. Dia merasa takut mendengar Ganendra berteriak. Sepertinya laki-laki itu sudah hilang kesabaran.
"Dasar lamban!"
Kembali Ganendra memaki saat Gayatri telah berada di samping mobilnya. Gadis itu hanya mengelus dada.
"Kamu pikir aku supirmu? Duduk depan sini!" bentak Ganendra saat Gayatri membuka pintu belakang mobilnya.
Gayatri kembali menutup pintu dan akhirnya duduk di samping kemudi. Percuma melawan Ganendra, laki-laki itu memang tak punya perasaan, begitu pikirnya.
'Awas kamu, ya. Sekarang kamu membenciku setengah mati! Aku harap Tuhan menghukummu dengan menumbuhkan rasa cinta padaku!' rutuk Gayatri kesal.
Gayatri tak menyadari, jika Tuhan telah mempunyai rencana untuk mereka. Rencana Tuhan adalah sebaik-baik rencana, yang tak pernah bisa ditebak atau pun digagalkan oleh manusia.
Sepanjang perjalanan, Gayatri hanya diam. Dia tahu betul kekesalan yang tersirat di wajah Ganendra. Ekspresi yang sangat dia hafal karena setiap hari itulah yang dia temui. Gayatri belum pernah melihat ekspresi lain di wajah laki-laki yang menurutnya tampan itu.
Gayatri tidak ingin membuat Ganendra marah. Untuk itulah dia berusaha agar tetap menutup mulut walaupun rasa penasaran begitu menggelitik di hatinya. Dia tidak tahu dan tidak mau tahu akan dibawa ke mana oleh laki-laki itu.
Ganendra berpikir keras bagaimana caranya agar Eyang Noto tidak mencurigai perlakuan kasarnya pada Gayatri semalam. Dia merasa kecolongan saat Dokter Fandi memergoki pergelangan tangan gadis itu yang memerah, bekas cengkeramannya. Di leher Gayatri juga ada bekas cekikannya.
Beberapa bekas merah di dada dan bagian tubuh yang lain tak perlu lagi dia cemaskan karena itu bekas kecupannya semalam. Namun, di bekas merah di pipi bekas tamparannya masih sedikit terlihat. Dia yakin Gayatri sudah mencoba menyamarkannya dengan make up. Dia bisa melihat gadis itu memakai bedak agak tebal, tak seperti yang biasa dia lihat.
"Jangan ceritakan sesuatu tentang tadi malam! Ingat, aku tak akan mengampunimu kalau sampai kamu melakukannya!"
Sekian lama berdiam diri, Ganendra akhirnya membuka mulutnya. Tak tanggung-tanggung, kata-kata yang keluar dari mulutnya bernada ancaman. Gayatri bergidik ngeri membayangkan kejadian tadi malam.
"I-iya. Aku tahu. Aku janji tak akan melakukannya," sahutnya takut-takut.
"Good job, Gadis Pintar."
Gayatri tak merasa bangga dengan pujian itu. Malah sebaliknya, dia merasa itu sebuah sindiran baginya jika melakukan sesuatu yang dilarang oleh Ganendra. Dia terlalu malas untuk menanggapi kata-kata dari laki-laki yang baru kemarin menjadi suaminya itu.
Mobil terus bergerak tanpa ada yang bersuara lagi. Hanya terdengar samar-samar suara musik dari pemutar lagu di mobil. Gayatri merasa lega saat mengenali tempat yang dilalui mereka. Dia tersenyum sambil bersyukur dalam hatinya. Apalagi saat Ganendra membelokkan mobil ke sebuah rumah yang sangat dia kenal.
Senyum Gayatri semakin lebar saat melihat laki-laki yang biasa dia panggil Eyang Noto itu sedang duduk di teras. Senyum laki-laki sepuh itu pun terkembang saat melihat kedatangan Ganendra dan Gayatri.
Noto meletakkan koran yang dia pegang di meja, lalu berdiri menyambut kedatangan cucu dan cucu mantunya itu.
"Eyang pikir kalian akan kembali besok," ucapnya begitu Ganendra mendekat dan mengambil tempat duduk di seberang meja.
"Nggak Eyang. Kami mau istirahat di rumah aja," sahut Ganendra sambil melirik Gayatri di sampingnya.
Gayatri mencium punggung tangan Eyang Noto dengan takzim, lalu duduk di sebelah Ganendra. Dia tidak berani melangkahkan kakinya ke dalam rumah sebelum disuruh oleh suaminya itu.
"Ya sudah. Istirahatlah di kamar. Kulihat Gayatri pucat sekali. Apa itu karena ulahmu semalam? Belum-belum sudah kamu ajak begadang, ya?" ledek Noto sambil tertawa.
Apa yang dipikirkan oleh Noto tentulah berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Ganendra. Noto merasa senang karena dia berpikir jika Ganendra sudah menerima Gayatri sebagai istrinya dan telah terjadi sesuatu yang mengasyikkan dengan mereka tadi malam hingga Gayatri terlihat pucat seperti itu.