Chereads / Predestinasi Cinta Gayatri / Chapter 5 - Perasaan Aneh Ganendra

Chapter 5 - Perasaan Aneh Ganendra

Sinar matahari yang masuk dari sela-sela tirai menghangatkan wajah Ganendra. Dia terbangun dan langsung menyadari sesuatu. Dia mendengar suara Gayatri yang berisik.

Ganendra beringsut turun dari ranjang dan melangkah pelan ke sofa. Gadis yang baru kemarin menjadi istrinya itu tampak terpejam, sementara mulutnya meracau. Ganendra menyentuh kening istrinya itu. Laki-laki tersentak kaget saat menyadari kening Gayatri yang begitu panas.

Ganendra merasa panik. Dia takut kedua eyangnya akan memarahinya. Baru juga satu malam menjadi istrinya, Gayatri sudah sakit. Pasti mereka akan mempertanyakan apa yang telah dia lakukan pada gadis itu.

Ganendra memutuskan untuk memanggil Dokter Fandy--dokter keluarga mereka. Jika menurut Dokter Fandy keadaan Gayatri serius, baru dia akan membawanya ke rumah sakit. Sambil menunggu dokter datang, dia membaringkan Gayatri di ranjang lalu membersihkan diri di kamar mandi.

Ganendra memang mendapatkan cuti selama beberapa hari dari tempatnya bekerja. Rencananya semula, dia hanya akan menginap di hotel itu selama semalam, lalu langsung berbulan madu ke Bali. Namun, Anandita mengacaukan rencana indahnya itu.

Dia juga tak pernah membayangkan jika Gayatri tiba-tiba saja menjadi istrinya. Gadis yang menorehkan kebencian dalam hatinya, pagi itu benar-benar berhasil membuatnya kalang-kabut karena sakit.

***

Pintu kamar terketuk dan Ganendra cepat-cepat membukanya. Dia menghela napas lega begitu melihat siapa yang datang. Dialah Fandy, dokter yang beberapa saat lalu dia panggil. Laki-laki berjas putih itu tampak berdiri di ambang pintu, menunggu disuruh masuk.

"Silakan masuk, Fan!"

"Siapa yang sakit, Ndra?"

Fandy menanyakan itu karena melihat Ganendra sepertinya baik-baik saja.

"Istriku demam."

Tanpa bersuara, dokter itu mengikuti langkah Ganendra ke kamar. Di atas ranjang terbaring Gayatri dengan mata terpejam. Fandy mengenal Gayatri karena sebagai dokter keluarga dan juga mantan teman kuliah Ganendra, dia juga sering bertemu dengan gadis itu jika Dahayu memanggil dokter ke rumah.

Dokter Fandy segera melakukan pemeriksaan dengan teliti. Matanya menyipit saat melihat lebam di pergelangan tangan gadis itu ketika memeriksa denyut nadinya. Dia juga melihat bekas cekikan di leher Gayatri saat menyibak jilbabnya untuk memeriksa denyut jantung.

Dokter muda itu memandang Ganendra penuh selidik. "Kamu melakukan kekerasan padanya?"

Ganendra terdiam karena merasa bersalah. Dengan isyarat tangannya, dia mengajak Dokter Fandi untuk duduk di sofa.

"Maafkan aku. Kumohon, jangan ceritakan ini pada orang tua atau eyangku. Aku tak sadar dan berada dalam pengaruh emosi saat melakukannya. Kau tahu, kan? Aku terpaksa menikah dengannya. Orang yang selama ini kubenci."

Fandy hanya bisa menghela napas berat. Dia memang sempat hadir dalam pernikahan Ganendra. Dia tahu bagaimana laki-laki yang ada di depannya itu ditinggalkan oleh pengantin wanitanya. Lalu Gayatri yang bertindak menjadi pengantin pengganti.

"Sepertinya dia kedinginan dan juga kesakitan. Kamu sudah menyiksanya. Dan lagi, apa kamu tak memberinya makan? Dia terlihat lemah sekali. Tekanan darahnya sangat rendah."

Ganendra tersentak. Sekali lagi dia merasa bersalah. Dia memang sengaja tak memesan makan malam untuk Gayatri. Dia sendiri sudah makan malam bersama teman-temannya sebelum masuk ke kamar.

"Maafkan aku. Aku memang bersalah. Kumohon, lakukan saja tugasmu. Aku berjanji, aku tak akan melakukan hal ini lagi padanya."

Fandy kembali menggelengkan kepala, lalu mengeluarkan beberapa jenis obat dari dalam tas perlengkapannya. Menuliskan petunjuk penggunaan, lalu kembali menutup tasnya.

"Berikan obat dan vitamin ini saat nanti dia sadar. Jangan lupa pesankan di sarapan untuknya. Aku bisa mengerti situasimu. Tapi jangan harap aku diam saja jika kamu melakukan kekerasan lagi padanya."

Fandy mengatakan itu dengan suara pelan, tetapi penuh penekanan. Sesungguhnya dia merasa tak tega melihat keadaan Gayatri. Apalagi, sejak lama diam-diam dia menyukai gadis itu. Dia tak rela melihat Gayatri tersakiti.

Fandy baru saja memantapkan hati dan mempersiapkan sebuah hunian yang nyaman untuk Gayatri. Hunian itu sudah selesai dibangun, hanya tinggal menunggu finishing saja. Kelak, dia akan memboyong Gayatri ke rumah itu jika sudah menjadi istrinya.

Rupanya, takdir tak berpihak pada dokter tampan itu. Betapa hancur hatinya saat menyaksikan pernikahan gadis pujaannya dengan Ganendra yang tiba-tiba. Dia hanya tahu jika Ganendra akan menikah dengan Anandita, bukan dengan Gayatri.

"Baiklah, Fan. Aku janji."

Ganendra mengatakan itu dengan raut wajah yang serius. Fandy mencari jejak dusta di matanya, tetapi tak ada kebohongan yang tersirat di sana. Dalam hati Fandy merasa lega.

"Jaga dia. Jika kudengar dia kamu sakiti lagi, jangan salahkan jika aku mengambilnya darimu."

Fandy mengatakan itu sambil menepuk bahu Ganedra, lalu beranjak dari sofa.

"Apa kamu menyukainya?"

Ganendra ikut beranjak dan mensejajarkan langkah dengan Fandy. Dokter itu hanya mengangkat bahu, tak mengatakan apa pun lagi. Saat tangan Fandy sudah mencapai gagang pintu, Ganendra menahannya.

"Jawab aku. Kamu menyukainya?" desak Ganendra.

"Kurasa ... kamu sudah tahu jawabannya."

Fandy menepis lengan Ganendra yang menahannya. Dia pun membuka pintu dan berlalu dari kamar itu, tanpa mempedulikan Ganendra yang masih ingin bertanya.

Ganendra meninju tembok di sampingnya. Dia merasa kesal pada Fandy karena telah tak acuh padanya. Dia juga merasa jika perkataan sang dokter tadi lebih mirip sebuah ancaman daripada nasihat.

'Apa bagusnya gadis itu? Sampai Fandy berani mengancamku gara-gara dia.'

Ganendra bermonolog dalam hati. Salah satu sisi egonya terusik dengan perkataan Fandy tadi. Dia merasa, gara-gara Gayatri, pertemanannya dengan Fandy jadi terancam.

***

Gayatri belum juga membuka matanya. Padahal sinar matahari menerobos jendela dan menghangatkan wajah mulus gadis itu. Ganendra sengaja membuka tirai lebar-lebar agar Gayatri terbangun tanpa harus dia bangunkan. Ganendra merasa malas jika harus menyentuhnya karena takut jika dia tak dapat menahan emosi seperti tadi malam.

Ganendra duduk di sofa dengan menyilang kedua tangan di dada. Laki-laki itu sudah dari tadi memperhatikan Gayatri. Menunggu gadis itu terbangun. Dia sudah memesan sarapan dan juga menyiapkan obat untuk istri dadakannya itu.

Ada perasaan aneh yang menyelimutinya saat dia memandang Gayatri yang tergolek lemah. Entah mengapa dia merasa betah berlama-lama memandangi wajah gadis itu. Wajah polos tanpa make up Gayatri seolah magnet yang menyedot perhatiannya.

Selama ini, dia tak pernah memperhatikan Gayatri. Rasa benci dalam dadanya mengalahkan apa pun, hingga untuk menatap wajah gadis itu pun dia tak sudi. Biasanya, jika datang ke rumah Dahayu, dia akan memalingkan muka jika berhadapan dengan Gayatri. Atau gadis itu yang menghindar, buru-buru masuk ke kamarnya.

Kali ini, Ganendra bahkan tak bisa melepaskan pandangan dari wajah itu. Baru disadarinya, Gayatri memiliki garis wajah yang sempurna. Hidung mancung, alis lebat mirip semut berbaris, dan juga bulu mata lentik itu, sungguh perpaduan yang sempurna. Bibir mungil itu terlihat sedikit pucat, tetapi tetap saja terasa menggoda. Ganendra tak akan lupa rasa manis yang dicecapnya semalam.

Ganendra begitu frustrasi karena tiba-tiba saja dia memikirkan Gayatri dengan segala pesonanya. Dia sendiri bingung dengan apa yang kini dia rasa. Tadi dia begitu mengkhawatirkan Gayatri hingga memanggil dokter. Lalu, sekarang dia malah merasa terpesona dengan kecantikan istrinya itu.

Laki-laki tampan itu menjambak rambutnya kasar. Sungguh, dia tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.

'Apa aku jatuh cinta padanya?' batinnya gamang.

'Tidak! Aku tidak boleh jatuh cinta padanya!' Sisi egoisnya kembali melarang.

Ganendra benar-benar berada di persimpangan. Dia merasa bingung sendiri, haruskah dia menyangkal atau mengakui perasaannya?