Resepsi telah usai. Gayatri berjalan meninggalkan ballroom hotel menuju kamar pengantin. Kamar yang telah dipesan oleh Ganendra untuk malam pengantinnya bersama Anandita. Ganendra menyuruh Gayatri untuk lebih dulu masuk ke kamar, karena dia masih berbincang dengan beberapa orang temannya.
Setelah mengunci pintu, tubuh Gayatri meluruh ke lantai. Dia menaruh cincin kawin di kotak yang berwarna cokelat, senada dengan warna bajunya. Mata indah itu mulai berkabut dan perlahan cairan bening menetes dari sudutnya. Dadanya terasa sesak karena dari tadi menahan semua kegundahan hati.
Gayatri tak tahu, haruskah dia bahagia ataukah bersedih dengan pernikahan itu. Menikah dengan Ganendra bukanlah hal yang dia inginkan. Dia sadar, sejak dulu Ganendra tak menyukainya. Laki-laki yang lima tahun lebih tua darinya itu selalu punya cara untuk membuatnya menangis.
Jika Ganendra datang ke rumah Dahayu, dia selalu mengumpat, menghardik, atau mengatai Gayatri.
"Dasar Gadis Pembawa Sial! Kamu penyebab kematian paklik dan bulikku!"
"Hey, Gadis Jelek. Aku muak melihat wajahmu. Pergi sana!"
"Gadis Aneh! Menjauhlah dari sini. Mataku sakit melihat wajah jelekmu itu."
Kata-kata kasar senada, selalu Ganendra ucapkan saat Gayatri mendekat atau tak sengaja bertemu. Gadis malang itu hanya bisa menahan rasa sesak di dalam dadanya, atau langsung berlari ke dalam kamarnya untuk menangis.
Bukan tanpa alasan Ganendra membencinya. Sebelum gadis bermata indah itu hadir, Ganendra sangat disayangi oleh Mahendra dan Arum. Paklik dan buliknya itu menyayangi sang keponakan seperti menyayangi putra sendiri.
Semenjak ada Gayatri, paman dan bibinya itu terlihat lebih menyayangi gadis itu. Kehadiran Ganendra jadi terabaikan. Bahkan, jika gadis kecil itu menangis, Ganendra yang disalahkan, karena dikira mengganggunya. Padahal Gayatrilah yang cengeng.
Kebencian itu terus tertanam di hati Ganendra hingga dia tumbuh besar dan menjadi dewasa. Gayatri yang menyadari perasaan Ganendra terhadapnya hanya bisa menghindar dan menjauhi sepupunya itu jika kebetulan Ganendra datang ke kediaman Dahayu.
Gayatri akan masuk ke kamarnya dan tak akan keluar dari sana hingga Ganedra pulang. Dahayu menyadari apa yang terjadi di antara keduanya, tetapi dia juga tak bisa memperbaiki keadaan tersebut. Dia tahu, Ganendra berwatak keras dan tak mudah berubah pendirian.
Saat Gayatri mulai duduk di bangku SMA, ada gelenyar aneh yang hadir di hatinya saat melihat Ganendra. Gayatri pun mulai menyadari jika dia menyukai sepupunya itu. Namun, dia berusaha untuk mengubur dalam-dalam perasaan itu karena sadar siapa dirinya bagi laki-laki itu.
Harusnya dia bersyukur karena apa yang dulu pernah terbersit dalam hatinya untuk bisa menjadi pendamping Ganendra sudah terkabul. Namun, jika mengingat penyebab mereka bisa menikah, hati Gayatri terasa sesak. Dia sadar, dia adalah istri yang tak diharapkan oleh Ganendra.
Air mata Gayatri terus mengalir, menyungai Gangga. Dia masih saja meratapi nasibnya. Namun, tiba-tiba saja dia tersentak saat menyadari sesuatu. Bagaimana jika Ganendra tiba-tiba masuk dan melihat keadaannya yang seperti itu? Pasti laki-laki angkuh itu akan memarahinya.
Gayatri bangkit dan berniat untuk mengganti pakaiannya. Menurut Dahayu tadi, pakaian ganti untuk Gayatri sudah disiapkan di dalam koper. Gadis itu memindai seisi kamar dan akhirnya menemukan koper yang dimaksud oleh Dahayu. Cepat-cepat dia mengambil pakaian dan berlalu ke kamar mandi.
Gayatri baru saja bersandar di sofa kamar saat pintu tiba-tiba terbuka dan Ganendra memasuki kamar. Gayatri jadi salah tingkah. Apalagi saat laki-laki yang baru saja menikahinya itu dengan cueknya membuka baju, seakan tak menganggap kehadiran Gayatri di sana.
Gayatri memalingkan muka. Wajahnya memerah karena menahan malu. Ganendra yang membuka baju, tetapi Gayatri yang malu. Sungguh, seumur-umur, gadis itu baru kali ini melihat seorang laki-laki membuka baju di hadapannya.
'Dasar perempuan munafik. Dia pura-pura malu, padahal ini yang dia inginkan,' batin Ganendra sinis.
Untung saja Ganendra hanya membuka baju saja. Laki-laki itu segera memasuki kamar mandi dan melempar keluar celana berikut dalamannya. Kebiasaan jeleknya setiap hari di rumah.
Gayatri membereskan baju kotor Ganendra ke dalam keranjang sambil diam-diam menggerutu.
"Belum-belum sudah bikin kesal aja. Kalau tak ingat dia suamiku, ingin rasanya aku pergi meninggalkan tempat ini. Tapi nanti gimana tanggapan Eyang Putri?"
Gayatri menghela napas panjang. Dia merasa Ganendra tak pernah berubah. Selalu saja membuatnya kesal. Tiada hari tanpa bersikap menyebalkan. Mungkin itu semboyan hidup Ganendra padanya.
Gayatri sedikit khawatir saat mencium bau minuman aneh di baju kotor Ganendra tadi. Seperti bau minuman keras, minuman yang dulu sering dikonsumsi oleh Eyang Kakung. Minuman yang jadi penyebab meninggalnya laki-laki kesayangan Dahayu itu.
Tak berapa lama, Ganendra keluar dari kamar mandi. Dia kembali bertelanjang dada dan hanya memakai handuk mandi sebatas pinggangnya. Jantung Gayatri kembali berdetak kencang melihat penampilan laki-laki yang telah menjadi suaminya itu.
Gayatri berdecak kesal dan menggelengkan kepala.
"Kenapa? Jangan pura-pura bersikap polos di hadapanku. Bukankah ini yang kamu inginkan? Kamu menyetujui pernikahan ini karena menginginkanku, kan?"
Ganendra mengatakan itu sambil mendekat ke tempat sofa Gayatri duduk. Dia menarik jilbab yang dikenakan Gayatri hingga terlepas. Gadis itu tentu saja gelagapan mendapatkan perlakuan seperti itu. Dia memekik, apalagi saat dengan kasar Ganendra membuka kancing piyama yang membalut tubuh perempuan yang kini menjadi istrinya itu.
"Jangan, Mas. Sadar, Mas. Jangan seperti ini." Gayatri memohon. Namun, Ganendra tak peduli.
"Kenapa, ha? Kamu kan istriku? Kewajibanmu melayaniku."
Gayatri berusaha mempertahankan piyama itu agar tidak terbuka. Namun, tenaga Ganendra bukanlah tandingannya. Laki-laki itu seperti kesetanan, menelanjangi Gayatri dan membopong tubuh gadis itu ke atas ranjang.
Dengan sisa-sisa tenaga, Gayatri berusaha untuk melawan. Sayang sekali, semua itu sia-sia. Ganendra mencengkeram dengan kasar pergelangan tangan gadis itu hingga memerah. Dia juga mencekik leher Gayatri saking kesalnya.
Ganendra mulai menindih tubuh Gayatri dan merenggut kehormatan yang telah dia jaga selama ini. Gayatri hanya bisa meneteskan air mata, saat sang suami mengambil paksa haknya. Ganendra bergerak semakin cepat, tak peduli tangisan dan kesakitan gadis itu. Setelah merasa puas, dia langsung turun dari ranjang dan melenggang ke kamar mandi.
"Ingat! Kamu hanya akan mendapatkan tubuhku, bukan cintaku!"
Seruan Ganendra sebelum menutup pintu kamar mandi semakin menorehkan luka di hati Gayatri. Gadis malang itu beringsut dari ranjang sambil menahan nyeri di bagian bawah tubuhnya. Dia meringis kesakitan saat memaksa berjalan dan memunguti bajunya yang berserakan di lantai.
***
Ganendra tidur dengan pulasnya di ranjang setelah membersihkan diri. Sementara Gayatri tidur di sofa, kedinginan karena AC berada tepat di atas sofa. Selimut yang ada hanya satu dan dengan teganya dikuasai oleh Ganendra. Laki-laki itu tak peduli dengan keadaan istrinya. Bahkan dia sengaja tak memesan makan malam untuk Gayatri.
Gayatri menggigil sepanjang malam. Rasa sakit di bagian sensitifnya juga masih terasa. Dia tak berani mengambil selimut yang dipakai Ganendra. Apalagi untuk bergabung dengan laki-laki itu di ranjang, agar dapat berbagi selimut dengannya. Dia takut Ganendra akan mengulangi perbuatan kasarnya tadi.
Ganendra memang berhak atas tubuhnya. Bagaimana pun juga, laki-laki itu adalah suami Gayatri. Namun, yang membuat gadis itu merasa tak terima, kenapa harus memperlakukannya dengan kasar? Bukankah tanpa dipaksa pun Gayatri akan memberikan apa yang menjadi hak dari laki-laki itu?
Menjelang subuh, Gayatri baru bisa memejamkan mata. Rasa sakit, dingin, dan juga lapar tak lagi bisa menghalangi kantuknya. Dia terlelap dengan posisi meringkuk di sofa.