Chereads / Predestinasi Cinta Gayatri / Chapter 1 - Ke Mana Pengantin Wanitanya?

Predestinasi Cinta Gayatri

Rara_Kurnia
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 13.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Ke Mana Pengantin Wanitanya?

Jas berwarna broken white itu membalut tubuh Ganendra dengan sempurna. Badannya yang tinggi dan atletis semakin terlihat perfect dengan balutan pakaian dari desainer ternama dari Yogya itu. Ganendra mematut diri di depan cermin sambil tersenyum. Hari itu dia merasa benar-benar bahagia, karena impiannya bersanding dengan Anandita akan segera terwujud.

Beberapa menit lagi menjelang pukul delapan pagi. Ganendra segera meninggalkan kamar ganti setelah penata rias memastikan tak ada yang kurang dengan penampilan calon pengantin pria. Noto Prawiro--sang kakek--menggandeng erat lengan cucu kesayangannya itu dengan bangga.

"Kamu sudah siap, Le?¹ Jangan bikin malu Eyang, ya. Ucapkan dengan lantang, hingga seisi dunia tahu jika hari ini kamu menikahi pujaan hatimu."

Noto menghentikan langkah sejenak setelah mengatakan itu, hingga Ganendra pun ikut berhenti. Noto merapikan dasi kupu-kupu yang bertengger di kerah kemeja Ganendra yang dia rasa sedikit miring, lalu tersenyum sambil menepuk pundak sang cucu.

"Ingat, jangan gugup. Oke?"

"Siap, Eyang. Cucumu ini paling bisa diandalkan," sahut Ganendra sambil tertawa.

"Jangan seperti bapakmu, ya. Dia gugup saat menikahi ibumu, hingga harus mengulang sampai tiga kali, ha-ha-ha ...."

Kakek dan cucu itu tertawa bersama, terlihat begitu bahagia. Noto sampai menitikkan air mata karena hal itu. Perlahan diusapnya sudut mata yang penuh keriput itu dengan sapu tangan yang selalu tersedia di kantung celananya. Mereka berdua pun memasuki gedung dimana akad nikah akan segera digelar.

Di deretan kursi paling depan, telah menunggu Panji Prawiro dan Retno Pangestuti, bapak dan ibunya Ganendra. Mereka berdua tersenyum saat melihat kedatangan sang putra semata wayang. Panji segera mengambil tempat duduk di samping Ganendra karena akan menjadi walinya. Sementara Noto Prawiro pun duduk di sebelah menantunya.

"Waktu begitu cepat berlalu, Romo masih ingat saat pertama kali menuntunnya berjalan," ucap Noto lirih.

"Iya, Romo. Sebentar lagi Ganendra juga akan memberikan seorang cicit untuk Romo." Retno menimpali ucapan mertuanya.

"Semoga saat itu tiba, Romo masih kuat untuk menggendongnya," kata Noto penuh harap.

"Pasti Romo kuat. Saya doakan Romo selalu sehat dan panjang umur," sahut Retno, memberikan semangat pada sang mertua yang amat menyayangi putranya itu.

Noto tersenyum senang. Ibunya Ganendra itu selalu bisa menyenangkan hatinya walaupun hanya dengan kata-kata. Itulah yang membuat dia selalu merasa terhibur jika berdekatan dengan perempuan itu. Namun, beberapa detik kemudian Noto merasa gelisah.

"Apa pengantin wanitanya belum datang? Romo kok belum melihatnya?" tanya Noto kemudian.

"Iya, Romo. Rombongan pengantin wanita memang belum datang. Saya juga nunggu-nunggu sejak tadi."

Noto melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Sudah jam delapan. Kenapa mereka belum datang juga? Bukankah harusnya jam segini mereka sudah akad?"

"Saya juga kurang tahu, Romo. Mereka belum ada kabarnya hingga sekarang. Baru saja saya telepon tetapi tidak diangkat."

Retno mengatakan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Harusnya rombongan pengantin wanita sudah sampai, tetapi entah kenapa mereka belum kelihatan juga. Bahkan calon besannya juga sudah Retno hubungi tetapi tidak ada jawaban. Benar-benar membuat semua orang khawatir.

Tak hanya Noto yang merasa khawatir. Ganendra sendiri sudah berkali-kali melirik arloji mahal yang menghiasi pergelangan tangannya. Dia mengucek mata, mencoba memastikan penglihatannya tidak bermasalah. Atau mungkin arlojinya yang bermasalah?

'Ke mana Anandita? Kenapa dia belum datang juga?' batin Ganendra gelisah.

Penghulu yang hendak menikahkan Ganendra juga terlihat gelisah. Berkali-kali dia memeriksa arloji di lengan kirinya. Merasa tak sabar lagi, dia pun mulai membuka suara.

"Pak, ini sudah setengah jam dari pukul delapan. Kenapa pengantin wanitanya belum datang? Apa tidak ada yang bisa dihubungi?" tanya penghulu pada Panji Prawiro.

Laki-laki berbaju cokelat itu sudah berkali-kali menghela napas dan mencoba bersabar, tetapi dia ingat jika setelah ini dia mempunyai jadwal untuk menikahkan pengantin di tempat lainnya.

"Saya mohon, tetaplah menunggu hingga jam sembilan," pinta Panji pada penghulu itu.

"Baik. Saya kasih waktu sampai jam sembilan. Jika belum datang juga, saya terpaksa pergi. Ada pasangan lain yang harus saya nikahkan. Mungkin pernikahan ini harus diundur atau dibatalkan saja," sahut laki-laki berjenggot tipis itu dengan sedikit kesal.

Panji Prawiro berdiri, hendak memeriksa keadaan di luar. Barangkali calon besan dan menantunya sudah datang, begitu pikirnya. Dia pun berjalan menuju pintu keluar ball room hotel mewah itu.

Tak sengaja Panji melihat dari arah parkiran, Bayu Buwono dan Laksita--calon besannya--keluar dari dalam mobil yang dia kendarai. Dia pun tersenyum lega. Namun, senyum di wajah laki-laki berumur setengah abad itu menghilang saat menyadari yang keluar dari dalam mobil itu hanya mereka berdua. Tak terlihat keberadaan Anandita--calon mempelai wanitanya.

Bayu Buwono melangkah tergesa-gesa. Dari kejauhan dia melihat keberadaan Panji. Dia sadar, pasti laki-laki itu berada di luar karena menunggu kedatangannya.

"Pak, tunggu Ibu!" seru Laksita yang merasa ditinggalkan oleh suaminya.

"Cepatlah sedikit! Jangan membuat Panji bertambah marah karena kamu lelet."

Bayu mengatakan itu dengan wajah ditekuk. Dia terpaksa berhenti dan menunggu istrinya. Jika tidak, bisa dipastikan sang istri akan tetap berteriak-teriak memanggilnya.

Tak lama, kedua orang itu telah sampai di depan Panji. Calon besannya itu berdiri di dekat pintu masuk dengan melipat tangannya di depan dada. Bayu Buwono bertambah gugup saat menangkap tatapan tak bersahabat di mata laki-laki itu.

"Kenapa kalian terlambat? Kalian mau bikin malu keluargaku, ya? Mana Anandita? Kenapa tidak bersama kalian?"

Bayu Buwono belum sempat mengatur napasnya, tetapi Panji sudah memberondongnya dengan pertanyaan. Wajar saja Panji tak sabar, dia merasa sedikit tertekan oleh perkataan penghulu tadi.

"Sebelumnya, maafkan saya, Pak Panji. Saya terpaksa harus mengatakan semuanya. Ini menyangkut putri saya. Dia--"

"Katakan saja di mana putrimu? Kenapa harus bertele-tele?" potong Panji tak sabaran.

Panji merasa Bayu Buwono sedang mempermainkannya. Semua orang bersuka-cita dan tak sabar menunggu pernikahan itu. Dia tak habis pikir kenapa malah calon besan dan juga rekan bisnisnya itu bisa sampai datang terlambat. Apalagi putri mereka, malah belum terlihat sama sekali.

'Kenapa mereka harus datang terpisah? Kenapa nggak semobil saja?' pikir Panji.

"Maaf, Pak Panji. Terpaksa pernikahan ini harus dibatalkan karena putri kami malah pergi dari rumah," ucap Bayu dengan sedikit gemetar.

Perkataan Bayu bagai petir yang menyambar telinga Panji. Dia menatap Bayu lekat-lekat, mencoba memastikan apa yang dikatakan oleh laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu adalah kebenaran. Panji menghela napas saat menyadari tak ada jejak kebohongan di wajah Bayu.

"Apa kamu bilang? Putrimu kabur dari rumah? Kenapa itu bisa terjadi?"

"Maaf, Pak Panji. Kamu sudah berusaha mencarinya ke segala tempat tapi kami tak berhasil menemukannya. Kami minta maaf, Pak Panji."

Bayu mengatakan itu dengan penuh penyesalan. Sungguh dia tak tahu lagi apa yang bisa dia perbuat karena kelakuan putrinya itu. Laksita juga hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Dia merasa bersalah karena telah gagal mengawasi Anandita.

"Sekarang, ayo ikut aku! Kita bicara di dalam!" titah Panji setelah mengembuskan napas kasar.

Bayu dan Laksita tak bisa berkata-kata lagi. Mereka berdua terpaksa mengikuti Panji memasuki gedung. Mereka tak tahu, entah apa yang akan terjadi di dalam sana.

Catatan kaki:

1. Le (Tole) adalah panggilan buat anak laki-laki suku Jawa.