Setelah ayahnya mengambil keputusan sepihak, Elio yakin tidak akan ada argumen yang bisa melawannya.
Meski begitu, bukan Elio namanya kalau menyereah semudah itu. Sebagai pengingat saja, dia tadi juga mengacuhkan satpam stasiun hingga harus menerima hukuman memalukan yang tak akan bisa dilupakannya.
Terlebih lagi, kedua orang tuanya sendirilah yang membesarkan dan mendidik Elio agar tumbuh menjadi seorang gadis yang pantang menyerah. Meski itu juga berarti dia akan melawan perkataan ayahnya seperti sekarang.
"Ah, sudahlah, Pak. Sudah malam, capek, ingin cepat-cepat tidur tapi juga kepingin makan sampai kenyang. Kita tinggal dia di situ saja. Tidak kenal juga."
Elio sudah bersiap mengambil langkah pulang selagi hujan telah menjadi gerimis yang bisa mereka terjang tanpa basah kuyup.
"Elio."
Suara ayahnya menghentikan langkah Elio. Kedua pundaknya menurun, namun bukan karena tas ranselnya yang besar dan berat. Dia hafal betul akan nada yang digunakan sang ayah untuk memanggil namanya.
"Dia hanya menipu Bapak. Tingkahnya beda seratus delapan puluh derajat dari sebelumya. Dia pasti punya niat jahat karena tahu Bapak itu bapaknya Eli," tambahnya lagi.
"Eli…" mau tak mau, Elio memandang ayahnya. "Berapa lama tadi kamu menunggu bapak?"
"Hampir dua jam."
"Kenapa tidak menghubungi bapak?"
"Handphone-nya mati. Charger-nya ketinggalan di kos-kosan."
"Jadinya susah, kan?"
"Iya."
"Terus, kamu senang waktu bapak datang?"
"Iya."
Elio sepertinya tahu kemana arah pembicaraan ini.
"Tadi bapak sudah bilang, kan? Kalau Kala menangis di toilet. Kalau dia tidak mau pulang ke rumahnya karena takut. Dia juga tidak membawa handphone, bahkan dompet atau KTP pun tidak ada."
"Tapi, kan, dia tidak ada urusannya dengan kita. Lagipula, kalau mau membantu, kenapa tidak panggil polisi sekalian? Seharusnya polisi bisa mengurusnya, entah membantu dengan cara bagaimana."
"Kamu tahu, siapa yang muncul di kepala bapak ketika melihat Kala menangis di toilet tadi?"
Elio terdiam.
"Bapak langsung teringat kamu, Eli."
Begitu tutur sang ayah dengan nada yang teramat lembut pada anak gadisnya.
"Bapak berpikir, bagaimana kalau kamu berada di posisi Kala, menangis sendirian di toilet tanpa membawa apapun, tidak tahu kamu ada dimana, juga tidak ada yang bisa dihubungi."
Jeda yang sengaja diberikan ayahnya terasa berat. Dia hanya bisa mendengar dengan seksama.
"Bapak sedih ketika mendengar Kala takut pulang ke rumahnya. Bapak tidak bisa membayangkan jika kamu mengatakan itu, Eli."
Elio benar-benar tidak bisa merespon ayahnya. Ada awan kelabu yang terselip di antara kata-kata itu.
"Lalu bapak berpikir. Kalau kamu ada di posisi seperti itu, bapak juga ingin ada orang lain yang menolong kamu."
Elio menundukkan kepalanya, menelan ludah dengan susah payah.
Kini dia paham dengan apa maksud dari tindakan gegabah ayahnya. Bukan karena terlalu baik atau di bawah pengaruh hipnotis. Ayahnya ingin menolong Kala karena memikirkan Elio.
Tidak semua orang akan melakukan hal seperti itu.
"Paham sekarang?"
Elio mengangguk. "Tapi, aku harus memastikan apa dia benar-benar tidak sedang menipu Bapak."
"Ya sudah, sana lakukan. Setelah itu, kita langsung pulang. Sudah sangat malam."
Begitu mendapat izin ayahnya, Elio menghampiri Kala yang masih terduduk di bangku panjang area tunggu stasiun. Dia menyuruhnya berdiri dan kini mereka berdua berhadapan.
"Lihat mataku."
Elio harus sedikit mendongak agar mereka bisa mengunci pandang.
Di balik lensa kacamatanya, Elio sibuk menelisik kedua mata yang memerah dan bengkak sedikit karena tadi menangis. Dia ingin tahu apa alasan Kala yang sebenarnya, hingga dia bisa berubah dari pria aneh yang menyebalkan menjadi lelaki yang menangis di toilet tanpa tahu apa yang harus dilakukan.
Dia ingin tahu jika semua ini hanyalah permainan bagi Kala.
Elio tidak menemukannya.
Pria yang berdiri meringkuk ketakutan ini bukan Kala. Dia bukan orang menyebalkan yang telah dikenal Elio selama beberapa jam terakhir ini.
Mereka adalah dua orang yang berbeda, namun dalam tubuh yang sama.
Kala yang sedang di hadapan tidak mengenalinya. Sama sekali.
Apa yang sebenarnya terjadi?
_____
Mobil yang sedang dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Elio itu sungguh hening.
Canda ringan yang biasanya ayah Elio kelakarkan rasanya mati daya. Begitu juga Elio yang sibuk memutar-mutar kejadian beberapa jam sebelumnya.
Kala, si objek yang sedang menghuni kepala Elio, memandang keluar jendela. Raut takut itu masih nampak, meski tidak separah sebelumnya. Dia sungguh berbeda dengan pria aneh yang mengganggu dan tak tahu sopan santun itu.
Entah apa yang sebenarnya terjadi, Elio tidak sanggup memikirkannya lagi karena, "Laper, Pak… ibu masak ndak?"
"Ya masak lah, masak endank?" Ayah Elio menjawab dengan bibir yang tersungging. Rupanya masih suka membolak-balik kata dan menganggap itu hal yang lucu.
Namun Elio lega, memikirkan satu meja makan penuh masakan top koki lokal yang menunggunya di rumah. Dia meneguk ludah, sudah terbayang bau sedapnya.
"Tapi tadi pagi," ayah Elio menambahkan. Membuyarkan ilusi nikmatnya dan semakin membuat perut Elio meronta.
"Ih, Bapak," Elio menekuk wajah, namun segera menampilkan senyum lebar tatkala dia melihat cahaya terang dengan warna kuning melengkung di ujung jalan. "Mampir situ, Pak."
Ayah Elio bahkan tidak menyia-nyiakan waktu satu detik untuk mengucap, "Mahal."
"Tapi, Pak–"
"Uangmu tinggal berapa?"
"Lima ribu."
"Nanti masak mie di rumah."
"Kan Bapak punya uang."
"Lagi hemat."
Elio berpikir keras. Persepsi ayahnya mengenai uang memang sering berubah.
Dulu, waktu menjenguk paman Elio yang sedang sakit, ayah Elio dengan bangganya menaiki taksi untuk menempuh perjalanan dari Semarang ke Purwokerto. Hanya karena ingin mencoba naik taksi.
Ibu Elio memaki-maki, marah besar hingga hampir tiga hari tiga malam. Namun, segera memaafkan ayahnya karena marah lebih dari tiga hari itu dosa.
Namun, ayahnya juga bisa bertindak pelit bukan main. Elio pernah ke minimarket bersama untuk membeli sabun cuci muka. Di depan kasir, dia mengambil snack berbentuk telur yang menduduki peringkat pertama piramida jajanan.
Sayang, ayahnya segera menampik tangan Elio dan berkata tanpa memelankan suaranya, "Kamu sengaja ikut ayah kesini biar bisa jajan itu tanpa pakai uang sakumu, kan?"
Niatnya yang disimpan dalam-dalam di hati ketahuan dengan cepat. Rupanya ayah Elio termasuk barisan para orang tua yang menentang beredarnya snack yang membuat anak kecanduan itu.
Kali ini, Elio harus mengerahkan kekuatan otaknya yang menurun drastis sejalan dengan kosongnya si perut.
Mengalihkan pandangan pada cermin yang tergantung di depan, Elio mendapat wahyu langsung dari Yang Kuasa ketika mobil ayahnya melaju tepat di depan restoran cepat saji yang terkenal di seantero dunia.
"Pak, lihat ke belakang, deh," sebuah senyum merekah diam-diam karena Elio yakin ini akan langsung meruntuhkan benteng penghematan ayahnya.
Ayah Elio menoleh dan mendapati Kala yang telah menempelkan wajahnya pada kaca mobil. Pandangannya terkunci pada restoran yang masih terang benderang malam ini. Tentu saja, karena memang buka dua puluh empat jam dan menjadi mercusuar bagi mobil dengan penumpang kelaparan.
Sebenarnya Elio sedikit heran. Kala seharusnya tidak lapar karena baru saja makan roti khas stasiun dengan lahap dan dengan sengaja memamerkan hal itu kepadanya. Namun, demi memenuhi asupan gizinya, dia terpaksa memanfaatkan Kala yang ngidam.
"Masak Bapak tega?" Elio merayu dengan senjata yang tak mungkin bisa dilawan ayahnya. "Dia tamu, loh, Pak."
Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, ayah Elio memutar setir dan dalam hitungan detik, mobil itu telah terparkir sempurna di depan restoran. Elio senang bukan main, perutnya juga terang-terangan memberi tanda kemenangan yang suaranya sama persis ketika sedang meronta ingin makan.
Dia melenggang cepat menuju pintu masuk, kemudian mendongak memilih menu. Dia segera menyampaikan pesanannya tanpa menunggu sang ayah dan Kala yang mengekor dengan wajah sumringah di belakangnya.
"Pesan sesukamu, Bapak yang bayar," kata ayahnya pada Kala.
Bisa ditebak, itu karena ayahnya masih merasa kasihan setelah melihat Kala menangis di toilet tadi. Untungnya, hal itu juga berlaku pada Elio secara otomatis.
Tapi, "Kak, mau yang ada robot dinosaurusnya," begitu kata Kala pada laki-laki di belakang meja kasir yang mencatat pesanan.
Elio menepuk jidat. Itu juga salah satu upaya untuk menutup wajah yang tak henti-hentinya merona merah karena malu.
Sekarang, dia juga ingin menangis.