Jarum menit pada jam dinding besar yang tergantung di dekat pintu masuk para penumpang itu baru saja melewati angka enam, menandakan bahwa ini sudah pukul setengah sebelas malam.
Sementara itu, hujan masih mengguyur di luar stasiun, namun sudah tidak sederas sebelumnya. Di sisi lain, tidak ada perubahan pada kondisi perut Elio. Dia masih keroncongan.
Elio mengerahkan seluruh konsentrasinya untuk memandang sekeliling area tunggu, menanti sosok sang ayah yang masih belum kelihatan.
Berbeda dengannya yang duduk manis di bangku panjang area tunggu, Kala telah menghilang entah kemana begitu dia menghabiskan acara 'mukbang-nya'.
Persetan dengan pria aneh itu.
Elio hanya berharap ayahnya cepat datang. Dia sudah kedinginan, kelaparan, dan kelelahan. Bayangan akan bantal dan kasur empuk di kepalanya kini telah dilengkapi dengan efek suara yang memanggil lembut agar dia segera tidur di sana.
Kantuk semakin menyerang, tidak kalah kuat dengan kebutuhan makannya.
Elio melepas kacamata minusnya. Dengan asal-asalan dia mengelap kedua lensa yang dibingkai warna ungu agar dia tidak melamun atau tertidur.
Dia sebenarnya sudah mengambil sebuah notepad kecil dan pulpen, bersiap menulis. Entah menulis apa, idenya benar-benar buntu. Terakhir kali dia menulis fanfiksi beberapa minggu yang lalu, itu pun hanya sebuah 'drabble' yang tidak lebih dari delapan ratus kata.
Kalau digambarkan, rasanya sangat gatal, namun tidak bisa dihilangkan dengan garukan biasa.
Ini membosankan.
Grup pengamen elit itu sudah membereskan semua instrumen mereka, juga menggulung kabel-kabel yang tadi lumayan berserakan dan hanya menyisakan panggung mini yang kosong saat ini. Jika mereka masih tampil, setidaknya Elio tidak akan mati kebosanan dan kelaparan.
Tentu saja, asal mereka tidak memanggil-manggil namanya lagi hingga menjadikannya sebagai pusat perhatian para pengunjung stasiun.
Aibnya sudah tersebar parah di dunia maya, tidak perlu menambah aib langsung di dunia nyata.
Setelah kepergian grup musik keroncong tadi, area tunggu stasiun itu kembali ramai dengan cakap-cakap pengunjung dan deru hujan yang semakin deras.
"Padahal biasanya menunggu di sini," gumamnya sambil sesekali mengedarkan pandangannya yang sedikit kabur.
"Eli!"
Mendengar namanya dipanggil, Elio menoleh cepat dan memakai kacamatanya lagi. Dia mendapati seorang pria paruh baya yang melambai dari arah toilet dengan wajah tersenyum ramah.
"Bapak kok lama?" Cetus Elio tanpa basa-basi.
"Kamu itu, bukannya menyambut senang atau tanya kabar, malah langsung mengeluh. Pantas saja Rendra selingkuh kalau kamunya ndak perhatian begitu."
"Ih, Bapak apa-apaan sih!" Elio merengut, kesal bukan main karena diingatkan mengenai kandasnya hubungan yang sudah dijalani selama dua tahun tiga bulan dan lima hari itu.
Tentu saja dia menghitung, membuktikan bahwa ucapan ayahnya barusan tidak tepat. Hubungannya dengan Rendra tidak kandas karena hal itu.
Hubungan yang sangat ingin dilupakan dan mendasari kepulangannya ke kampung selama libur semester ini.
Sebenarnya, hal itu adalah penyebab utama munculnya fenomena writer's block yang mencekik Elio selama ini.
'Ah, padahal sudah susah payah berusaha tidak memikirkan Rendra…'
"Maaf, maaf, malah keceplosan," ayah Elio tertawa garing.
Namun, sekarang mata Elio tertuju pada sosok lain yang berdiri setengah bersembunyi di balik punggung ayahnya. Menyadari tatapan penuh tanya itu, ayah Elio seolah tersadar.
"Oh, tadi bapak ketemu anak muda ini di toilet," jelas ayahnya yang sedikit bergeser agar tidak menghalangi pandangan Elio pada orang yang mengikuti gerak kecil ayahnya dan semakin meringkuk di belakang.
Ayah Elio tersenyum lembut. Bukan untuk Elio, namun ditujukan pada sosok yang berpenampilan sangat, sangat familiar bagi Elio.
"Namanya Kala, dia sedang kesusahan, jadi bapak ajak pulang ke rumah sekalian."
"Hah?!"
Elio menatap heran pada ayahnya, kemudian mengalihkan tatapan yang setajam gosip tetangga di kampung pada Kala, si anak muda kesusahan yang ditemukan ayahnya di toilet.
Omong kosong apa ini?
"Bapak jangan bercanda, sih!"
"Bapak tidak bercanda," ujar bapaknya dengan suara yang halus. "Sebenarnya tadi bapak lagi diare, makanya bolak-balik ke toilet sambil nunggu kamu datang. Terus malah ketemu Kala."
Kali ini, kalimat ayah Elio ditujukan untuk Kala. "Kamu duduk di kursi itu sebentar ya? Sebentar saja, nanti balik lagi."
Kala mengangguk kecil sebelum melangkah ragu dan duduk di bangku yang tadi ditunjuk ayah Elio.
Gelagatnya sungguh berbeda jauh dari si pria aneh yang mesum dan tak tahu sopan santun yang sudah dikenalnya selama beberapa jam sebelumnya. Dia juga tidak bertingkah menyebalkan.
Malah, dia sekarang seperti anak kecil yang takut dan penurut. Selain itu, entah Kala memang pandai berakting atau memang hilang ingatan dalam setengah jam terakhir ini, tetapi saat Elio menatap matanya, Kala seperti tidak mengenalnya sama sekali.
Begitu mereka sudah yakin kalau percakapan mereka tidak akan terdengar Kala, ayah Elio mendekat dan berbisik, "Kasiah, tadi dia sedang nangis di toilet."
Elio mendengus. Itu tidak masuk akal. Mana mungkin benar-benar terjadi.
Tetapi ayah Elio masih melanjutkan. "Bapak lihat, dia memang menangis, benar-benar menangis, bukan dibuat-buat seperti yang di TV itu. Makanya bapak samperin, terus tanya kenapa. Katanya dia tidak tahu sedang ada di mana, tingkahnya juga seperti orang linglung."
"Paling cuma akting, Pak."
"Kelihatannya tidak," ayah Elio menyergah. "Pas bapak tanya alamat rumahnya, dia juga tidak mau menjawab. Katanya dia tidak mau pulang ke rumah karena takut."
"Terus Bapak ajak dia ke rumah, gitu?" Elio ingin memastikan apakah ayahnya sudah kehilangan kewarasan karena diare.
"Apa salahnya membantu orang yang kesusahan?"
"Kesusahan dari mananya, sih, Pak? Orang tadi dia jelas-jelas kasih uang seratus ribu untuk request lagu. Terus dia beli roti banyak sambil minum-minum kopi yang mahal itu. Parahnya lagi, dia sengaja pamer seperti itu, padahal dia juga tahu aku ndak punya uang. Bapak jangan percaya sama dia," gerutu Elio dengan emosi yang mulai meluap-luap.
Dia sudah menahan diri untuk tidak mengutuk Kala lebih lanjut sejak pertemuan pertama mereka.
"Loh, kalian sudah saling kenal?"
"Bukan itu masalahnya, Pak," Elio semakin mencak-mencak. "Intinya, dia itu bukan orang baik-baik. Sombongnya bukan main, menyebalkan pula. Bapak tahu, dia tadi bilang apa?"
Itu bukan pertanyaan retorik. Tentu saja ayah Elio tidak tahu jawabannya.
"Masak tadi dia bilang wajahku pas-pasan, terus pakai kacamata kuda, dan katanya datar pula. Itu kan pelecehan, Pak, sudah sangat keterlaluan. Masak Bapak terima, anak sendiri dikatain begitu. Pokoknya jangan percaya dengan tampang polosnya."
"Mau bagaimana lagi, kalau dibanding sepupumu, kamu memang kalah cantik. Kacamatamu juga sudah setebal botol saos di warung mie ayam dekat pasar gara-gara kamu adu pandang sama handphone dan laptop, kan? Lagi pula…"
Ayah Elio mendesah pasrah, namun juga sedikit menunjukkan permintaan maaf yang tak diucapkan. "Yah, keturunan sih ya, terima sajalah."
Sungguh tidak bisa dipercaya.
"Bapak kok bisa ngomong begitu, sih?!"
"Haish, kamu itu masih gadis, jangan keras-keras kalau bicara. Malu sama yang lainnya. Itu mulut apa toa?"
Elio merengut, "Memang boleh teriak-teriak kalau aku sudah tidak gadis lagi?"
"Astaga, bicara apa kamu barusan? Mau bapak coret dari kartu keluarga, biar nanti tidak dapat warisan sekalian?"
"Ancaman Bapak tuh sia-sia. Kecuali kalau keluarga kita kaya raya, punya tanah seribu hektar, punya rumah seluas sekolah lima lantai atau punya bisnis ternak lele yang sudah go internasional. Apanya yang mau diwariskan kalau hanya punya rumah biasa di kampung sama kebun sepetak saja?"
Ayah Elio menanggapi hal itu dengan santai. "Oh? Jadi kamu ndak mau? Ya sudah, kalau begitu nanti rumah sama kebun, semuanya bapak wariskan ke mas Agni saja ya? Daripada dapat secuil, mending dikasih ke mas semua sekalian, kan ya? Kamu memang adik yang baik, bapak jadi senang."
"Eh, Pak, bercanda, Pak," Elio meringis lebar, "Masak Bapak tega, sih…"
"Iya, iya," ayah Elio kemudian melirik Kala yang masih duduk manis di bangku area tunggu stasiun.
Pria aneh yang sekarang jadi linglung itu menoleh ke arah mereka sepuluh detik sekali, namun tidak berkata apa-apa.
"Pokoknya Bapak mau ajak dia pulang," ayah Elio menyimpulkan tanpa meminta perizinan.
"Tapi, Pak–"
"Itu mobil Bapak, terserah Bapak mau memberi tumpangan pada siapa saja. Itu juga rumah Bapak, terserah Bapak mau menerima tamu siapa saja."
Elio tidak bisa membantah.