Chereads / Multiple Lovers in One Body / Chapter 4 - Lagu Romantis untuk Gadis Berkacamata

Chapter 4 - Lagu Romantis untuk Gadis Berkacamata

Alunan keroncong jazz menggema dari beberapa pengeras suara yang berdiri di area tunggu stasiun Tawang.

Grup pengamen elit yang pentas setiap malam kini melantunkan lagu Gambang Semarang, seolah secara khusus menyambut Elio dengan lagu khas kota kelahirannya. Meski lebih sering mendengarkan musik barat, namun ini adalah keroncong favoritnya.

Ingin menikmati penampilan langsungnya, Elio duduk pada salah satu bangku panjang yang tertata rapi di depan panggung mini yang disediakan oleh pihak stasiun. Dia menghela napas panjang, membuang pikiran jauh-jauh dari pria aneh yang sungguh mengusik hidupnya.

Elio juga berharap kalau ayahnya akan menemukannya di sini, duduk manis menanti datangnya seorang sosok penyelamat.

Gara-gara Kala yang menyeret masalah padanya hingga satpam stasiun pun memarahi mereka dan mengumbar aib, dia tidak bisa menemukan ayahnya yang biasa menunggu di depan pintu keluar.

Ditambah lagi, di luar masih hujan. Orang-orang yang seharusnya sudah pergi menggunakan sepeda motor pun harus berdiam di sana, mengakibatkan area tunggu ini lebih ramai dari biasanya.

Sekali lagi, Elio merutuki dirinya yang ceroboh dan bisa-bisanya meninggalkan kabel charger handphone-nya. Kini, dia juga harus menanggung akibatnya sendiri.

Ini sudah hampir jam sepuluh malam. Grup musik itu juga bukan satu-satunya yang memainkan irama keroncong jazz. Perutnya kini ikut keroncongan. Dia membuka tas kecil yang menyelempang dari bahunya.

Dompet coklat muda milik Elio memang tebal. Sayang, yang menyumbangkan ketebalan itu adalah KTP, kartu ATM, kartu mahasiswa, kartu nama ilustrator ternama yang didapatnya dari beberapa seminar di kampus, juga struk makan di restoran beken atau tiket bioskop yang terlalu sayang untuk dibuang dan kini dijadikan kenang-kenangan. Padahal itu hanya menandakan betapa kampungannya Elio ini.

Gadis berkacamata ini menggerutu lagi ketika menemukan selembar lima ribuan di sela-sela dompetnya. Diambilnya uang itu. Mencoba menyelidik, kalau-kalau kertas tipis yang dipegangnya benar-benar bertuliskan angka lima dan tiga angka nol di belakangnya.

Itu uang terakhir yang dia miliki.

Di sebelah area tunggu, ada sebuah toko roti yang sangat terkenal dan menjadi salah satu ciri khas stasiun ini. Elio mengangkat uang lima ribuan itu ke depan mata, menyejejerkannya dengan warna terang dari toko roti di ujung sana.

Bahkan, untuk membeli satu potong roti yang paling kecil dan paling murah sekali pun, ini tidak cukup.

Merengut semakin lesu, dia memfokuskan pandangan pada grup musik yang baru saja selesai menyanyikan lagu. Kini, si penyanyi mengumumkan bahwa mereka akan memainkan satu aransemen terakhir untuk malam ini.

Seseorang mendekat.

Pria itu bertubuh tinggi tegap untuk standar negara ini, namun tidak setinggi aktor-aktor film Hollywood. Kalau Elio berdiri di dekatnya, mungkin ujung kepalanya akan setara dengan telinga pria itu.

Tinggi yang ideal, untuk pacar khayalan Elio.

Tetapi, kemeja gelap yang tampak rapi itu entah kenapa mengusik ingatannya. Pakaian pria itu terlihat familiar. Dia menoleh, dan kedua mata Elio membelalak kaget di balik lensanya.

Tentu saja familiar.

Itu si pria aneh – Kala – yang sudah beberapa jam terakhir ini menjadi hama di hidupnya.

Dia tersenyum, tidak, dia menyeringai.

Angkuh, seperti hendak pamer.

Elio berdecak jengkel. Kedua mata menyipit tajam, terpaku pada lembaran merah dengan enam digit angka di tangan Kala.

Pria aneh itu terang-terangan memasukkan uang seratus ribuan ke kotak kecil yang disediakan oleh grup pengamen elit. Dia semakin curiga, jangan-jangan Kala memang bisa membaca pikiran. Jika penampilanya tidak sebagus itu, Elio sudah pasti menjatuhkan tuduhan bahwa Kala adalah seorang dukun yang berbuat semena-mena.

"Wah, terima kasih banyak, Mas," penyanyi grup musik yang memakai kacamata hitam dan menenteng ukulele itu tersenyum lebar pada Kala. "Mau request lagu apa?"

Kala ikut tersenyum, namun terlihat malu-malu.

Sepertinya dia tidak tahu lagu keroncong. Mungkin juga tidak tahu kalau pengamen elit di stasiun ini bisa membawakan musik pop biasa atau lagu barat yang diaransemen menjadi keroncong.

Tetapi, jari telunjuk Kala tiba-tiba mengarah kepadanya. Elio langsung was-was.

"Oke, karena Mas-nya tidak begitu tahu lagu lokal, kita pilihkan saja. Lagu terakhir malam ini spesial kita mainkan untuk mbak berkacamata yang duduk di ujung sana."

Elio melihat sekeliling.

Dia memakai kacamata.

Dan dia sedang duduk di bangku paling ujung area tunggu.

Buru-buru dinaikkannya tudung jaket dan menundukkan kepala. Berusaha menyembunyikan fakta bahwa dia memenuhi dua ciri-ciri yang disebutkan penyanyi itu.

Sayang, lagi-lagi dia merasa terpanggil melalui speaker keras yang berdiri tegak di depan panggung mini. "Iya, mbak yang pakai jaket kuning. Wah, mbak-nya malah malu-malu."

"Kala sialan," Elio mengutuk dengan suara pelan. Tanpa melihat pun, dia tahu dengan pasti bahwa beberapa pasang mata tertuju padanya.

"Maaf, siapa namanya?"

Jantung Elio berdegup kencang. Awas saja kalau Kala benar-benar menyebutkan namanya untuk menjawab pertanyaan penyanyi itu.

"Oh, iya, iya."

Doa Elio sepertinya percuma.

"Lagu terakhir ini dipersembahkan untuk Mbak Sira. Mas ganteng kia yang satu ini sudah tidak sabar untuk 'membalas'. Waduh, membalas apa ini, kira-kira?"

Nada canda dari si penyanyi menggelegar melalui pengeras suara di area tunggu. Elio bisa membayangkan wajah mencemooh Kala yang menyebalkan itu.

Tidak lama kemudian, lengkingan lembut dari sebuah biola yang bertindak sebagai pembuka mulai terdengar. Suara petikan bas, gitar, dan ukulele menyusul beberapa saat kemudian. Lalu diikuti dengan alunan rendah dari alat musik cello dan penyanyi dengan suara baritone, juga pukulan halus pada drum sebagai penjaga tempo.

Meski tidak menyukai Kala yang sengaja pamer uang dan membuatnya menjadi pusat perhatian, Elio tidak bisa memungkiri bahwa lagu ini enak didengar.

Tanpa sadar, dia ikut menggumamkan lirik lagu yang sedang dimainkan khusus untuknya. Kesadarannya muncul belakangan ketika grup musik itu memberikan jeda untuk permainan biola solo.

Tentu saja dia tahu liriknya. Ini lagu favoritnya beberapa waktu lalu.

'Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan' adalah judulnya.

Elio membeku untuk yang kesekian kalinya. Menahan emosi, dia mengangkat wajah dan mengedarkan pandangan.

Dia menemukan Kala yang duduk di sebelah kanannya. Mereka hanya terpisah satu bangku yang baru saja ditinggalkan oleh sepasang kakek nenek dengan koper merah muda, membuat Elio kini bebas mendapat visual penuh dari perwujudan pria aneh yang hendak dia maki-maki.

Kenapa harus lagu romantis seperti ini?

Kemudian, apa maksud pesannya yang disampaikan oleh penyanyi grup musik itu tadi?

'Tidak sabar untuk membalas.' Apa maunya kala?

Elio tidak habis pikir. Penilaiannya memang benar. Kala adalah pria aneh yang mesum dan memiliki niat buruk terselubung.

Tidak bisa dibiarkan.

Dengan resolusi berbahan bakar emosi, Elio menghujani Kala dengan tatapan maut yang semoga setajam silet. Namun, yang ditatapnya justru terlihat santai.

'Eh?'

Elio mengedipkan kedua mata dari balik lensa minusnya.

'Tunggu.'

Kenapa dia malah berleha-leha, duduk sambil memakan roti yang sudah pasti enaknya, juga sesekali menyeruput kopi yang masih mengepul panas dari paper cup yang ada di tangan satunya?

Sudah pasti karena dia tahu, itu adalah hal yang paling Elio inginkan saat ini.

'Kala sialan,' batinnya lagi, 'Mau mengajak ribut, hah?!'