"Asta, awas!" teriak salah satu gadis yang sedang dicegat oleh beberapa preman tersebut ketika salah seorang preman tersebut mengangkat sebuah botol.
Gadis yang dipanggil Asta itu pun langsung menoleh dan dengan cepat menghindari pukulan salah satu preman tersebut.
"Huf-huf-huf." Napasnya menderu cepat karena terkejut sekaligus bersyukur bisa terhindar dari botol yang hampir saja mengenai kepalanya tersebut.
Sementara itu, Cakra yang tadi berada di dalam mobil pun dengan cepat keluar dari mobil temannya itu. Ia dan Deni berjalan dengan cepat ke arah para preman dan dua gadis tersebut.
"Hentikan!" teriak Deni.
Beberapa pemuda yang berdandan ala preman tersebut pun menoleh, begitu pula dengan Asta dan gadis yang berteriak tadi.
Kemudian gadis yang berteriak tadi pun dengan cepat melangkah mendekati Asta, lalu menarik lengannya. "As, itu laki-laki yang aku ceritakan ada di hotel," ujarnya.
Gadis bernama Asta itu pun kembali menatap ke arah Cakra dan Deni. "Yang mana? Coklat atau hijau?" Asta menyebutkan warna kaos yang digunakan Cakra dan Deni.
"Coklat dong," jawab temannya.
Asta pun langsung memperhatikan laki-laki yang dimaksud. "Orang itu … Akh!" Kalimat Asta berganti pekikan ketika salah satu preman itu menarik lengannya dengan kuat.
"Selingkuhanmu?" tanya preman yang sedang menarik tangan Asta sembari tersenyum menyeringai.
Lalu Asta pun langsung membulatkan matanya. "Kamu itu siapa, kenal juga nggak, nanya-nanya selingkuhan pula," sahut Asta dengan sinis.
Orang yang kini memegang lengan Asta pun kini memperkuat cengkeramannya.
"Nggak usah sok," ujar Asta sembari menunjukkan ekspresi datar seolah tak merasakan sakit sedikit pun di lengannya, padahal tulang lengannya saat ini sudah terasa seperti mau patah.
"Aku heran, kamu dan teman-temanmu ini dikirim oleh siapa?"
Sesaat kemudian pemuda tersebut pun melepaskan lengan Asta. "Jangan sembarangan ngomong, kami in—"
"Aku nggak punya masalah dengan kalian, aku yakin kita juga nggak pernah bertemu sebelumnya. Kalau bukan karena dibayar orang, untuk apa kalian mencegatku?"
Pemuda tersebut pun terdiam sesaat, dan ketika akan membuka mulutnya kembali ….
"Jangan ikut campur, pergi sana!" usir salah seorang preman tersebut sembari menatap Cakra dan Deni.
"Biarkan perempuan-perempuan itu pergi." Cakra mengatakan hal tersebut ketika sudah sampai tepat di hadapan preman tersebut.
"Mas, tolong kami!" teriak teman Asta sembari mengangkat tangannya.
Sontak saja Cakra pun langsung menatap ke arah gadis tersebut. 'Dia kan gadis yang memberiku nomor teleponnya,' batinnya.
Sedangkan Asta yang saat ini di dekat temannya pun langsung menoleh. "Dil, kamu … ah sudahlah," desis Asta lalu menggeleng perlahan.
"Apaan sih As, dia itu datang ke sini untuk membantu kita karena mengenali aku. Kita harus memanfaatkan hal ini," ujar Dila, nama gadis yang bersama dengan Asta itu.
Kemudian Asta pun kembali menatap ke arah Cakra yang saat ini berbicara dengan salah satu preman tersebut.
Hingga ….
"Kurang ajar!" teriak preman yang bicara dengan Cakra tadi, sembari melayangkan bogem mentahnya ke arah Cakra.
Namun dengan cepat Cakra menepis serangan pemuda di depannya itu dan langsung menyerang balik.
Bagh! Bugh! Bagh! Bugh!
Perkelahian pun terjadi dengan sengit.
"Minggir kamu!" teriak Asta memberi perintah pada Dila untuk menyingkir dan bersembunyi.
Dila yang sadar jika dirinya tak bisa membantu pun dengan cepat menjauh dari tempat tersebut. Sementara itu, Asta segera mengambil ancang-ancang dan dengan cepat berlari, lalu menendang salah satu preman itu tanpa ragu.
"Jiangkrik!" teriak preman yang ditendang oleh Asta sembari berbalik dan berganti menyerang Asta.
Akhirnya perkelahian pun semakin memanas, Cakra, Asta dan Deni pun saling membahu untuk memberi pelajaran pada para preman tersebut. Hingga akhirnya ….
"Belum mau ngaku kalah?" tanya Asta sembari menggenggam potongan sisa batu bata yang terbelah saat digunakan oleh Asta untuk memukul kepala salah satu preman itu.
Para preman yang kini sedang berdiri tidak jauh di depan Asta, Cakra dan Deni sembari ngos-ngosan itu pun kini saling melirik.
Sedangkan Cakra, Asta dan Deni kini bersikap lebih santai saat mengatur napas mereka yang juga kecapekan karena tenaga mereka terkuras saat berkelahi tadi.
Tiba-tiba ….
Wiiiuuu! Wiiiiuuu! Terdengar suara sirine polisi menggema.
Sontak saja para preman itu berlari berhamburan, tak lupa dua orang preman juga membawa temannya yang kini tergeletak pingsan di tanah akibat hantaman batu bata yang dipegang Asta tadi.
Sesaat kemudian, Asta pun dengan cepat melempar jauh-jauh batu bata yang ada di tangannya.
"Duh, jangan sampai ditangkap lagi," gumamnya sembari melempar benda tersebut.
'Lagi? Jangan-jangan gadis ini residivis,' pikir Cakra sembari menatap Asta dari ujung kepala hingga ujung kaki. 'Tapi penampilannya … ah benar juga, kita tidak bisa menilai orang dari penampilannya,' Cakra menilai.
Asta yang sadar jika dirinya sedang ditatap seperti itu pun langsung menoleh. "Kenapa?" tanyanya sembari memicingkan mata.
Cakra lalu menunjuk ke arah rok panjang yang dikenakan oleh Asta. "Pakaianmu sobek," ujarnya.
"Sobek," gumam Asta lalu menatap ke arah rok hitam panjangnya.
"Aduh, mati aku," ujarnya sembari menatap rok hitam yang kini berubah jadi ke abu-abuan karena berkelahi tadi. Ia pun langsung menggenggam erat bagian yang sobek itu.
"Kamu—" Kalimat Cakra terhenti ketika suara sirene polisi tadi tiba-tiba berhenti.
Ketiga orang itu pun saling menatap, hingga tak lama kemudian munculah Dila dari tempat persembunyiannya. "Untung saja," ujarnya sembari mengelus dada dan langsung berlari ke arah Asta.
"Kamu ndak apa-apa toh As?" tanya Dila sembari menatap Asta seperti yang dilakukan Cakra tadi. "Hyungg, rokmu … bih, pak lek pasti marah ini," ujarnya sembari memperhatikan rok Asta yang sobek hingga selutut.
"Tapi kalau nggak sobek, gimana aku bisa nendang mereka," desis Asta sembari meringis menatap roknya.
"Asta … Asta," ucap Dila sembari menggelengkan kepalanya.
Kemudian ….
"Jadi nama kamu Asta?" tanya Cakra menyela.
Mendengar suara serak-serak merdu mirip milik penyanyi Judika itu, Dila pun langsung menoleh dan menyahut, "Iya Mas, ini temanku juga masih saudara denganku, namanya Asta. Sedangkan aku Dila," ujarnya dengan percaya diri sembari mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan.
Namun Cakra tak membalas jabat tangan tersebut. "Ya, aku Cakra, kamu sudah tahu kan," sahutnya dingin.
"Dan kamu." Cakra menunjuk Asta.
Namun Asta yang kini menatap ke arah lain pun berpura-pura tak mendengar ucapan Cakra.
"Hentikan gaya konyolmu itu. Katakan, kamu kan gadis yang waktu itu?"
Asta pun langsung menoleh. "Aku? Gadis yang mana, kamu salah mengenali orang mungkin," jawabnya dengan ringan.
"Kamu pasti gadis yang mengangkat sandal itu kan?" Imbuh Cakra, memperjelas.
"Sandal apa?" tanya Dila sembari menatap ke arah Asta.
"Bukan apa-apa, dia pasti salah ingatan." Asta kemudian memegang tangan Dila dan menariknya. "Ayo kita pergi," ujarnya sembari menggandeng tangan Dila untuk berbalik.
"Eh!" pekik Dila. Ia pun menoleh kembali ke arah Cakra dan Deni. "Mas-mas, terima kasih," ujarnya kemudian.
Setelah itu, kedua gadis tersebut pun benar-benar meninggalkan tempat itu menggunakan sebuah motor matic yang terparkir tidak jauh dari tempat tersebut.
Sementara itu, saat ini Cakra masih berdiri menatap kepergian dua gadis tersebut.
"Sudah hilang orangnya," ucap Deni sembari menepuk pundak Cakra.
Cakra yang sempat melamun pun tersadar. "Ck," decaknya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jadi kamu pilih yang mana, yang manis atau yang pinter berkelahi?" tanya Deni dengan santai.
"Ck, diamlah. Ayo kita pergi."