"Iya," jawab Deni dengan cepat.
"Kalau begitu silahkan duduk, biar saya buatkan sambil nunggu bapak dan ibuk datang," tandas Juned, lalu berbalik dan masuk ke dalam rumah tersebut.
Setelah itu mereka pun berbincang santai bersama pemuda yang bernama Bambang itu sembari menunggu kopi buatan Juned.
Lima menit berlalu, akhirnya Juned pun kembali ke teras rumah tersebut sembari membawa dua cangkir kopi di tangannya.
"Ini Mas," ucap Juned sembari menurunkan kopi-kopi tersebut di atas meja, depan Cakra dan juga Deni.
Bersamaan dengan itu, terlihat dua buah motor matic masuk ke halaman rumah tersebut.
"Nah benarkan apa kataku," seru Bambang sembari tersenyum lepas menatap ke arah Pak Ghofur, Bu Susi dan juga Asta yang baru turun dari dua motor matic tersebut.
"Benar apa Mbang?" sahut Asta yang saat ini sedang berjalan ke teras rumah tersebut sembari menenteng sebuah bungkusan besar di tangannya.
Lalu Bambang pun dengan santai berkata, "Ini … calon menantu idaman Bu Susi sudah menunggu kamu sedari tadi."
Mendengar hal itu, Asta pun langsung menghentikan langkahnya. "Jangan macem-macem kamu Mbang," ujarnya sembari mengerucutkan bibirnya.
"Macem-macem gimana … kalau ndak percaya tanya saja pada ibumu," sahut Bambang dengan santai. "Bulek Susi sendiri yang bilang kalau Mas-nya ini adalah calon menantu idamannya."
Mendengar hal itu, Asta pun langsung melirik ke arah Cakra yang saat ini sedang memperlihatkan wajah tanpa ekspresi, seolah tak mendengar apa pun.
'Dia pasti sedang tertawa terbahak-bahak di dalam hatinya,' batin Asta.
"Iya. Siapa juga yang tidak mau kalau punya menantu seganteng dan sesopan Nak Cakra," sahut Bu Susi dengan santai sembari berjalan melewati Asta yang kini tengah berhenti.
"Ibuk!" protes Asta yang tentu saja merasa malu karena ucapan tanpa satir dari ibunya.
"Lah, ibuk kan jujur," ujar Bu Susi dengan santai, lalu menatap ke arah Cakra. "Orang jujur itu tidak salah kan Nak Cakra?"
Pertanyaan wanita paruh baya tersebut langsung membuat Cakra tersenyum hangat. "Benar Bu, orang jujur memang tidak salah," ucapnya.
"Apalagi kalau Ibuk berencana menjadikan teman saya ini sebagai menantu, itu sudah sangat benar." Deni menimpali.
"Apa belum punya gandengan?" tanya Bu Susi dengan cepat.
Lalu Deni pun kembali menyahut, "Boro-boro gandengan Buk …, dia saja saat ini sedang cari calon istri."
"Benar toh Nak?" tanya Bu Susi yang langsung mengalihkan pandangannya ke arah Cakra.
"Itu …."
"Ibuk, sudah ah," tukas Asta dengan wajah yang memerah menahan malu.
"Kenapa? Lha wong Ibuk kan sedang usaha, siapa tahu dia beneran mau jadi menantu Ibuk, kan rejeki nomplok itu," sahut Bu Susi dengan santai.
Sesaat kemudian Pak Ghofur pun menyambar, "Maafkan mereka Nak Cakra, mereka suka kelewatan kalau bercanda."
"Ah tidak apa-apa, saya mengerti," sahut Cakra dengan tenang.
Kemudian Asta pun kembali melangkah dan membawa bungkusan besar di tangannya itu, lalu meletakkannya di atas meja di dekat kopi milik Cakra dan yang lainnya.
"Akhirnya," ucap Asta sembari melangkah mundur sambil memijat-mijat pundaknya.
"Apa perlu tak pijetin As?" gurau Juned.
"Pijetin palamu!" tukas Asta dengan sewot.
Kemudian ….
"Ngomong-ngomong Nak Cakra dan Nak Deni apa sudah makan malam?" tanya Bu Susi dengan ramah sembari membuka bungkusan yang berisi makanan tersebut.
"Belum Bu, setelah ini saya akan mencarinya," jawab Cakra dengan santai.
"Ndak perlu mencari, kalian makan bersama kita saja," ujar Bu Susi dengan cepat.
"Ah iya Bu, syukurlah. Tadi sebenarnya Cakra menyuruh saya memesan makanan di online, tapi kalau ditawarin begini ya Alhamdulillah, jadi saya tidak perlu menyusahkan driver ojeknya," sahut Deni dengan cepat.
"Nah betul itu," ucap Bu Susi sembari terkekeh, kemudian disusul tawa renyah dari yang lainnya.
"Baiklah kalau begitu, terima kasih," ujar Cakra dengan sopan.
Setelah itu semua orang yang ada di teras rumah tersebut pun makan bersama dengan santai. Terdengar gurauan-gurauan kecil, hingga tawa terbahak-bahak ketika Bambang melucu di depan mereka. Bahkan disaat itu Cakra pun meminta agar mereka memanggilnya dengan sebutan Cakra saja, tanpa embel-embel 'Nak' karena merasa sedikit aneh ketika dipanggil seperti itu.
"Kamu seperti Asta saja, dia juga ndak mau kalau dipanggil 'Nak', katanya ngeri," sahut Bu Susi sembari terkekeh.
"Ngeri?" tanya Cakra yang penasaran dengan hal itu.
"Iya, dia pernah mimpi didatengin kakek-kakek yang manggil dia Nak, jadi dia selalu ngerasa ngeri kalau dengar orang dipanggil 'Nak'," sahut Bambang.
"Benarkan As?" Bambang lalu berganti melempar pertanyaan pada Asta yang saat ini sedang memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Serah," sahut Asta dengan mulut yang masih berisi sedikit makanan.
Kemudian canda tawa pun berlanjut, hingga akhirnya semua orang memutuskan untuk pulang, termasuk Deni yang juga meninggalkan rumah tersebut setelah menemani Cakra meletakkan barang-barang di salah satu kamar di rumah itu.
"Ah … pada akhirnya aku berada di rumah ini, padahal sebenarnya aku ingin menyewa perumahan. Tapi ya sudahlah tidak masalah, ini juga sudah cukup nyaman," gumam Cakra sembari menatap ke arah langit-langit kamar yang ia pilih sebagai kamar tidur itu.
\*\*
Keesokan paginya.
Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan di pintu masuk rumah yang di sewa Cakra itu.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam," jawab Cakra yang baru saja selesai mandi.
"Siapa," gumamnya sembari berjalan ke arah pintu utama rumah tersebut sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Cklak!
"Mas, aku disuruh ibuk untuk mengantar ini," ucap gadis yang ada di depan pintu dengan suara lantang nan cepat ketika Cakra tengah membuka pintu rumah itu dengan santai.
"Hah, apa?" tanya Cakra saat sudah selesai membuka dua helai daun pintu rumah tersebut.
"Lah, budeg apa!" sahut Asta yang berubah sedikit emosi.
Cakra pun langsung mengerutkan keningnya. "Hati-hati ya kalau bicara. Walaupun bukan orang sini, bukan berarti aku tidak mengerti ucapan kamu," ujarnya yang tak senang mendengar kalimat Asta.
"Ya sudah-ya sudah, aku minta maaf. terima ini, ini dari ibuk," ujar Asta sembari menyodorkan rantang yang sedari tadi dibawanya.
Namun bukannya langsung menerima rantang tersebut, kini ia malah memandangi Asta dari ujung kepala hingga ujung kaki.
'Ternyata dia bisa sangat terlihat berbeda,' batin Cakra saat melihat wajah Asta yang terlihat berbeda karena polesan makeup dengan look korean style, ditambah dengan Asta yang kini menggunakan hijab, hal itu sukses membuat Cakra terpesona.
"Hei, jangan terpesona seperti itu," ujar Asta sambil melambaikan tangan di depan wajah Adam.
Sontak saja Cakra pun langsung tersadar dari rasa terpesonanya.
"Tidak mungkin aku terpesona pada gadis seperti kamu," tukasnya.
"Dih … dasar lak—" Kalimat Asta terhenti ketika terdengar sebuah panggilan dari kejauhan.
"As!" Terlihat seorang pemuda sedang melambaikan tangannya dari jalanan di depan rumah tersebut.
"Woi!" teriak Asta menanggapi panggilan tersebut.
"Eh Mas, ayo terima rantangnya," ucap Asta sembari kembali menyodorkan makanan tersebut pada Cakra.