Malam harinya di rumah Cakra.
Saat ini Cakra yang sudah selesai makan malam pun dengan santainya merebahkan tubuhnya di ranjang yang ada di dalam salah satu kamar di rumah tersebut.
"Hufff ...." Asap mengepul dari bibir Cakra yang sesaat lalu baru saja menghisap rokok yang kini terhapit di antara sela jari tengah dan telunjuknya.
Beberapa detik kemudian bibir tipis tersebut tiba-tiba melengkung indah, sebuah senyum terukir di sana. "Kenapa gadis itu konyol sekali," ucapnya sambil menatap ke arah langit-langit kamar tersebut, sembari mengingat kejadian tadi di tempat tambal ban.
Teringat dengan jelas bagaimana Asta berterima kasih dengan malu-malu, ketika ia akan meninggalkan tempat tambal ban karena usiran Asta sebelumnya.
\*
"Mas, terima kasih ya," ujar Asta sembari menatap ke arah lain dengan wajah yang bersemu dalam ingatannya.
"Apa, aku tidak dengar," sahut Cakra.
"Minggat sana, kalau ndak dengar!" teriak Asta sembari melempar flat shoes yang digunakannya ke arah Cakra.
\*
"Hahaha!" Tawa keras pun muncul dari bibir Cakra, mengingat ekspresi Asta yang aneh ketika marah sembari melempar flat shoes ke arahnya saat di tempat tambal ban.
"Dasar gadis aneh," imbuhnya.
\*\*
Sementara itu di tempat Asta.
Seperti Cakra, saat ini Asta berada di dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya sembari memegang pena di tangan kanannya, sementara tangan kirinya sedang memegang buku kecil berwarna putih dengan gambar hati di sampulnya.
"Akkhh!" pekik Asta tertahan sambil menggosok-gosokkan pena itu di kepalanya.
"Sial," ucapnya sembari menuliskan kata tersebut ke dalam buku kecil itu.
Setelah itu Asta pun membalik tubuhnya, kini ia tengkurap dengan posisi dada yang diganjal oleh bantal.
"Hari ini sial sekali, aku harus bertemu cowok kampret dan juga sejak pagi harus berurusan dengan si ganteng yang kelakuannya kaya setan itu," ujar Asta sembari menuliskan setiap ucapannya di buku diary tersebut. "Ibuk sudah keterlaluan, aku tahu dia bermaksud menjodohkan aku dengan si ganteng itu.
Aku akui dia memang laki-laki idaman kalau dilihat dari ganteng dan mapannya. Tapi kelakuannya ... bih ngeselin," lanjutnya sambil terus menuliskan kalimat tersebut.
Sesaat kemudian Asta dengan keras menutup buku diary tersebut, lalu menoleh ke kirinya dan menatap ke arah seekor ikan guppy peliharaannya yang berasa di atas nakas di samping ranjangnya.
"Meong, benarkan kataku, dia itu sangat menjengkelkan. Iya kan?"
Asta kemudian menatap ke arah ikan peliharaannya tersebut selama beberapa saat. "Ah kamu yong, kenapa kamu nggak jawab," ujar Asta sambil mengetuk-ngetuk akuarium kecil tempat ikan tersebut.
"Yong, apa sih bagusnya dia? Kenapa ibuk sepertinya suka sekali pada laki-laki setan itu," ujar Asta dengan mulut yang mengerucut sembari membuat pola melingkar di kaca akuarium itu. "Coba yong sebutin kelebihan laki-laki nyebelin itu selain ganteng dan kaya," imbuhnya.
Sesaat kemudian Asta membalik posisi tubuhnya menjadi terlentang. "Ya ... walaupun kelakuannya pada orang tua kelihatan sopan dan seperti orang yang penyayang, tapi itu tidak menjamin kalau dia seratus persen orang baik. Benarkan yong?" ujarnya lalu kembali menoleh ke arah ikan peliharaannya.
'kluthuk-kluthuk' Ikan itu mengeluarkan gelembung-gelembung air dari mulutnya, sembari terus berenang mengelilingi akuarium tersebut.
"Kenapa sih kamu ndak jawab? Kamu itu selalu gitu, ndak pernah nyahut kalau diajak ngomong," protes Asta sembari menyentil kaca akuarium kecil itu dengan pelan. "Ah ... dasar ikan," imbuhnya lalu menyentil sekali lagi.
Kemudian Asta pun menutup mulutnya, lalu mengambil guling yang ada di sampingnya dan memeluk guling tersebut sembari menatap ke arah langit-langit kamarnya.
'Memang ganteng sih ... apa lagi badannya tadi pagi, duh bikin sepaneng,' batin Asta sembari mengingat penampilan Cakra tadi pagi saat ia datang ke rumah Cakra untuk mengantar rantang makanan.
Gambaran tubuh atletis Cakra yang hanya ditutupi handuk di bagian bawah dan di tambah dengan tingkahnya yang waktu itu sedang mengusap-usap rambut dengan handuk, sukses membuat jantung Asta berdebar kencang saat ini.
"Gila," ucap Asta sembari menutupi wajahnya yang memerah dengan guling yang sedang dipeluknya.
Sedangkan saat ini terlihat dua orang sedang berada di depan kamar Asta. Salah seorang itu sedang berjongkok, mengintip Asta dari lubang kunci kamar tersebut.
"Sudah aku bilang, kita harus membuang meong," ucap wanita yang sedang mengintip itu. "Ikan itu membuat anak kita makin aneh. Nanti kalau dia jadi benar-benar stres bagaimana to Yah."
Yang dilihat Bu Susi hanyalah Asta yang berguling-guling di atas ranjang, bicara dengan si meong, lalu memeluk guling dengan gemas, tanpa mendengar ucapan ataupun melihat apa yang sebenarnya sedang Asta lakukan.
"Huff ...." Pak Ghofur menghela napas panjang ketika mendengar dan melihat tingkah istrinya tersebut.
"Jangan bicara sembarangan Buk, ucapan itu doa. Asta itu baik-baik saja, kamu jangan berlebihan."
Mendengar hal tersebut, Bu Susi pun dengan cepat berdiri lalu menoleh ke arah suaminya. "Ndak apa-apa gimana to Yah. Kalau Ayah ndak percaya dan mikir Ibuk itu lebay, coba deh Ayah lihat sendiri," ujarnya lalu melangkah minggir selangkah, mempersilakan suaminya jika ingin melihat apa yang anak gadis mereka lakukan.
Dan sesaat kemudian, Pak Ghofur pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh istrinya tadi.
"Ada-ada saja," gumamnya ketika mulai berjongkok.
Namun pak Ghofur pun langsung mengerutkan keningnya ketika mengintip dari lubang kunci tersebut. Di dalam kamar tersebut, terlihat Asta yang sedang duduk di atas ranjang sambil memukuli guling yang ia sandarkan di dinding kamar.
"Benarkan apa yang Ibuk katakan," tandas Bu Susi yang kini masih berdiri sambil menatap terus ke arah suaminya.
Sesaat kemudian pak Ghofur pun bangun dari posisinya saat ini dan menyahut, "Apa jangan-jangan anak itu stres gara-gara ndak jadi nikah kemarin toh Buk."
Bu Susi pun terdiam sesaat ketika mendengar ucapan suaminya, raut wajahnya pun langsung berubah sendu. "Apa iya toh Yah," ujarnya dengan mata yang kini berubah memerah.
Bagaimana tidak, Bu Susi masih ingat dengan jelas kejadian yang baru dua minggu berlalu tersebut. Ia mengingat bagaimana anak semata wayangnya itu meneteskan air mata di depan penghulu yang diundang ke rumah mereka, karena calon suaminya yang sudah ditunggu selama satu jam lebih tak juga datang, hingga akhirnya penghulu tersebut memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka karena sudah terlalu lama menunggu.
Rasa malu yang menimpa bu Susi dan pak Ghofur tentu saja tak sebanding dengan rasa malu dan sakit hatinya Asta karena batal menikah dengan alasan tidak jelas, hingga harus diejek dan juga dicemooh oleh para tetangga yang memang dari sebelum-sebelumnya sudah tidak menyukai Asta.
"Apa lebih baik kita bawa dia ke dokter jiwa seperti yang dikatakan Sarah toh Buk?" tanya pak Ghofur, mengingat saran dari adiknya yang bernama Sarah.
"Apa iy—"
KLAK!