Chereads / Jebakan Terindah / Chapter 11 - Keluhan

Chapter 11 - Keluhan

Akhirnya Cakra pun menerima rantang tersebut sembari mengerutkan keningnya.

"Iya, terima kasih," ujar Asta sesaat setelah Cakra menerima rantang tersebut, padahal Cakra belum mengucapkan terima kasih atau sejenisnya saat itu.

Dan ketika Cakra akan membuka mulutnya, Asta sudah lebih dulu berlari menjauh sambil berkata, "Mas nanti kalau ibuk tanya, bilang padanya  kalau aku udah nemenin kamu makan. Oke?"

Mendengar hal tersebut, Cakra pun langsung tersenyum ke arah gadis yang saat ini sedang menaiki motor matic yang terparkir di halaman rumah itu.

"Satu lagi," ujar Asta sembari menyalakan mesin motornya. "Itu, cepat pakai baju. Malu dilihat tetangga," lanjutnya dengan suara yang dikeraskan sembari menunjuk ke sebelah kiri.

Cakra yang melihat hal itu pun langsung berjalan maju beberapa langkah, hingga akhirnya berada di tengah-tengah teras rumah tersebut dan menoleh ke arahnya apa yang ditunjuk oleh Asta.

'Konyol,' ucap Cakra di dalam hati ketika melihat seorang wanita paruh baya sedang berlari menjauh dari tempat yang ditunjuk Asta tadi.

"Hati-hati difoto sama emak-emak sini," ujar Asta sekali lagi sembari membawa motornya meninggalkan halaman rumah tersebut.

Cakra yang melihat tingkah kekanak-kanakan gadis berusia 20-an itu pun langsung tersenyum geli. "Dasar aneh," ucapnya.

Setelah itu Cakra pun berbalik dan masuk kembali ke dalam rumah sembari menenteng rantang yang diberikan oleh Asta tadi. Ia yang baru selesai mandi pun langsung melanjutkan aktivitasnya tadi.

Satu jam berlalu. Cakra yang sudah berjanji untuk pergi ke rumah RT pagi itu pun segera membawa motor matic-nya ke rumah Pak Ghofur, tak lupa ia membawa rantang yang diantar oleh Asta ke rumahnya tadi.

Setelah mengucapkan salam di depan pintu rumah Pak Ghofur yang terbuka lebar, kemudian Cakra pun duduk di kursi yang ada di teras rumah tersebut bermaksud menunggu pak Ghofur di sana.

"Bapak sedang mandi Cak, dia baru selesai memberi makan ikan," ucap Bu Susi sembari berjalan keluar dari dalam rumah sambil membawa nampan di tangannya yang berisi dua cangkir kopi.

"Tak apa Bu, biar saya tunggu," sahut Cakra sambil menatap Bu Susi yang kini sedang menurunkan cangkir-cangkir kopi tersebut di meja yang ada di depannya. "Oh iya, ini terima kasih," imbuhnya sembari menyodorkan rantang yang dibawanya.

Selesai menurunkan cangkir kopi untuk Cakra, Bu Susi pun  menerima rantang tersebut dan kemudian duduk di kursi yang ada di dekat laki-laki berusia hampir 35 tahun itu.

"Oh iya, bagaimana makanannya? Itu buatan Asta sendiri loh," ujarnya sembari tersenyum hangat.

'Jika gadis itu yang membuatnya sendiri, mungkin saat ini aku sudah ada di rumah sakit,' batin Cakra ketika mendengar ucapan Bu Susi.

"Ah iya, enak," jawab Cakra singkat, tak ingin membahas lebih panjang soal makanan tersebut.

"Terus sekarang ke mana anaknya? Aku pikir kamu akan ke sini bareng-bareng sama dia."

"Asta?" Cakra memperjelas tentang orang yang sedang ditanyakan oleh wanita paruh baya di depannya itu.

"Iya."

"Dia pergi bersama temannya tadi," terang Cakra.

"Temannya," gumam Bu Susi yang kini mengarahkan tatapan menyelidik pada Cakra. "Laki-laki apa perempuan?"

Cakra pun langsung tersenyum canggung ketika mendapat tatapan tak mengenakkan dari wanita paruh baya di depannya itu. "Laki-laki."

"Lah, kenapa kamu biarin dia pergi," seru Bu Susi yang kemudian menepuk jidatnya sembari menggeleng pelan.

'Memangnya aku harus melarangnya pergi, memangnya aku siapa,' pikir Cakra yang merasa aneh dengan semuanya.

Lalu ….

"Kenapa Bu?" Terdengar suara Pak Ghofur dari dalam rumah.

Dan setelah ia keluar, ia pun bertanya kembali, "Ada apa?"

"Itu … Asta keluar sama teman laki-lakinya," jawab Bu Susi sembari mengarahkan pandangannya pada pak Ghofur yang sedang mengancingkan kemejanya

"Oh …," sahut Pak Ghofur dengan santai.

"Kok cuma oh toh Yah," protes Bu Susi yang mulai naik satu tingkat nada suaranya.

"Lha memangnya harus bagaimana?" Pak Ghofur masih berkonsentrasi pada kancing bajunya.

"Ya bagaimana gitu toh Yah. Itu anak gadismu sudah waktunya nikah, eh malah terus main sama pemuda-pemuda yang ndak nggenah itu. Kalau terus begitu, siapa yang mau nikah sama dia," keluh Bu Susi sembari bangun dari kursi yang didudukinya.

"Tenang saja Bu, paling-paling dia—"

Kalimat Pak Ghofur langsung dipotong.

"Paling-paling apa! Dia pasti sedang ngopi sama anak-anak itu. Iya kalau cuma ngopi, terus kalau ada kaya kemarin, terus dia babak belur lagi gimana?" Bu Susi mengutarakan semua yang ada di dalam kepalanya, seolah ada rasa trauma karena anak gadisnya itu memang suka berkelahi sejak kecil. "Anakku itu memang ayu, tapi kalau terus-terusan benjol-benjol ungu begitu, lama-lama yo bisa hilang ayune."

Sesaat kemudian helaan napas panjang pun keluar dari mulut Pak Ghofur. "Iya-iya, habis dari rumah pak RT akan Ayah cari," ujarnya dengan tenang.

"Iya, cari sampek ketemu anaknya," tandas Bu Susi.

Sesaat kemudian Pak Ghofur pun langsung melirik ke arah Cakra.

'Apa yang diinginkan,' batin Cakra yang bertanya-tanya saat mendapat lirikan penuh arti dari Pak Ghofur.

"Ayo Kra kita segera berangkat, bukannya kamu harus segera melihat tanahnya setelah ini," ujar Pak Ghofur sembari menoleh ke arah Cakra.

Mendengar hal tersebut, Cakra pun langsung mengerutkan keningnya. 'Kapan aku berkata seper … ah, jadi ini maksudnya,' batinnya yang menyadari kalau Pak Ghofur secara tak langsung meminta dirinya agar bekerja sama untuk menghindari omelan lebih lanjut dari bu Susi.

"Iya Pak, kalau begitu mari kita segera berangkat," ucap Cakra menanggapi kalimat Pak Ghofur tadi.

Setelah itu Cakra pun bangun dari kursi yang didudukinya, sedangkan Pak Ghofur segera melangkah menuruni tangga teras rumah tersebut.

"Jangan lupa cari Asta yo Yah," pesan Bu Susi ketika Cakra dan suaminya sudah naik ke atas motor milik Cakra.

"Iya Buk, tenang saja," sahut Pak Ghofur sembari menepuk-nepuk pundak Cakra, pertanda menyuruhnya agar cepat berangkat meninggalkan halaman rumah itu.

Dan setelah itu mereka berdua pun berboncengan meninggalkan rumah tersebut.

\*

Di jalan.

"Alhamdulillah." Pak Ghofur mengucap syukur sembari mengelus dada ketika sudah meninggalkan rumahnya lebih dari seratus meter jauhnya.

Cakra yang kini menyetir di depan pun hanya tersenyum, menahan tawa mendengar hal tersebut. 'Keluarga ini sangat menarik,' pikirnya.

"Maaf Pak jika saya ikut campur. Tapi dilihat dari penampilan, sepertinya pemuda yang pergi bersama Asta tadi adalah pemuda baik-baik," ucap Cakra memulai obrolan.

Lalu suara desahan pun kembali muncul dari bibir Pak Ghofur. "Ya … temannya itu macem-macem, tapi yang namanya naluri seorang ibu itu mau digimanain lagi," ujarnya.

"Benar juga," gumam Cakra yang mengingat ibunya juga sering berlebihan saat mengkhawatirkan dirinya.

"Kalau masalah berkelahi, Asta dari kecil memang sudah sering babak belur. Mau bagaimana lagi, kelakuannya sudah kaya anak laki-laki saja, bahkan sampai  segedhe ini," ujar Pak Ghofur yang kini mulai ikut mengeluh.