Setelah itu mereka pun melanjutkan perjalanan mereka.
"Bukankah kamu bilang lima menit? Ini sudah lebih dari 20 menit," protes Cakra karena awalnya Deni mengatakan rumah yang dituju hanya berjarak lima menit dari tempat mereka tadi.
Tapi pada kenyataannya, setelah 20 menit mereka mencari dan beberapa kali bertanya pada orang, mereka tetap tidak menemukan rumah yang dituju.
"Ya … namanya juga nyasar," sahut Deni dengan santai sembari masih berkonsentrasi menatap jalanan di depannya.
"Ck!" Sebuah decakan kesal pun muncul dari bibir Cakra.
Kemudian Deni pun menyahut, "Sudahlah nikmati saja, anggap saja kamu sedang berjalan-jalan menikmati angin dan pemandangan segar di sini."
Sesaat kemudian terdengar desahan kasar dari bibir Cakra. "Ya," sahutnya dengan dingin.
Setelah itu mereka pun terus mencari rumah pemilik tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi pembangunan restoran milik Cakra di kota itu. Hingga akhirnya ….
"Nah itu dia," ujar Deni ketika berada di jalanan depan sebuah rumah yang terlihat paling besar dari deretan rumah-rumah yang ada di sepanjang jalan tersebut.
Cakra pun langsung menatap ke arah rumah yang dimaksud. "Hem …," gumamnya.
Lalu Deni dengan santai membawa mobil yang mereka kendarai melewati pagar rumah tersebut.
"Akhirnya," ucapnya ketika mematikan mesin mobil tersebut setelah menempatkannya di parkiran rumah itu.
"Kamu yakin ini rumahnya?" tanya Cakra memastikan semuanya, karena tadi mereka sempat salah masuk ke rumah orang lain.
Deni pun menjawab sembari membuka pintu di sampingnya. "Yakin. Kan sudah aku bilang, aku pernah ke sini sebelumnya."
Akhirnya Cakra pun hanya bisa menghela napas panjang dan turun dari mobil tersebut, persis seperti yang dilakukan sebelumnya saat mereka salah rumah.
Kini mereka berjalan dengan santai di halaman rumah yang cukup luas itu. Di sana terlihat beberapa pohon tertanam dengan dikelilingi oleh pot bunga yang tertata rapi di sekelilingnya.
Tiba-tiba ….
Bughh! Sebuah benda jatuh mengenai bahu Cakra.
Sontak saja ia pun langsung mendesis sembari memegangi bahunya yang terasa seperti baru saja terkena pukulan benda tumpul tersebut.
"Kenapa Cak?" tanya Deni yang sempat mendengar suara tersebut, tapi tak tahu apa yang terjadi.
Cakra pun tak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Ia memilih menatap sekitar untuk mencari tahu benda apa yang mengenai dirinya tadi, hingga terlihat sebuah mangga yang masih menggelinding di tanah, menjauh dari tempatnya berdiri saat ini.
"Mangga," gumamnya sembari menoleh kanan-kiri, tapi tak ada seorang pun di sana. Setelah itu ia menoleh ke atas dan melihat ada dua buah kaki bergelantung di atas pohon mangga yang tak ia sadari ada di dekatnya.
Ia pun langsung mundur beberapa langkah sembari terus menatap ke atas, penasaran dengan pemilik sepasang kaki tersebut.
"Kaki," ucap Deni sembari mengikuti apa yang dilakukan oleh Cakra saat ini.
Setelah mundur beberapa saat, lalu terlihat pemilik sepasang kaki tersebut mempunyai rambut panjang dan menggunakan rok hitam panjang pula. "Wanita," ucapnya seketika sambil mengerutkan keningnya.
"Jangan-jangan setan," bisik Deni sembari terus menatap ke atas.
Cakra pun langsung menoleh ke arah sahabatnya itu sembari berkata, "Untuk apa setan melempar mangga," tukasnya.
"Ya … entahlah, namanya juga setan," sahut Deni.
"Hufff …." Cakra pun langsung menghela napas panjang mendengar jawaban laki-laki di dekatnya itu.
Setelah itu ia pun kembali menatap ke atas. "Hey kamu yang di atas, manggamu menimpaku," ujar Cakra dengan nada tinggi.
Sedetik kemudian gadis yang ada di atas pohon tersebut langsung menatap ke bawah sambil berkata, "Ah manggaku."
Namun seketika wanita itu terdiam ketika bertatapan dengan Cakra, matanya membulat dan ia pun langsung menoleh, kembali ke posisinya semula sebelum mendengar kalimat Cakra.
"Duh," gumamnya.
"Kamu Asta kan?" tanya Cakra sembari terus mendongak.
"Bukan," sahut gadis yang masih ada di atas pohon tersebut.
"Benar, dia gadis tadi," sahut Deni yang kini melangkah maju untuk melihat dengan jelas wajah gadis tersebut.
"Sudah aku bilang, bukan. Kenapa kalian ngeyel sekali," tukasnya sembari menunduk dan mengerucutkan bibirnya, berekspresi aneh.
Setelah itu tanpa ancang-ancang, Cakra dengan kuat menarik kaki gadis tersebut.
Brugghh!
"Akh!" pekik gadis tersebut sembari memejamkan matanya, merasakan sakit yang seakan menghantam pinggangnya.
"Kamu itu gila apa, kalau pinggangku patah bagaimana," protesnya ketika membuka mata.
Setelah itu terdengar omelan panjang lebar dari gadis yang saat ini masih terduduk di tanah sembari memegangi pinggangnya itu.
Hingga ….
"Enough!" bentak Cakra yang pusing karena mendengar gadis di depannya itu terus mengomel.
"Kenapa, kamu tidak suka aku mengomel? Kalau kamu berbuat yang benar, aku juga tidak akan mengomel," tukas gadis tersebut tak mau kalah.
'Ah sudahlah,' batin Cakra setelahnya. Sesaat kemudian ia pun melangkah ingin menjauh dari gadis tersebut.
Namun ketika baru selangkah, gadis itu pun dengan cepat menarik kaos yang digunakan oleh Cakra. "Hei, kamu mau kemana?" tanyanya.
'Ck, gadis ini membuat masalah saja,' batin Deni yang kemudian berjalan menjauh dari Cakra dan gadis tersebut.
Sedangkan saat ini Cakra langsung menatap gadis tersebut dengan tatapan tajamnya.
"Kamu pikir aku takut dengan kamu," tandas gadis tersebut sembari membulatkan matanya.
'Konyol sekali, apa yang ada di otaknya. Dia ingin menyamakan mata lembut seperti itu dengan mataku,' pikirnya, mengomentari tingkah konyol gadis di depannya itu di dalam hati.
"Jangan pernah berpikir bahwa aku takut dengan mata seperti itu. Aku bahkan bisa menghadapi lebih banyak dari sekedar matamu itu," imbuh gadis tersebut.
"Hey manusia, lalu kamu mau apa?"
"Oh, berani ya orang jauh ngomong begitu," ujar gadis tersebut sambil bangun dari posisinya saat ini.
Namun dengan cepat, Cakra langsung memegang dengan kuat pundak gadis di depannya itu.
"Cih!" Gadis itu meludahi tangan Cakra yang sedang memegang bahunya.
"Dengerin aku ya Mas-mas ganteng," ucapnya sembari menatap sinis Cakra. "Di dunia ini tidak ada yang aku takuti, kecuali kedua orang tuaku dan Tuhanku. Jadi kalau kamu mau menakuti aku, kamu harus berpikir seribu kali," imbuhnya dengan congkak.
Cakra pun langsung mengerutkan keningnya mendengar ucapan gadis tersebut.
"Sudah pergi sana, aku sudah malas melihat kamu," ucap Gadis tersebut sembari menepis tangan Cakra dari pundaknya.
Cakra pun langsung menyahut, "Seharusnya aku yang bilang seperti itu. Dasar gadis ur—"
"As!" Terdengar teriakan dari teras rumah yang tak jauh dari tempat mereka saat ini.
"Duh!" ucap gadis tersebut sembari menepuk jidatnya.
Sesaat kemudian, terdengar panggilan lagi. "Asta, Nduk! Ajak Mas-nya ke sini!"
Mendengar hal itu, Asta pun langsung menoleh ke arah Cakra.
"Jadi kamu benar gadis tadi kan, dasar lid—"
"Hussst!" Asta memberi tanda pada Cakra agar ia diam.
'Dia ini wanita atau bukan? Kenapa dia bisa begitu acuh terhadapku, atau jangan-jangan matanya buram,' gerutu Cakra karena baru kali ini ada seorang gadis yang tidak tertarik sama sekali dengan dirinya, bahkan terlihat memusuhi dan sangat tak menyukainya.
"Jangan bengong," tandas Asta ketika melihat Cakra sedang memandang dirinya dengan tatapan kosong.
"Hah?" Cakra tersadar dari lamunannya.
"Sekarang kamu segera pergi dari sini."
Cakra pun langsung mengerutkan keningnya. "Kamu mengusirku?"
"Udah, nurut aja," ujar Asta sembari mendorong tubuh Cakra dengan kedua tangannya.
"Tunggu." Cakra menahan langkahnya.
"Apanya yang tunggu? Sudah, kamu cepat pergi." Asta mendorong tubuh Cakra dengan lebih keras.
"Tidak, aku—"
Asta pun langsung menyela, "Ingat, aku ini seorang wanita. Kalau kamu berani melawan, akan aku kutuk kamu jadi …."
Cakra menunggu lanjutan kalimat tersebut.
"Jadi ongol-ongol," lanjut Asta.
'Ongol-ongol? Bukankah itu nama makanan,' pikirnya sembari mengerutkan keningnya.
Sedangkan Asta yang menyadari kalau dirinya salah bicara pun langsung saja kembali mendorong tubuh Cakra.
"Asta, ayo ajak Mas-nya ke sini!" teriak seorang wanita paruh baya sembari melambaikan tangannya seperti sebelumnya.