Chereads / Jebakan Terindah / Chapter 8 - Hanya Disewa

Chapter 8 - Hanya Disewa

Lalu Cakra pun berkata, "Kamu dengar sendiri kan, kamu itu harus membawa aku ke san—"

"Sudah, diam kamu," potong Asta sekali lagi. Setelah itu, tangan Asta yang tadi mendorongnya kini berganti menarik lengan Cakra dengan kasar.

'Dasar gadis bengal,' komentar Cakra di dalam hati.

Kemudian Asta pun terus menarik tangan Cakra selama lebih dari tiga menit, hingga akhirnya mereka pun sampai di depan teras rumah tempat di mana wanita paruh baya tadi memanggil mereka.

"Assalamualaikum," ucap Cakra ketika sampai di teras rumah tersebut.

Asta pun langsung menoleh ketika mendengar laki-laki yang sedari tadi ditarik tangannya itu mengucapkan salam.

"Kenapa?" tanya Cakra ketika mendapat tatapan aneh dari Asta.

Namun belum sempat Asta menjawab pertanyaan Cakra, tiba-tiba terdengar suara sahutan salam Cakra tadi "Waalaikumsalam."

Sahutan tersebut langsung membuat Asta dan Cakra menatap ke arah pintu masuk rumah itu.

Tak lama kemudian, terlihat wanita paruh baya yang memanggil mereka tadi keluar dari pintu rumah tersebut.

"As, ayo ajak Mas-nya masuk! Kamu itu ngapain aja."

Mendengar hal itu, bukannya langsung mengajak Cakra naik ke teras rumahnya, Asta malah kembali menoleh ke arah Cakra. "Hei, kamu ini siapa?" tanyanya.

"As!" panggil wanita paruh baya itu lagi.

"Astaghfirullah," ucap Asta sembari menggelengkan kepalanya, lalu kembali menarik tangan Cakra untuk menaiki empat tingkat untuk sampai di teras rumah tersebut.

Sedangkan Cakra yang saat ini ditarik pun merasa geli dengan ekspresi terpaksa gadis di depannya itu. 'Gadis ini berbeda,' pikirnya sembari menahan senyum yang hampir muncul di bibirnya.

Setelah beberapa saat, akhirnya mereka berdua pun sampai di teras rumah tersebut.

"Ya Allah gantenge bocah iki," ucap wanita paruh baya yang memang menanti mereka di teras tersebut sembari menatap Cakra dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Kemudian Cakra pun tersenyum mendengar ucapan wanita paruh baya di depannya itu.

"Maaf Bu, apa ini benar rumah pak Ghofur?" tanyanya dengan sopan.

"Iya-iya benar, itu teman kamu ada di dalam," ucap wanita tersebut sembari menoleh ke arah pintu masuk rumah tersebut.

"Ibuk kenal sama dia?" tanya Asta sembari menunjuk ke arah Cakra yang kini berdiri di sampingnya.

Mendengar pertanyaan tersebut, wanita yang dipanggil Ibuk oleh Asta itu pun langsung menatap ke arah Asta sembari mengerutkan dahinya. "Lha justru Ibuk yang mau tanya sama kamu, kamu kenal toh sama thole bagus ini," ujarnya lalu tersenyum kembali ke arah Cakra.

"Bagus apanya," gerutu Asta sambil melirik dengan sinis ke arah Cakra.

Sedangkan Cakra yang mendengar dengan jelas ucapan gadis di sampingnya itu pun hanya tersenyum manis, namun senyuman itu kini ia arahkan pada wanita paruh baya di depannya tanpa sedikit pun melirik ke arah Asta.

"Masyaallah sejuknya," ucap wanita paruh baya tersebut sembari terus tersenyum ke arah Cakra.

Namun sesaat kemudian Asta pun dengan cepat melangkah maju dan berdiri di antara Ibunya dan Cakra. "Jangan senyum-senyum," ucapnya sembari menyipitkan matanya pada Cakra.

"Apa?" tanya Cakra sambil memasang wajah polosnya.

"Asta, jangan galak seperti itu sama Mas-nya," ujar wanita paruh baya di belakang Asta sembari memegang pundak Asta dan menariknya mundur, agar tak menghalangi pandangannya terhadap Cakra.

Setelah mundur selangkah dan berdiri di samping ibunya, ia pun langsung menatap ibunya. "Buk, Ibuk jangan macam-macam."

"Kamu mengancam Ibuk?" tanya wanita paruh baya tersebut sembari menoleh ke arah anak gadisnya tersebut.

'Apa wanita paruh baya ini bermasalah? Kenapa gadis aneh ini berbicara seperti itu?' batin Cakra sembari memperhatikan percakapan dua wanita di hadapannya itu.

Hingga ….

"Buk, kenapa masih di sana? Kenapa ndak disuruh masuk orangnya?" Suara laki-laki paruh baya yang kini berjalan keluar dari pintu utama rumah tersebut.

Sontak saja semua yang ada di teras langsung menatap ke arah laki-laki tersebut.

"Iya Yah," sahut wanita paruh baya tersebut.

'Kalau begitu, dia seharusnya yang bernama pak Ghofur,' pikir Cakra sembari menatap laki-laki paruh baya tersebut.

"Kamu temannya nak Deni?" tanya laki-laki paruh baya tersebut dengan ramah pada Cakra.

'Benar kan,' batin Cakra sembari melempar senyum.

"Iya. Saya Cakra, orang yang ingin membicarakan tentang tanah dengan Anda," jawabnya dengan sopan.

"Iya-iya," sahut Pak Ghofur sembari manggut-manggut. "Ayo kalau begitu, mari silahkan masuk," imbuhnya.

"Baik," sahut Cakra sembari mengangguk.

Setelah itu Cakra pun masuk ke dalam rumah tersebut dan duduk di ruang tamu bersama dengan Deni dan juga pak Ghofur, kemudian mereka pun membicarakan masalah tanah yang ingin dibeli Cakra dengan serius.

Sedangkan Asta dan ibunya yang bernama bu Susi pun langsung pergi ke ruang belakang.

"Jadi bagaimana?" tanya Pak Ghofur setelah cukup lama berunding dengan Cakra dan Deni.

Cakra pun menghela napas pendek sebelum menjawab pertanyaan Pak Ghofur tersebut. "Saya sebenarnya lebih memilih untuk membeli tanah itu dari pada menyewanya," sahutnya yang terlihat tidak puas dengan hasil rundingan tersebut.

Pak Ghofur pun tersenyum mendengar ucapan terus terang Cakra tersebut. "Jangan terburu-buru, membuka tempat makan di kota ini ndak semudah itu."

Cakra mengangguk-angguk mencoba lebih tenang ketika mendengarkan ucapan laki-laki paruh baya di depannya itu.

"Jujur saja, sebenarnya saya juga ingin menjual tanah itu. Tapi untuk saat ini saya belum berani karena saya punya saudara yang putus kontak beberapa tahun ini dan di tanah itu ada haknya, jadi saya ndak berani menjualnya," terang Pak Ghofur secara gamblang.

"Hem …." gumam Cakra dan Deni hampir bersamaan.

"Iya Nak, kami ndak berani menjual tanah yang seperti itu, takut dosa dan bikin perut mulas kalau makan dari uang yang seperti itu," sahut Bu Susi sembari membawa kue dari ruang belakang, lalu meletakkan kue-kue tersebut di atas meja.

Setelah itu Cakra pun terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya ia kembali menghela napasnya. "Baiklah kalau begitu, saya akan menyewa tanah itu selama sepuluh tahun. Namun jika suatu saat ada titik terang untuk masalah tadi, dan ada potensi tanah itu untuk dijual, saya harap Bapak bisa menawarkannya pada saya terlebih dulu," ujarnya dengan tatapan serius.

"Tentu-tentu Nak. Insyallah saya akan melakukan hal itu, kamu tenang saja," ujar Pak Ghofur sembari menepuk beberapa kali pundak Cakra yang kini memang duduk tidak jauh darinya.

"Alhamdulillah," ujar Bu Susi sesaat setelahnya sembari tersenyum lebar.

Mereka pun terus mengobrol panjang lebar setelah kesepakatan itu, hingga ….

Ctak! Tiba-tiba lampu di ruang tamu itu menyala.

"Maaf," ucap Asta sembari masuk ke ruang tamu tersebut. "Oh iya Yah, aku mau beli paketan di konter dulu sama sekalian beli obat nyamuk di warungnya mbak Sus," ucapnya berpamitan pada Pak Ghofur.

"Iya-iya, cepat balik," sahut Pak Ghofur.

"Eh nanti dulu," sahut Bu Susi lalu dengan cepat menarik tangan Asta dan membawanya kembali ke ruang belakang.

Asta pun terkejut. "Eh buk-buk," ujarnya sembari melangkah karena tarikan wanita yang melahirkannya ke dunia itu.

Tentu saja, semua orang yang ada di ruangan itu pun langsung menatap ke arah dua orang tersebut dengan penasaran.

"Ehem!" dehem Pak Ghofur. "Maaf, mereka berdua memang sering seperti itu," ujarnya.

Cakra pun langsung tersenyum menanggapi kalimat laki-laki paruh baya di depannya itu. "Iya Pak, saya mengerti."

Dan setelah itu Cakra dan Deni pun segera berpamitan karena sadar jika saat sudah memasuki waktu malam.

"Oh iya Nak, kamu tinggal di mana?" tanya Pak Ghofur pada Cakra sebelum meninggalkan rumah itu.