Chapter 4 - 4. Suara itu

Ternyata teman-teman dekatku diundang Mas Wira tanpa meminta izin dariku. Entah apa motif di balik undangan itu. Mereka datang dan melihatku dengan iba. Teman dekatku sengaja memancing kerusuhan supaya saya keluar dari dalam rumah. Mereka tidak tega melihatku tersiksa di dalam rumahku sendiri. Pak Wiryo tersenyum dengan puas, karena rencananya berhasil. Pak Wiryo adalah salah satu kepercayaan orang tuaku yang sampai sekarang masih setia bekerja di tempatku. Meskipun kedua orang tuaku telah meninggal beliau tidak ingin meninggalkan tempat ini.

"Sabar, Jihan, Allah pasti memberikan yang terbaik untukmu!" ucap Nurul sambil memelukku.

"Kenapa kalian tidak masuk? Banyak makanan enak lho!" tanyaku dengan menahan sesak di dalam dada.

"Seandainya  yang punya gawe kamu, tanpa disuruh pun kami akan masuk dan mengambil makanan sendiri. Kami sahabat kamu, kami tahu apa yang kamu rasakan!" 

"Dasar manusia kurang ajar, tinggalkan saja dia! Biar jadi gembel sekalian!" umpat Lia.

Kami berempat bercanda dan tertawa di depan rumah. Sepertinya acara akad nikah Mas Wira sudah dimulai. Nurul menarik tanganku dengan paksa, mereka mengajakku masuk ke dalam mobilnya. Mobil melaju menuju tempat favorit kami berempat. Tempat yang menjadi saksi kebersamaan kami. Tempat berkumpul untuk menceritakan segala keluh kesah. 

"Mas, seperti biasa ya!" teriak Lia begitu masuk ke dalam tempat itu. 

Kami berempat yang sudah menikah baru aku dan Nurul, sedang Lia dan Nia masih betah dengan kesendiriannya. Mereka nyaman dengan kehidupan mereka saat ini.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan Nurul sudah ditunggu suaminya di rumahku. 

***

Rumah sudah terlihat sepi, tinggal beberapa orang yang masih sibuk membersihkan sisa-sisa acara.  Aku melangkah pelan menuju kamar tanpa memperdulikan tatapan mereka.

"Jihan, darimana?" tanya ibu. Mbak Ani dan beberapa kerabat mendekatiku.

"Menenangkan diri, Bu!" jawabku asal.

"Orang kok tidak ada sopan-sopannya! Tau di rumah lagi repot malah keluyuran!" 

"Sudahlah, yang penting sekarang Wira sudah memilih perempuan yang baik, tidak seperti perempuan ini!" Ibu berkata dengan nada meremehkan.

Aku tidak tahan dengan keluarga Mas Wira, mereka selalu menyudutkanku. Betapa bodohnya diri ini, selalu menerima segala perlakuan buruk mereka. Mereka merasa semua harta yang dimiliki adalah milik Mas Wira sedangkan aku hanya benalu. 

Pukul dua malam. Aku melirik jam digital di atas meja. Lalu menghembuskan napas sambil terpejam. Pelan-pelan aku beringsut menyibakkan selimut dan turun dari tempat tidur. Sepi tidak ada suara. Mata ini tak mau terpejam. Dengan hati-hati aku menuruni tangga. Kulihat  keadaan rumah malam ini. Lampu sengaja tidak dinyalakan. Perlahan aku berjalan menuju dapur, mengambil air dan beberapa makanan. Sesekali menoleh ke belakang , lalu berjalan lagi dengan sangat hati-hati. Tiba-tiba terdengar suara jeritan.

Perasaanku tidak enak, ada rasa takut dan penasaran. Aku  menghembuskan napas secata perlahan. Duduk sebentar dan meminum segelas air putih dingin. Kuedarkan pandangan di sekitar terlihat sisa makanan tertata rapi di atas meja makan. Sepertinya sengaja disiapkan bagi siapapun yang menginginkan.

Dengan pelan, aku mendekati kamar tamu. Jeritan sudah berubah menjadi desahan yang saling bersahutan. Iramanya  sangat menjijikkan. Kamar tidak tertutup dengan sempurna. Darahku mendidih mendengar suara-suara itu. Kedua kakiku terhenti, mematung. Kedua mataku membulat sempurna melihat pemandangan di depan mata. Mas Wira sudah menunaikan kewajibannya. Menyalurkan hasrat yang tertahan. 

Ingin rasanya kaki ini melangkah meninggalkan kamar, tetapi tenagaku seolah hilang. Aku masih diam, berdiri mematung menyaksikan pergumulan mereka. Desahan dan rintihan  terdengar dengan jelas. Mas Wira terlihat sangat mendominasi penyatuan mereka. Aku berhasil memejamkan, memaksa kaki melangkah meninggalkan kamar. Seluruh tubuhku mendadak lemas. Aku jatuh dan terduduk di lantai. Air mata yang berdesakan akhirnya menetes satu persatu. Jantung ini hampir berhenti berdegup. Suara-suara kenikmatan masih terdengar dengan jelas. Berkali-kali kuusap air mata namun berkali-kali pula air mata ini jatuh kembali.

Kudongakkan kepala ini, berharap cairan bening itu tidak mengalir lagi. Sakit. Benar-benar sakit melihat pergumulan mereka. Bagaimanapun juga aku seorang istri, yang tidak akan sanggup melihat penyatuan suami dengan orang lain. Walaupun mereka melakukan dalam ikatan yang sah.

"Jihan, kamu harus kuat! Astagfirullah, astagfirullah! Ya Allah berilah hamba-Mu ini kekuatan!" Aku  memejamkan mata kemudian menarik napas dengan berat. 

Kutinggalkan kamar tamu dengan luka yang menganga. Mas Wira tidak main-main dengan perkataannya. Dia sudah tidak dapat menahan hasrat biologis. Memang nafsu bisa mengalahkan logika. Mereka bisa melakukan dimana saja tanpa memperdulikan perasaan orang lain. Semoga aku bisa kuat. Masa depan bersama anakku lebih utama.

Bayangan pergumulan mereka masih terlihat dengan jelas. Aku jijik dan berusaha menghilangkan, tetapi bayangan itu masih melekat erat dalam ingatan. 

Kulangkahkan kaki dengan malas, balkon tujuan utamaku. Aku berdiri mengutuk diri, menyalahkan takdir yang kualami. Kuelus perut yang masih rata. Dalam tangisku aku berharap selalu diberikan kekuatan. Aku yakin aku adalah salah satu makhluk yang dipilih.

"Tenang, Nak, tanpa ayahmu kamu pasti bisa mendapatkan semuanya." ucapku lirih.

Angin berhembus dengan kencang. Daun-daun bergoyang mengikuti irama hatiku. Aroma tanah basah membasuh kerinduanku. Titik-titik air hujan membasahi piyamaku semakin lama semakin deras. Dingin menyentuh tulang dan persendian. Hati ini tetap panas, ingatan itu belum hilang. Bayangan itu masih menari-nari dengan indah, seolah mengejek keterpurukanku saat ini.

Air mata ini terlalu berharga  menangisi sebuah kebodohan. Aku harus bisa bangkit meninggalkan pikiran ini. Cukup hanya tahu betapa sakitnya rasa ini. 

Aku duduk dengan memeluk kedua kakiku, piyama ini basah karena hujan mengguyur dengan deras. Sekuat tenaga kutahan air mata ini.

"Masyaallah, Bu! Istighfar, Bu!" Bi Sari memelukku, diraihnya handuk dan dibungkusnya tubuh ini.

"Bu, jangan begini! Kasihan anak yang njenengan kandung, Bu!"

"Eling, Bu, eling, ada nyawa dalam tubuh njenengan!"

Bi Sari menuangkan teh panas dan segera kuminum. Aku diam, kubiarkan Bi Sari mengganti seluruh pakaian yang melekat di tubuhku. Setelah selesai dipapahnya tubuh ini masuk ke dalam kamar. Kurebahkan tubuh dan berusaha memejamkan mata. Bi Sari duduk dan menatapku iba.

"Bu, diminum dulu! Ingat  ada nyawa di tubuh ibu!" Bi Sari berkata sambil meneteskan air mata. Aku mengangguk dan berusaha memejamkan mata.

"Bu, saya buatkan bubur sebentar, saya yakin tadi malam ibu pasti tidak makan!" ucap Bi Sari sambil menutup pintu dengan sangat pelan.

Hujan semakin deras, suara guntur dan petir saling bersahutan. Aku menarik napas. Tarikan napas yang kurasa sangat berat. Tatapanku mengarah pada foto pernikahan kami. Foto saat kami berpelukan di atas kasur ini. Mataku mengembun, sekuat tenaga kutahan air mata ini. "Tega, kamu, Mas!" ucapku lirih.

Aku berdiri kulempar foto itu dengan benda yang ada di dekatku. Pyar, bunyi kaca yang berjatuhan. Aku tergugu menangisi nasibku. Kusingkap selimut yang menutup tubuh ini, kutarik rambut dan kututup mata ini.

Kurasakan ada tangan yang memelukku dari belakang. Kubalikkan badan dan terlihat Mas Wira berdiri hanya memakai celana boxer. Kuhempaskan tangan yang memeluk tubuh ini. Jijik rasanya harus berdekatan dengannya.

"Mas, …." Aku menoleh, melihat sumber suara.