Chapter 9 - 9. Lahan Baru

Suara mesin pencuci dan pengering empon-empon mulai terdengar. Aktifitas pagi ini sudah dimulai. Truk-truk yang akan mengambil empon-empon mulai antri di depan gudang. Aku yang sengaja keluar rumah lewat belakang sengaja berhenti sejenak untuk melihat aktivitas yang mulai sebelum jam kerja.

"Tumben, mesin dinyalakan lebih pagi?" tanyaku penasaran.

"Iya, Bu. Empon-empon yang datang terakhir belum sempat kami bersihkan. Mohon maaf pekerjaan tertunda karena ada acara syukuran kemarin." Aku hanya menganggukkan kepala, berusaha memahami pekerjaan bagian gudang.

"Oke, untuk mengisi truk yang sudah antri bukankah sudah disiapkan sebelum pulang kemarin?" tanyaku.

"Sudah, Bu. Ini masih menunggu surat jalan dari Mbak Ana dan sepertinya Mbak Ana belum datang njih!" tanya Mandor gudang padaku.

"Saya belum masuk ke ruang staf, coba dilihat ke dalam dulu! Lha pengantar dari pabrik sudah masuk belum? Kalian muat berdasarkan urutan dan nomor yang tertera, jangan sampai tertukar jumlah dan jenisnya karena proses pengolahan jamu beda-beda pintu." jawabku pelan.

"Siap, Bu!" jawabnya kompak.

Aku berjalan ke toko sambil menikmati kesibukan para karyawan pagi ini. Ada yang datang sambil berlari karena jam datangnya sudah mepet, ada juga yang masih sarapan di atas meja kerjanya, bahkan ada yang sudah siap bekerja dan semua pekerjaan sudah dipilah-pilah berdasarkan urutan yang dibuat.

Komputer di masing-masing meja sudah dinyalakan, para karyawan bekerja berdasarkan keahlian masing-masing. Mbak Ana belum kelihatan batang hidungnya. Mungkin dia merasa sebagai pemilik toko sehingga bisa datang sesuka hatinya.

"Mbak Rina, tolong pekerjaan Mbak Ana dikerjakan dulu. Kasihan para sopir yang menunggu, mereka akan terlalu lama berada di sini." Perintahku pelan. Sebisa mungkin aku berbicara dengan sopan.

"Siap, Bos!" jawabnya cepat.

Mbak Rina segera mengambil tumpukan berkas dari gudang yang sudah terlihat menggunung di meja Kak Ana. Tanpa menunggu lama pekerjaan itu selesai dan alat pencetak sudah mulai bekerja. Suaranya sangat khas dan memekakkan telinga. Setelah berkas selesai dikerjakan, dipisah-pisah kemudian diserahkan kepada mandor gudang. Setelah itu pengiriman ke pabrik segera berjalan.

Laporan keuangan dan penjualan selama satu bulan sudah menumpuk di meja. Aku segera periksa berkas secara keseluruhan. Ada berbagai titik yang memerlukan tambahan biaya. Walaupun usaha kami kecil tapi kami tidak menginginkan ada yang merasa terbebani dengan pekerjaannya. Pembayaran gaji karyawan sudah beres, bonus juga sudah sesuai dengan tugasnya masing-masing. Pembayaran jamu ke pabrik sudah sesuai dengan tagihan yang dikirimkan. Alhamdulillah.

Mobil yang akan mengirimkan pesanan ke pasar dan reseller serta agen sudah mulai berangkat. Tinggal menyiapkan pesanan online untuk kiriman yang diambil dari paket langganan. Alhamdulillah pesanan berjalan dengan lancar.

Setelah semua berkas yang ada di meja kerjaku sudah selesai. Aku membuka file penawaran kerjasama yang akan diajukan ke pabrik hari ini. Berkas aku buat sesuai petunjuk dari Mbak Dias. Sebelum dikirimkan ke pabrik, berkas dikirimkan ke Mbak Dias untuk dikoreksi. Dan alhamdulillah hanya memerlukan sedikit koreksi. Dan setelah itu berkas sudah bisa dikirimkan. Setelah mengirimkan file secara keseluruhan, aku harus segera mencetak dan membuat file itu dalam bentuk yang rapi dan enak dilihat.

Senyap. Siang ini gerimis menyapu kota dengan menyeluruh. Para karyawan tidak ada yang meninggalkan meja kerjanya untuk makan siang. Mereka memilih membeli makan siang via aplikasi online. Termasuk aku yang menginginkan sesuatu yang segar dan malas meninggalkan tempat kerja. Tanpa basa basi aku memilih menu lumayan banyak variasinya.

Dreet … dreet … dreett

"Hallo, selamat siang, dengan Mbak Jihan?" Suara dari salah satu staff di pabrik jamu Mbak Dias terdengar begitu lembut.

"Iya, ini Jihan, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku penasaran.

"Mengenai penawaran kerjasama yang Mbak Jihan ajukan, sepertinya bisa langsung ditindak lanjuti. Kebetulan besok Pimpinan kami Ibu Dias bersedia survei secara langsung ke lokasi. Nanti sore Ibu Dias beserta tim akan langsung menuju lokasi, apakah Mbak Jihan bersedia mendampingi beliau?"

"Alhamdulillah bisa, Mbak. Kira-kira berangkat jam berapa? Mohon maaf, supaya saya bisa menyiapkan semuanya." tanyaku

"Kemungkinan setelah isya berangkatnya, Mbak. Nanti tim akan menjemput Mbak Jihan langsung dari rumah njenengan!" Aku tersenyum lega mendengar kabar yang menggembirakan ini. Satu per satu masalahku mulai menemukan titik terang.

Aku segera menghubungi penjaga penginapan di Selo dan Tawangmangu. Mereka merasa sangat gembira karena aku bersedia meluangkan waktu untuk datang ke sana. Aku meminta mereka menyiapkan aneka hidangan khas daerah disana juga kamar yang bersih untuk kami.

Sudah terbayang aroma teh dan berbagai gorengan yang menjadi khas di daerah itu. Mie lethek dan kopi tubruk sangat kurindu.

Hujan siang ini semakin deras, aku tidak melihat Mas Wira meninggalkan rumah untuk bekerja. Sudah kupastikan dia menikmati masa bulan madunya. Ternyata gugatan perceraian tidak menimbulkan masalah baginya. Dia masih terlihat santai tanpa bekerja. Tidak bisa kupungkiri kalau hatiku pasti akan berdenyut nyeri kalau mereka memperlakukan Mas Wira seperti pahlawan.

Ojek online datang silih berganti mengantarkan pesanan masing-masing karyawan. Kami menikmati makanan dalam diam. Suara hujan mengalahkan suara mesin printer yang memekakkan telinga.

Tiga jam berlalu dengan hujan yang memeluk kota ini. Udara panas seketika berubah menjadi dingin.

Brugh, suara benda jatuh di depan pintu. Terlihat Mas Wira mengusap keningnya. Dengan terburu dia mendekatiku.

"Sayang, kamu tidak makan siang? Aku menunggumu lho, aku ingin kita menikmati kebersamaan kita, Ingin makan siang bersama …" ucapan Mas Wira tiba-tiba terhenti.

"Makan bersama madu," tanyaku pelan.

"Sepertinya saya tidak berminat untuk makan bareng. Nikmati saja kebersamaan kalian. Aku tahu kamu datang ke tempat ini pasti karena ada yang kamu inginkan?" tanyaku.

Tidak ada kata manis yang keluar dari mulut ini. Aku tertawa dan segera menandaskan jus jambu yang masih tersisa.

"Begini Jihan, apa kamu tidak ada niat untuk mengajak kami sore nanti? Biarkan kami menikmati udara yang berbeda." Mas Wira menatap kemudian tersenyum dengan sangat manis. Tatapan mata yang sangat teduh itu yang paling aku takutkan.

Aku tersentak mendengar ucapannya. Mataku nanar menatap lelaki itu. Bibirku bergetar seolah olah ingin berteriak dan mengatakan kalau apa yang diucapkannya itu adalah suatu kesalahan.

"Mas jadi laki-laki itu mbok modal dikit, apa tidak malu tiap hari kok mengemis di depan para karyawanku. Dimana sih rasa malumu itu? Atau memang kamu tidak memiliki rasa itu?"

Aku berhenti sejenak. kemudian mengalihkan pandangan pada karyawan yang melihat pertengkaran kami.

"Mas, pikirkanlah masa depan keluarga kalian! Ingat saya tidak memberikan waktu yang panjang, carilah tempat tinggal yang mampu menampung kalian semua!" Aku menghembuskan napas dengan kasar, berusaha mencari solusi untuk mengusir suami yang tidak tahu diri ini.

"Pergilah, Mas! Saya rasa toko dan rumah ini bukan tempat yang layak untuk kalian. Pikirkanlah masa depan kalian setelah surat cerai sudah ada ditangan!" Aku segera membuang gelas minuman yang sudah habis. Kemudian mengambil minuman yang lainnya. Aku butuh sesuatu yang bisa mendinginkan hati dan otakku.

***

Persiapan keberangkatan dan Bi Sari sudah beres semua. Mbak Ana dan Ibu melihatku dengan sinis, apalagi melihat Bi Sari yang mendorong travel bag yang akan kubawa malam ini.

"Jadi orang kok tidak mempunyai perasaan, bukannya mencari surga malah mendekati neraka. Orang yang tidak dibekali pendidikan agama yang benar itu ya seperti ini!" Ucapan ibu menghentikan langkahku.

"Maaf, saya tidak ada urusan dengan njenengan, sebaiknya diam sajalah! Apapun yang saya lakukan selama tidak merugikan kalian akan tetap saya lakukan. Saya ingin mengembangkan usaha supaya tidak menjadi kere mendadak!"

"Jihan, jaga mulutmu! Usaha Wira itu maju, saya yakin dia pasti bisa membahagiakan istri dan keluarganya. Kembalikan semua uang Wira yang kamu bawa, mulai sekarang kamu tidak ada hak untuk mengelola keuangannya. Ada istri keduanya yang jauh lebih segalanya." Ibu terlihat sangat emosi. Napasnya turun naik setelah semua caci maki untukku keluar.

"Maaf, saya tidak ada waktu untuk berdebat, itu mobil yang menjemput kami sepertinya sudah datang. Nikmatilah kebebasan kalian selagi bisa! Assalamualaikum!" Aku berjalan menuju teras depan, Pak Harjo sudah membantuku memasukkan barang-barang yang kami bawa.

"Nanti kita menginap di tempatmu atau bagaimana, Jihan? Kalau memang belum pesan kamar, kami akan pesan online saja. Jadi pas kita sampai bisa langsung beristirahat." tanya Mbak Jihan dengan lembut. Tidak ada nada kasar dalam ucapannya.

"Saya sudah menghubungi yang menjaga penginapan, insyaallah sudah disiapkan kamar. Tapi mohon maaf ala kadarnya. Penginapan kami berupa bangunan joglo, jadi ada aula besar di depan yang biasa digunakan untuk melihat gunung secara langsung, kebetulan rumah kami menghadap arah selatan, jadi kita bisa menikmati terbit dan terbenamnya matahari secara langsung. Selain itu bangunan dan semua peralatannya kuno, jadi saya mohon maaf tidak ada bathtub atau peralatan modern lainnya."

"Dari tadi kok minta maaf terus, aku sudah membayangkan pasti sangat nyaman berada disana apalagi rumah dengan bangunan papan itu nilai jualnya sangat tinggi lho!"

Aku hanya tersenyum, karena memang seluruh bangunan di rumah itu berasal dari kayu jati yang sudah sangat tua umurnya.

Perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam ini sama sekali tidak terasa. Banyak sekali obrolan-obrolan yang berakhir dengan diskusi panjang yang sangat menarik. Apalagi Tim dari pabrik yang komplit, bisa langsung menggambarkan apapun yang kami bicarakan.

Kami berhenti di halaman rumah joglo yang paling besar. Bangunannya memang terlihat sangat gagah dengan polesan cat warna kayu yang sangat menggoda. halamannya sangat luas. Di halaman itu sudah terparkir beberapa mobil. Warung kopi yang ada di depan bangunan itu terlihat sangat ramai. Pengunjung duduk beralaskan tikar di halaman rumah itu. Tatapan penuh kekaguman terlihat sangat jelas dari Mbak Dias. Berulang kali mereka menggelengkan kepala.

"Ini penginapan milikmu?" tanya Mbak Dias.

"Bukan, Mbak. Ini peninggalan dari orang tua yang sudah turun temurun. saya hanya menambahkan beberapa bangunan terpisah disekitar bangunan utama. Ada sekitar delapan bangunan kecil-kecil yang bisa digunakan sebagai tempat tinggal sementara." Aku berusaha berkata dengan jujur, tidak ada niat sombong atau pamer dengan harta peninggalan ini.

"Hebat, lalu yang rencananya akan digunakan sebagai gudang itu yang mana?' tanya Mbak Dias penasaran.

"Di belakang bangunan ini, Mbak. Tapi aksesnya agak kecil, tidak di depan jalan utama." aku memberi penjelasan.

Bi sari langsung masuk ke dalam rumah joglo. Rupanya di dalam rumah itu sudah disiapkan berbagai macam hidangan kampung yang sangat menggugah selera. Mbak Dias dan keluarganya serta tim dari pabrik melihatku dengan mata berbinar.

"Sepertinya kita akan betah berada disini!" ucap Mbak Dias.

Bi Sari membuka beberapa pintu kamar yang sudah disiapkan untuk kami. Aku menikmati kamar yang sudah lama kutinggalkan, sedangkan Mbak Dias menempati kamar utama, dan tim pabrik menempati kamar tamu. Perbedaannya hanya pada besarnya ruangan.

"Dias, bagaimana keadaan suamimu?" tanya Mbak Dias pelan.

"Kita mengobrol di depan saja. Saya sudah kangen dan ingin menikmati udara malam ini." ajakku dan segera berjalan menuju halaman.

Setelah sampai di halaman, Bi Sari segera menggelar tikar pandan yang menutupi tanah yang terasa dingin. Aneka minuman hangat terhidang di depan kami. Makanan tradisional yang dalam keadaan panas menemani obrolan-obrolan kami. Kami benar-benar dijamu dengan berbagai hidangan ndeso.

"Sepertinya saya sudah ikhlas dengan keadaan saya saat ini. Kadang saya berpikir kalau hidup ini tidak adil. Tapi setelah saya melihat dengan jelas perubahan sikap dan kenyataan yang terlihat, hanya satu kata yang terucap. Ikhlas dan pasrah." Aku berkata sambil memandang langit yang bertabur bintang dan meyakini semua adalah ketentuan nya.

"Kamu hebat, Jihan. Aku yakin kamu pasti bisa melaluinya. Sebentar lagi kamu pasti menjadi wanita yang sukses. Lihatlah pendapatanmu dari penginapan ini saja itu berapa? Sangat banyak, belum usaha-usaha lainnya. Kamu pasti bisa menjalaninya dengan baik."

"Baru melihat satu bangunan saja aku sudah terkesima, apalagi lainnya!" Aku tersipu malu. Mbak Dias ternyata sosok yang sangat humble.

Tak terasa hampir jam satu malam tetapi masih ramai saja warung kopi ini. Pengunjung malah semakin banyak. Bahkan ada yang memesan langsung untuk menginap sampai hari minggu. Sungguh luar biasa bisnis penginapan di waktu weekend.

Mbak Dias dan anak-anaknya sudah masuk ke dalam kamar, mereka sengaja tidur agar besok pagi tidak bangun telat dan bisa menikmati matahari terbit. Sedangkan tim surveyer pabrik terdiri dari para anak muda masih betah berlama-lama di udara terbuka.

Bi sari terlihat masih sibuk membantu bagian dapur untuk menyiapkan segala

macam pesanan tamu yang datang. Aku segera masuk ke dalam kamar karena badan rasanya sudah sangat lelah.

Pukul empat pagi kami semua sudah bangun dan bersiap untuk sholat subuh dan menikmati pemandangan yang sangat indah. Para tamu juga juga bersiap dan segera mengerjakan sholat di mushola depan. Mereka dengan khusuk sholat. Setelah itu duduk bersila di tengah lapangan diatas tikar pandan. Bi sari dan para penjaga langsung mengeluarkan minuman hangat untuk para tamu yang menginap sedangkan tamu-tamu yang baru datang mereka memesan secara langsung berdasarkan keinginan. Berbagai makanan dalam keadaan hangat terhidang di meja panjang. Para tamu bisa leluasa memilih makanan yang diinginkan.

Setelah sholat subuh kami merapatkan barisan dan memandang dengan penuh senyuman. Tetes-tetes embun yang memeluk dedaunan terlihat berkilau saat diterpa cahaya. Semburat merah mulai memenuhi cakrawala. Perlahan dan pasti sinar terangnya merubah bumi menjadi terang. Kumpulan awan putih terlihat sangat cantik di langit biru. burung-burung beterbangan dengan bebas memenuhi cakrawala. Sungguh indah bumi-Mu ya Allah.

"Jihan, bisa antarkan kami melihat tempat yang akan kami gunakan sebagai gudang?" tanya Mbak Dias sambil minum kopi jahe yang menjadi andalan warkop ini. Ditemani singkong goreng dan beberapa cemilan lainnya.

Yang paling menarik pengunjung adalah berbagai olahan berbahan tahu kami tonjolkan di sini. Mulai dari minuman hangat tahok, sop tahu, puding tahu dan masih banyak lainnya.

"Bisa, Mbak, monggo!" Aku berjalan lebih dulu menuju tempat yang akan digunakan. Mbak Dias sangat tertarik dengan tempat yang akan digunakan.

Bangunan gudang yang sangat besar terlihat masih kokoh berdiri. Tiang dan kayu penyangganya terlihat sangat kuat. Bangunan ini seolah-olah menantang kami. Tanpa menunggu keputusan dari pabrik Mbak Dias langsung sepakat menggunakan bangunan itu. Walaupun banyak perombakan yang perlu dilakukan.

Tim juga menyetujui menggunakan gudang itu. Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar.

Setelah makan siang, kami sepakat untuk segera berangkat ke tawangmangu. Tempat yang kami tuju pun sama dengan tujuan awal. Bangunan kuno memikat mbak Dias. dan akhirnya kesepakatan dibuat. Sedangkan untuk harga sewa dan lain sebagainya akan segera diurus setelah sampai di pabrik.

***

Setelah menikmati terbenamnya matahari kami sepakat untuk segera meninggalkan lokasi. Perjalanan kami terhenti karena harus menunaikan kewajiban. Sopir memarkirkan mobil setelah memasuki area masjid Madaniyah Karanganyar. Masjid yang benar-benar mirip Masjid Nabawi. Penataan halamannya juga sangat mirip, perbedaannya cuma pada payung yang tidak dapat dibuka.

Setelah sholat kami sepakat untuk makan makanan dari penjual yang berjualan di sekitar masjid. Harganya sangat ramah di kantong.

Tak terasa sudah memasuki kampung halamanku, bangunan toko sudah terlihat dari jauh. Mobil berhenti di depan rumahku. Kami berpamitan dan mengucapkan terima kasih.

"Mbak, Ibu pingsan, Mbak!" Aku yang baru saja turun kaget mendengar berita itu.

Bi Sari segera berjalan menuju rumah tanpa menunggu pembicaraanku dengan suaminya.

"Memangnya kenapa? Tumben ibu pingsan." tanyaku penasaran

"Hmm … toko sembako, Mbak! Toko sembako …"