"Toko sembako kenapa?" tanyaku penasaran.
"Toko sembako kebakaran, Mbak! Itu ibu pingsan mendengar berita itu!" jawab Bi Sari setelah diberitahu suaminya.
"Owh …" jawabku singkat.
"Mas Wira ada dimana? Di toko?"
"Iya, Mbak, tadi bersama Mbak Fatimah naik mobil dengan terburu-buru." jawab Pak Harjo pelan.
Keributan di dalam rumah masih terdengar. Mbak Ayu berulang kali berteriak, dia tidak terima sumber penghasilan utama adiknya hilang tak berbekas.
"Jihan, ini pasti ulah kamu! Kamu selalu iri dengan kemajuan usaha suamimu, lihatlah gudang-gudang penyimpanan sembako habis terbakar. Kamu pasti dalangnya!" Segala ucapan buruk dan caci maki di tuduhkan padaku.
"Jihan, kamu harus bertanggung jawab!" teriak Mbak Ayu histeris.
Perempuan cantik berhidung mancung dan bermata indah itu terus mengucapkan kata-kata yang tidak layak didengar. Kedua tangannya bergerak meraih segala barang yang ada di sekitarnya. Tiba-tiba kakinya berhenti. Mulutnya terkunci dan kedua matanya berbinar menatap tas tangan yang aku bawa.
"Aku tahu, kamu pasti sudah menyimpan semua berkas-berkas penting di dalam tas itu. Berikan padaku! Itu milik adikku!" teriak Mbak Ayu sambil merebut tas tangan yang kubawa.
"Mbak, sadar! Aku baru pulang, itu urus ibu kamu!" Aku menarik tas dengan lebih kuat. Mbak Ayu terpental dan dia terlihat semakin agresif. Berusaha merebut tas yang aku bawa.
"Aku tidak peduli, kembalikan harta adikku. Aku butuh uang, ibu juga butuh uang. Berikan uang adikku!" teriak Mbak Ayu makin histeris.
Plak
Plak
"Sadar, Mbak!" teriakku tak kalah kencang. Perempuan cantik itu menatapku tajam. Dia tersenyum dan berkata pelan. "Tunggulah pembalasanku! Aku tidak akan membiarkan kamu hidup dengan tenang!" ancam Mbak Ayu.
Bi Sari dibantu Pak Harjo berusaha untuk menyadarkan Ibu. Berbagai cara dilakukan supaya ibu cepat sadar. Sedangkan Mbak Ayu berteriak histeris. Sampai akhirnya dia lelah dan duduk di dekat kami. Aku hanya duduk melihat sepasang suami istri yang saling bekerja sama menyadarkan ibu mertua.
"Alhamdulillah, ibu sadar!" teriak Bi Sari. Pak Harjo segera mengambilkan teh panas yang sedari tadi sudah diseduhnya.
"Dimana Wira?" tanya ibu.
"Masih di toko, Bu! Saya juga belum tahu bagaimana kabar toko dan gudang, Bu!" jawabku singkat.
Aku memijat kepalaku kemudian mengusap wajahku. Betapa berat beban hidupku saat ini. Usaha almarhum kedua orang tuaku hancur. Aku mengambil napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Berusaha menebak apa yang terjadi di pasar. Hingga saat ini belum ada pegawai atau dari pihak pasar yang menghubungiku secara langsung. Mungkin mereka pikir dengan menghubungi Mas Wira maka semua urusan akan selesai.
Akhirnya aku membuka benda canggih yang selalu ku genggam, tertulis dengan jelas kebakaran di salah satu pasar terbesar di kota ini. Hampir seluruh bangunan hancur dan tidak menyisakan jejak. Kebakaran diduga disebabkan karena konsleting listrik mulai jam empat sore tadi. Hingga saat ini api dan asap masih membumbung tinggi. Belasan kios terbakar.
Petugas pemadam kebakaran sudah mengerahkan tiga unit damkar. Tetapi petugas kesulitan memadamkan kobaran api karena angin bertiup cukup kencang. Api menyambar bangunan yang berbahan kayu sehingga api semakin sulit dipadamkan.
Setelah aku merasa cukup mengetahui kehancuran dari toko sembako. Aku tutup benda pintarku dan dimatikan dayanya. Cukup kejutan untuk malam ini. Mulai berpikir mengenai masa depan yang akan aku lalui.
***
Aku segera membersihkan badan dan beristirahat sejenak. Aku menundukkan kepala kemudian berjalan mengelilingi kamar. Berpikir kembali apa yang harus aku lakukan dengan toko sembako. Beribu tanya terlintas di otakku. Setelah selesai urusan bisnisku mengapa cobaan datang disaat aku belum bisa berdiri dengan tegak. Menyesali nasib dan merutuki diri sendiri.
Allah. Allah. Allah. Semua adalah milik Allah, dan aku yakin Allah sedang menambah ujianku. Harus berpikir positif supaya aku tidak berpaling. Aku berusaha menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah. Aku sadar bahwa aku adalah makhluk yang lemah. Segera tunaikan sholat isya dan memanjatkan doa dengan lebih khusyu. Aku berusaha menundukkan wajah dan mengagungkan nama-nama Allah. Berusaha melakukan rukuk dan sujud dengan sempurna. Tak terasa air mata ini menetes.
Semilir angin menerpa tubuhku. Aku mengangkat kepala dan melihat langit kemerahan. Angin bertiup lebih kencang menggoyangkan gorden yang menghubungkan kamarku. Sesaat aku termenung, kaget dengan keadaan pagi ini. Ternyata aku ketiduran. Tidur masih dengan mukena yang melekat di tubuh.
Pagi ini aku harus bisa berpikir dengan baik, menyiapkan mental dan segalanya dengan baik. Setelah itu aku membuka kamar dan siap berangkat kerja.
Di ruang tamu Mas Wira dan Fatimah terlihat serius berbicara sambil menikmati teh hangat. Sementara itu ibu dan Mbak Ayu terlihat akrab di dapur. Tumben mereka bersedia menyiapkan sarapan pagi ini. Sepertinya mereka membuat omelet.
"Sarapan, Jihan!" panggil ibu sambil berjalan mendekatiku. Beliau meletakkan omelet yang sudah jadi. Beliau hanya membuat omelet sebanyak empat buah dan diletakkan di masing-masing kursi. Sedangkan di kursiku tidak ada makanan apapun.
"Kalau mau sarapan itu ya, usaha! Hidup kok maunya enak sendiri. Masak sana, jadi istri gak berguna banget." gerutu Mbak Ayu.
Aku yang sudah duduk dan menikmati minuman hangat segera beranjak pergi meninggalkan Mbak Ayu dan Ibu.
"Duduklah dulu, Jihan. Nikmatilah pagi ini dengan bahagia. menyeruput teh panas itu rasanya sangat nikmat. Apalagi ada omelet yang menemani." Ibu berkata tanpa melihat keadaanku. Dia sepertinya sengaja memancing emosi pagi ini.
"Maaf, pekerjaan saya lumayan banyak, Bu!" jawabku sedikit emosi. Aku segera berdiri dan berjalan menuju toko.
"JIhan, apa asuransi toko dan gudang sembako kalau keadaan kita seperti ini apakah berfungsi?" tanya Mas Wira ketika aku berjalan melewatinya
"Sepertinya sangat berguna, Mas! Tetapi hanya untuk bangunannya saja sedangkan isi di dalamnya masih tetap menjadi tanggung jawab kita, apalagi barang-barang gudang sebagian besar belum dibayar sama sekali bukan?"
"Lalu bagaimana solusinya? Kita masih harus membayar hutang-hutang barang itu? Darimana uangnya?" Mas Wira terlihat santai.
"Pikirkanlah sendiri, Mas! Maaf tapi keputusanku tidak akan berubah lho, kalian tetap harus meninggalkan rumah ini selama masa idahku!"
"Jihan, jangan seperti itu kita masih suami istri. Sidang masih dua minggu lagi. Dan satu lagi aku belum mengucapkan talak untukmu!"
Aku mengarahkan pandangan ke depan, sudah malas berdebat dengan mereka. Lebih baik aku memikirkan masa depan yang lebih penting.
Para karyawan sudah menempati posisi masing-masing. Mesin-mesin di gudang sudah menyala dengan teratur. Aktivitas hari ini sudah mulai berjalan seperti biasanya. Aku segera membuka lembaran-lembaran kertas yang mulai menumpuk.
"Mbak Jihan, ada email dari pabrik mengenai kesepakatan harga. Mohon dicek ulang njih!" Mbak Rina berkata dengan pelan.
"Alhamdulillah, harga sesuai yang saya bayangkan." ucapku pelan setelah melihat penawaran harga yang diberikan dari pabrik. Segera ditandatangani kesepakatan kerjasama ini.
Dreet
Dreet
Benda pipih yang kuletakkan di atas mejaku berbunyi, terlihat nama Nora. Sejenak aku berpikir. Tumben sahabat yang selama ini menghilang tiba-tiba menghubungiku.
"Assalamualaikum sayang, ada kabar apakah?" tanyaku semangat
"Waalaikumsalam. Jihan, maaf aku prihatin dengan keadaan rumah tanggamu ya. Ngomong-ngomong kamu sudah tahu tentang madumu itu?" Suara Nora terdengar sangat bersemangat.
"Aku sudah tidak begitu memperdulikan mereka. Saat ini aku fokus pada usaha dan kehamilanku." jawabku sambil mengerjakan pekerjaan yang belum aku selesaikan.
"Lihat foto yang kukirim!" ucap Nora.
"Lihatlah, ternyata mereka sudah akrab lebih dulu, mertuamu itu yang mencarikan jodoh untuk suamimu. Perempuan itu yang dulu pernah dijodohkan, tetapi ditolak suamimu. Ibu mertuamu itu ular, kamu harus hati-hati. Jaga semua harta bendamu!" Nora berkata dengan penuh semangat.
"Siap komandan, memangnya kamu longgar tumben bisa ngobrol lama denganku?" tanyaku penasaran.
"Gak juga sih, ini baru selesai dari pengadilan. Oh ya jangan lupa dua minggu lagi sidang perceraian kamu ya! Luangkan waktumu, jangan hanya mengejar materi. Hartamu dah banyak, santai bro!"
Aku diam mematung. Berbagai perasaan menyerang kesadaranku. Ada perasaan marah, dendam dan cemburu. Juga ada perasaan penasaran dengan sikap ibu selama ini.
Rupanya yang ada di otakku saat ini bukan hanya kebakaran pada toko sembako, tetapi aku juga harus menetralkan hatiku yang kebakaran karena informasi dari Nora.
Matahari sore ini bersinar dengan indahnya. Kuning keemasan. Langit biru cerah. Angin bertiup sejuk. Tetapi mengapa hatiku tidak tenang dan nyaman. Saat ini aku harus berdamai dengan keadaan, menerima keadaan dan pasrah. Biarkan semesta berbicara.