Fatimah mendekat, dia berdiri dengan penampilan yang sangat tidak nyaman dilihat. Lingerie yang menempel hanya sebagai penutup sementara, menampakkan dengan jelas bagian dalam dengan sempurna.
"Pergilah, Mas! Selesaikanlah penyatuan kalian!" ucapku datar. Tanpa perlawanan Mas Wira mengikuti istri barunya.
Tinggallah diriku sendiri di kamar ini. Meratapi nasib kembali. Tanpa dapat kubendung, air mata mengalir dengan deras. Isakan yang kutahan tidak dapat kusembunyikan lagi.
"Jihan, malam-malam bikin masalah saja! Tidak perlu menarik perhatian suamimu! Sampai menangis darah pun Wira tidak akan menganggapmu ada. Ingat suamimu sedang menikmati surga dunia. Jangan ganggu dia! Biarkan dia menikmati malam ini dengan nyaman!" Kutatap ibu mertua yang datang dengan penuh kemarahan. Tanpa memperdulikan perasaanku dia berkata dengan lantang.
Aku duduk termenung menikmati hujan yang belum reda. Meratapi nasib di depan kamar. Angin berhembus dengan cukup kencang. Daun-daun bergerak sesuai iramanya. Aku menarik napas panjang. Berusaha menguatkan hati. Cukup Jihan, cukup. Tak perlu kau tangisi lelaki itu. Lelaki yang tidak bisa mempertahankan kesucian cintanya. Lelaki yang hanya mengejar nafsunya. Mencari penyaluran hasrat tanpa memperdulikan luka di hati orang yang mencintainya. Tinggalkan saja dia, buang jauh-jauh orang itu. Hatiku berontak tetapi aku tidak berdaya menolak. Aku memiliki segalanya, ingat suamimu bisa seperti ini berkat warisan orang tuamu. Buang saja orang tidak berguna itu. Setan-setan mulai berkeliaran di otakku. Ide-ide gila mulai bermunculan. Lamunanku buyar mendengar suara Bi Sari
"Bu, ini buburnya! Wedang jahenya juga masih panas, monggo!" ucap Bi Sari.
"Bi, temani saya makan ya, sepertinya sangat enak bubur ayamnya! Terima kasih, Bi! Hanya bibi yang bisa mengerti perasaanku saat ini." jawabku.
"Njih, Bu, sekedap saya ambil buburnya dulu! Kebetulan saya buat untuk beberapa porsi, cukup untuk makan ibu satu hari ini." Jawab Bi Sari. Beliau langsung berjalan meninggalkanku setelah membersihkan kaca-kaca yang berhamburan di lantai.
"Bi, jangan lama-lama, sepertinya bubur ini sangat nikmat dimakan dalam keadaan panas!" Aku berkata sambil tersenyum. Bi Sari menahan tawanya. Beliau dengan cekatan membungkus kaca-kaca yang sudah dikumpulkan. Kemudian segera turun untuk mempersiapkan semuanya.
Kami menikmati bubur panas dan wedang jahe dengan hati gembira. Sesaat Bi Sari bisa mengalihkan kesedihanku. Cerita tentang masa kecil dan kebiasaan yang sering kulakukan membuatku tidak bisa menahan tawa. Sampai tidak sadar kami mengobrol dengan cukup lama. Sayup-sayup terdengar suara adzan. Bi Sari berhenti sejenak. Bekas makan kami dikumpulkan menjadi satu.
"Bu, apa tidak sebaiknya njenengan menenangkan diri di Tawangmangu, atau di Selo. Ada beberapa homestay yang bisa njenengan gunakan! Apa njenengan sudah lupa?"
"Oh iya ya, Bi, terima kasih sudah mengingatkanku. Memang sebaiknya aku meninggalkan rumah ini dan bisa hidup dengan tenang disana!" ucapku lirih.
Orang tuaku meninggalkan beberapa rumah yang ada di daerah pegunungan. Itu rumah warisan orang tuaku. Kebetulan kedua orang tuaku berasal dari gunung, mereka memiliki rumah joglo peninggalan orang tuanya. kemudian membeli beberapa tanah milik tetangga yang dijadikan warung kopi dan penginapan. Alhamdulillah sampai saat ini masih dikelola dengan baik. Warisan-warisan itu tidak diketahui Mas Wira. Aku sengaja merahasiakannya, karena takut mereka terbuai dengan banyaknya harta peninggalan orang tuaku.
Aku juga memiliki tanah dari hasil tabunganku selama bekerja. Di atas tanah itu kubangun kos-kosan untuk mahasiswi. Karena letaknya yang strategis, kamar-kamar yang tersedia tidak pernah kosong. Alhamdulillah dalam dua tahun ini sudah menghasilkan pundi-pundi rupiah. Dan harta itu kumiliki tanpa sepengetahuan Mas Wira.
"Bi, aku tidak rela jika harus meninggalkan rumah ini! Aku tidak ingin rumah ini dikuasai mereka, orang-orang yang tidak tahu terima kasih." Aku berusaha memutar otak untuk mengambil alih rumah ini tanpa sepengetahuan Mas Wira.
"Bu, saya sholat subuh dulu. Ibu ingin dimasakin apa? Tolong saran saya dipertimbangkan, demi bayi yang ada di perut njenengan!" Bi Sari berjalan dengan pelan sambil membawa bekas makan kami.
Kamar sudah bersih dan rapi. Foto pernikahan sudah diturunkan. Aku beranjak meninggalkan balkon dan menikmati guyuran hangat pancuran di kamar mandi. Sesaat berendam untuk melonggarkan otot dan isi kepala. Terlintas ide untuk mengembangkan usaha di daerah pegunungan. Tinggal memoles warung kopi dan homestay menjadi lebih menarik. Insyaallah uang akan mengalir dengan sendirinya.
Cukup siang aku keluar dari kamar mandi. Saking nikmatnya sampai tertidur di dalamnya. Aku berganti baju dan segera menuju toko. Menyelesaikan segala hal yang berurusan dengan pabrik. Banyak administrasi yang belum diselesaikan karena banyaknya barang yang harus kami kirimkan. Baik kepada pabrik atau kepada konsumen.
Gudang empon-empon penuh sesak. Tumpukan bahan dasar jamu sudah siap dikirim. Surat jalan pengiriman sudah menumpuk di meja kepala gudang. Karyawan sudah berdatangan dan mulai menempati posisi masing-masing. Mobil-mobil dari pabrik sudah berjajar di halaman toko. Sedangkan mobil untuk mengirim jamu ke pasar-pasar dan beberapa agen mulai berjajar di depan toko. Karyawan bagian pengiriman mulai sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dikirim, sedangkan barang yang sudah dimuat tinggal menunggu sopir menyelesaikan pengecekan barang.
Satu per satu mobil kiriman meninggalkan toko sedangkan mobil pabrik masih menunggu pemindahan empon-empon. Senyumku mengembang karena satu per satu pekerjaan sudah selesai dikerjakan. Laporan dari pabrik juga sudah mendapat balasan.
Mbak Ani sudah sibuk dengan rutinitasnya. Dia terlihat mendominasi pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
"Rin, laporanku tolong kamu selesaikan ya, aku capek banget!" Mbak Ani memandang Rina dengan tatapan meremehkan.
"Rin, punya telinga tidak sih?" Ingat aku kakak pemilik usaha ini, aku bisa saja menyuruh Jihan untuk memecatmu!"
"Iya, Mbak, saya tahu. Saya selesaikan dulu pekerjaan ini." jawab Rina.
"Pekerjaan saya itu lebih penting, kalau tidak segera kamu kerjakan, mobil pabrik tidak akan berangkat! Lihat itu sudah antri di depan, tinggal menunggu rekapan dari kamu!" Bentak Mbak Ani.
"Iya, Mbak!" jawab Rina pasrah. Dia segera berjalan mengambil tumpukan catatan dari gudang. Dengan cekatan dikerjakannya rekapan untuk dibawa ke pabrik. Surat jalan dan nota kiriman sudah diprint dengan cepat. Mbak Ani tidur diatas meja kerjanya.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kakak iparku ini. Sebenarnya pekerjaan Mbak Rina tidak begitu berat, dia hanya membantu merekap empon-empon yang khusus dikirim ke pabrik. Sedangkan empon-empon yang baru datang lebih rumit proses pengerjaannya.
Wajah putih dengan hidung kecil dan bibir tipis terlihat sangat menggoda untuk dilihat. Tetapi mengapa Mbak Ani selalu ditinggalkan pasangannya. Mbak Ani sudah menikah tiga kali di setiap pernikahannya tidak bertahan lama. Entah apa yang menjadi sebab suaminya meninggalkan dia disaat usia pernikahannya masih bisa dihitung jari.
"Jihan, Jihan sayang!" Mas Wira berjalan mendekatiku, dia duduk dan menatapku dengan tatapan penuh cinta. Seandainya dia tidak mengkhianatiku mungkin aku akan luluh di depannya dan menuruti semua permintaannya.
"Iya, ada apa, Mas?" tanyaku penasaran.
"Tolong booking kamar untukku di salh satu homestay langganan kita di Selo atau Tawangmangu dong! Aku ingin bulan madu dengan Fatimah, disini banyak godaan, banyak yang ganggu! Maklumlah Fatimah 'kan masih perawan jadi aku harus pelan-pelan dan kamu tahu sendirilah, seperti kamu dulu lah!" Mas Wira berkata dengan manis, kata-kata yang keluar bagaikan anak panah yang menghujam dada dan menembus hatiku. Kutarik napas pelan-pelan, kemudian menghembuskannya dengan perlahan.
"Mas! Kamu itu harus mengurus toko sembako kita dengan baik. Sudah berapa hari toko itu kamu abaikan? Kamu hanya datang untuk mengambil uang setelah itu kamu tinggal pergi. Aku tidak ingin toko itu bangkrut karena ulahmu! Ingat toko itu milik orang tuaku, kamu hanya membantu mengelola tidak ada hak untuk mengambil uangnya." Aku berkata sambil memeriksa pembukuan manual gudang yang dipegang Mbak Ani.
Bragh, meja kerjaku digebrak Mas Wira. Lelaki yang memiliki rahang kuat itu terlihat sangat emosi. Matanya melotot dan menatap tajam padaku. Rasa tidak terima terlihat sangat jelas.
"Kamu sudah berani membantah ucapanku ya! Kamu itu perempuan yang tidak laku, seharusnya kamu berterima kasih padaku, karena aku masih bersedia menerimamu menjadi istriku!"
Aku tersenyum melihatnya, sifat suamiku ini. Mungkin sebentar lagi sudah berubah statusnya. Semua mata karyawan tertuju pada meja kerjaku. Mereka hanya diam, memandang kami, tidak berani melakukan apapun.
"Mas, maksudmu itu apa? Kamu suruh aku menyiapkan keperluan untuk bulan madumu? Kamu itu apa tidak memiliki rasa sayang padaku? Aku bukan orang gila yang akan menuruti setiap keinginan yang tidak masuk akal!" Mas Wira menatapku nyalang, masih terlihat kemarahan di matanya.
"Bukan begitu maksudku, aku hanya ingin adil pada kalian semua!" jawabnya datar.
"Kalau begitu maksudmu, sebaiknya kamu meninggalkan rumahku. Ingat itu rumah keluargaku, bukan rumah yang kamu bangun dengan hasil jerih oayahmu! Bawa pergi istri barumu, carilah tempat tinggal untuknya! Satu lagi bawa pergi ibu dan seluruh keluargamu! Aku tidak mau hanya jadi atm kalian!"
"Jangan kurang ajar, Jihan! Wira itu suamiku, surgamu ada padanya!" Mbak Ani menyela pertengkaran kami. Sebenarnya aku malu, bertengkar di depan seluruh karyawan.
"Mbak, saat ini kamu hanya karyawanku tidak lebih, jangan ngelunjak!" jawabku. Aku berdiri berhadapan, mata kami saling menatap. Emosi terlihat dari tatapan kami.
"Jihan, kamu mengusirku?" tanya Mas Wira lembut.
"Aku tidak mengusir hanya membuang benalu seperti kalian!" ucapku lembut di telinga Mas Wira.
"Jihan, jangan seperti ini dong! Aku tidak akan lupa dengan kewajibanku. Semua harta itu milikmu dan akan kuserahkan utuh, tetapi beri aku waktu untuk membuktikannya!"
"Apalagi yang harus dibuktikan? Bagaimana dengan janjimu dulu! Ingat tidak sebelum orang tuaku meninggal!"
"Maafkan aku, Jihan! Aku tidak lupa dengan janji itu, tapi aku juga tidak kuasa menahan hasratku! Tolong, maklumi keadaanku, Jihan!" Mas Wira menjawab dengan wajah memelas.
"Maklum," ucapku sambil mengalihkan pandangan.
"Mas, tolong bawa pergi istri baru dan seluruh keluargamu dari rumah ini! Aku tidak mau rumah ini hilang keberkahannya karena ulahmu!"
"Jihan, tolonglah, bantu aku membahagiakan keluargaku!"
Brag, jedar, suara mobil menabrak pagar rumahku. Tatapan kami saling beradu. Perselisihan kami hentikan sementara, aku segera berjalan mendekati sumber suara.