Chereads / Perempuan yang Menantang Pekatnya Malam / Chapter 7 - 7. Kejutan yang Tertunda

Chapter 7 - 7. Kejutan yang Tertunda

Alhamdulillah, alhamdulillah, hanya itu kata yang bisa kuucapkan. Terlihat dengan jelas namaku tercantum sebagai salah satu orang yang beruntung. Tiga puluh gram logam mulia yang akan kami terima. Sekali lagi aku mengucapkan syukur yang tidak terhingga. Kami selalu diberikan kemudahan dan kemudahan.

Mbak Tika ikut meneteskan air mata ketika melihat besar hadiah yang kami terima. Kami sebagai salah satu gudang dengan pendapatan tertinggi dalam satu tahun terakhir. Usaha memang tidak membohongi hasil. Kami membangun usaha ini mulai dari nol. Saat itu aku memang menghubungi pabrik dan menawarkan kerjasama itu. Gayung pun bersambut, pabrik menerima penawaran kami dan memberikan target yang sangat besar. Mereka bersedia membantu pengurusan izin usaha jika kami bisa memenuhi target itu di bulan pertama. Alhamdulillah segala usaha kami dipermudah dan diberikan kelancaran. Mbak Tika dan Mbak Rina sebagai karyawan yang membantu segala usahaku dari awal. Sedangkan untuk gudang dan penjaga rumah memang masih menggunakan orang kepercayaan orang tuaku. Bi Sari juga sebagai orang yang membantuku mengurus rumah ini setelah kedua orang tuaku meninggal.

"Mbak, tolong diinfokan ke para pekerja, kalau kita semua akan lembur ya! Sekalian syukuran atas pencapaian kita tahun ini. Mbak Rina tolong pesankan nasi sama ayam bakar untuk semua karyawan ya!" Aku kembali meneruskan beberapa pekerjaan yang memang belum selesai dikerjakan.

Sopir dari pabrik masih mengantri mengambil empon-empon yang sudah siap dikirim. Sedangkan beberapa pegawai gudang masih membersihkan dan mengeringkan empon-empon yang sudah dipisah-pisahkan. Para pegawai terlihat sangat bersemangat mengerjakan pekerjaan sesuai tugas masing-masing.

Untuk pengiriman jamu masih berjalan sesuai rencana, banyak reseller dan agen yang mengambil langsung ke tempat kami. Usaha kami khusus untuk memenuhi pesanan dan kebutuhan jamu di wilayah bagian utara karesidenan. Untuk pemesanan online memang tidak membatasi wilayah jangkauan, jadi memang kami memaksimalkan promosi untuk mencapai target yang ditentukan.

Aku segera memeriksa laporan keuangan selama satu tahun terakhir, alhamdulillah hasilnya sangat luar biasa. Dan rencananya aku akan memberikan bonus untuk para karyawan sebagai ucapan terima kasih, tentunya berdasarkan tanggung jawab yang dipegangnya selama ini. Aku segera memanggil Mbak Tika untuk menyiapkan sejumlah uang yang akan dibagikan secara langsung sore ini. Aku gembira dan para karyawanku juga bahagia.

Bagian keuangan bersorak ketika aku mengatakan maksud dan tujuanku. Mereka dengan gembira segera menyiapkan dana sesuai rekapan yang sudah kuberikan. Semoga semua karyawan bisa menikmati reward yang diberikan pabrik. Sedangkan logam mulia akan aku simpan sebagai penghargaan kepada diriku sendiri.

"Jihan, berikan emas itu kepadaku, aku sebagai salah satu pegawai seharusnya ikut menikmati hasilnya." Mbak Ani berkata dengan bangga,padahal dia sebagai salah satu pegawai yang paling malas bekerja.

"Maksudnya?" tanyaku penasaran.

"Kamu itu seperti kacang lupa kulitnya, seharusnya kamu sadar siapa yang berjasa dalam usaha ini!" Aku membulatkan mata, kemudian menutup mulut yang terbuka sesaat setelah mendengar ucapan Mbak Ani. Aku mendekati Mbak Ani yang masih dengan percaya dirinya duduk dengan tenang sementara teman-temannya bekerja sesuai tugas masing-masing.

"Apa aku tidak salah dengar, Mbak! Mbak Ani itu hanya pegawai di sini, bukan pemilik atau pemegang saham, tidak ada hak njenengan untuk mengambil alih hadiah yang aku dapatkan. Ingat itu, Mbak! Seandainya aku membagi hadiah untuk njenengan seharusnya berterima kasih padaku, karena Mbak Ani tidak mendapatkan apapun. Lihatlah cara kerja, Mbak apakah layak mendapat hadiah?" Aku berusaha menyadarkan orang yang merasa berkuasa di tempat ini.

"Jihan, kamu istri adikku, seharusnya kamu menuruti semua perintahku!"

"Sudahlah, Mbak, aku tidak mau berdebat lagi, seandainya mendapatkan hadiah itu terimalah dengan tangan terbuka! Berkacalah, apa yang sudah Mbak berikan untuk tempat ini!" Aku berusaha mengatur suara dengan baik, sebisa mungkin tidak terlihat emosi.

Tak terasa rutinitasku hari ini akan segera berakhir. Para pegawai mulai membereskan semua pekerjaan yang sudah selesai dikerjakan. Gudang sudah mulai menyiapkan empon-empon yang akan dikirimkan besok. Surat jalan dan berbagai perlengkapannya sudah disiapkan sesuai permintaan pabrik. Kami berharap kiriman dalam bulan ini bisa sesuai target yang ditentukan. Apalagi pengajuan kenaikan target sudah disetujui dan akan diberlakukan mulai bulan depan.

Sedangkan untuk kiriman pasar sudah selesai dikerjakan. Surat jalan sudah diletakkan diatas jamu yang akan dikirimkan. Barang retur dari pasar yang akan dikembalikan ke pabrik juga sudah dipersiapkan. Para pegawai bekerja dengan cekatan sesuai tugas masing-masing. Setelah semua selesai, kami berkumpul di ruang tengah untuk mengadakan syukuran atas pencapaian tahun ini. Berbagai doa kami panjatkan supaya segala usaha yang kami lakukan membuahkan hasil. Setelah menikmati makan malam, tibalah saat yang paling mendebarkan, Mbak Tika membagikan amplop hadiah sesuai dengan tanggung jawab yang dikerjakan. Para karyawan menerima dengan hati gembira. Ucapan terima kasih dan doa terbaik diberikan untukku.

Mbak Ani terlihat tidak senang, dia melempar amplop yang diberikan kemudian meninggalkan toko dengan wajah masam. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya tingkah lakunya. Kupastikan sebentar lagi mereka akan menuntut bagian atsa hadiah yang kuterima.

Acara selesai bersamaan dengan berkumandangnya adzan magrib sore ini. Semua barang bekas makan dan pertemuan ini sudah dibersihkan dengan bersih. Setelah merasa semua telah selesai, aku meninggalkan ruangan dengan sejuta kebahagiaan. Pintu aku kunci setelah Mbak Tina dan Mbak Rina meninggalkan ruangan. Penjaga gudang sudah berdiri menunggu kunci yang akan kuberikan. Semua karyawan ikut merasakan kebahagiaan hari ini.

***

Aku masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan tiga orang yang menungguku. Mereka berdiri menghalangi jalanku. Aku rasa mereka sudah lupa dengan statusnya di rumah ini. Aku berusaha menerobos jalan tetapi mereka menghalangiku.

"Mana bagian emas untuk kami, seharusnya kamu memberikan bagian kepada kami lebih dulu sebelum membagikan kepada para pegawaimu. Kamu tahu statusmu di sini!" Ibu mertua berkata dengan bangga. Sebenarnya aku tidak masalah memberikan sedikit untuk mereka, tetapi aku merasa mereka bukan bagian dari usahaku. Mereka hanya orang-orang yang selalu mengganggu ketenangan hidupku.

"Apa peran ibu dalam usahaku?" Aku bertanya sambil duduk di ruang tamu. Bi Sari telah menyiapkan minuman hangat untukku, selain itu juga ada beberapa makanan ringan yang biasa aku nikmati di malam hari.

Aku meneguk minuman hangat itu dengan hati tenang. Mas Wira mendekatiku dia berusaha meraih jemariku.

"Sayang, kamu tidak lupa dengan pesanku tadi pagi bukan? Aku sangat ingin menikmati bulan madu dengan tenang tanpa gangguan." ucap Mas Wira.

"Maaf, Mas, aku tidak ada waktu untuk mengurusnya. Apa kamu tidak memiliki uang untuk mencari tempat yang lebih indah? Mengapa harus di homestay keluargaku?" Aku menarik sebelah bibirku sambil menatap tajam lelaki yang pernah bertahta di hatiku itu.

"Jihan, apa kamu tidak memahami keadaanku saat ini? Biaya untuk pernikahanku kemarin sangat besar, bahkan uang untuk membayar tagihan barang sudah kupakai. Aku mohon tolonglah kami?" pinta Mas Wira dengan nada memelas.

"Fatimah mengapa tidak memilih dan mengurus bulan madu kalian, bukankah dia salah satu pengusaha besar juga? Atau hanya statusnya saja tanpa memegang kendali keuangannya?" Aku bertanya tanpa mengalihkan pandangan. Bagiku melihat tanaman bunga yang sedang mekar lebih nyaman dilihat daripada melihat kebersamaan mereka

"Tidak perlu membalikkan fakta, seharusnya kamu sebagai istri pertama memberikan kenyamanan untuk madumu! Kamu harus memberikan ucapan terima kasih karena membantumu berbakti kepada suamimu. Ingat surgamu ada karena ridlo suamimu!" Aku tersenyum dengan kecut mendengar penjelasan ibu mertua. Betapa cethek pengetahuannya tentang hukum pernikahan. Yang dicari hanya hak bukan kewajiban yang harus diselesaikan.

"Sudahlah, mana bagian emas untuk kami, paling tidak kami ikut menikmati hasilnya." Ibu berkata dengan santai seolah-olah mereka orang penting dalam usahaku. Sedangkan Mas Wira terlihat sibuk menenangkan istri barunya.

"Mas, tolong jelaskan status Mu dan keluargamu di sini! Maaf aku lelah, tolong berikan jalan untukku!" Aku berkata sambil berdiri, berusaha berjalan menuju tangga yang menjadi jalan satu-satunya ke kamarku.

"Jihan, jangan tidak sopan kepada keluargaku, berbagilah karena akan memberikan kebahagiaan kepada kami!" Aku menarik napas dengan kasar, sepertinya sabarku sudah berbatas.

"Aku tidak ada urusan dengan kalian semua, itu usahaku murni dari uangku, bukan uang suamiku. Perlu kalian ketahui ya, Mas Wira itu bukan siapa-siapaku! Dia hanya pegawai orang tuaku yang dipercaya untuk mengelola usahanya. Buka mata kalian, jangan hanya silau akan harta!" Aku berkata dengan kasar, tanpa memperdulikan kesopanan yang selama ini selalu kujaga. Kesabaranku sudah habis.

"Apa? Dasar menantu kurang ajar, seharusnya kamu berterima kasih kepada Wira! Lihatlah penampilanmu saat ini, tidak ada yang pantas dilihat sebagai seorang bos!"

"Maaf, bertanyalah langsung pada anak lelakimu, Bu! Sepertinya dia bisa menjelaskan dengan lebih jelas, maaf masih banyak yang harus kukerjakan. Selamat malam!" Aku berjalan dengan pelan sambil membawa gelas minuman yang sudah kuhabiskan. Bi Sari menerima gelasku, kemudian dia menyingkirkan makanan yang sengaja disiapkan untukku.

"Bi, besok sore ikut aku ya, kita akan menikmati weekend! Siapkan beberapa baju karena kita akan menginap beberapa hari," ucapku singkat tetapi membuat orang yang berkumpul lebih bingung lagi.

***

Setelah mandi dan membersihkan badan aku duduk di balkon ditemani sejumlah makanan dan minuman hangat. Aku membuka laptop dan membuat penawaran kerjasama semenarik mungkin. Kuambil gambar yang terbaik untuk lebih menarik perhatian. Aku membaca ulang beberapa kali supaya tidak ada kesalahan yang membuatku merasa bersalah. Kuusap perut yang masih rata ini, aku bertekad tidak akan menangisi nasib kami lagi.

Bulan bersinar dengan indah, cahayanya terlihat sangat menyejukkan. Bulan purnama begitu indah dilihat membuatku tidak lepas memandangnya. Angin malam bertiup dengan sangat menyejukkan. Hembusannya membuatku terlena dan lupa akan keadaanku saat ini. Beberapa rencana tentang usaha baruku sudah kubuat, aku berharap semoga berjalan sesuai rencana.

Mbak Dias menghubungiku beberapa kali, terlihat sekali beliau sangat tertarik dengan tempat yang aku tawarkan. Beliau sudah membayangkan apa saja yang akan diberikan untuk gudang yang akan dibangunnya.

"Bu, berapa baju yang harus saya persiapkan? Saya bantu menyiapkan sekarang, njih?" Bi Sari tiba-tiba datang dan mendekatiku.

"Tolong siapkan empat baju santai saja, Bi! Acaranya tidak resmi kok, nanti Bibi pasti senang dengan rencana yang telah kusiapkan."

"Apa tentang usul saya, Bu?" Aku menganggukkan kepala, Bi Sari terlihat sangat senang dengan jawabanku itu.

"Saya ingin memberikan yang terbaik untuk, Ibu, saya tidak ingin njenengan dizalimi lebih lama lagi. Njenengan berhak bahagia! Buang saja mereka yang telah menyia-nyiakan njenengan. Mereka tidak tahu berlian yang sesungguhnya!" Bi sari berbicara dengan mantap, beberapa butir air matanya menetes setelah ucapannya selesai.

Setelah selesai menyiapkan baju dan segala perlengkapan yang dibutuhkan, Bi Sari menceritakan keributan yang timbul setelah aku naik ke kamar tadi.

Mas Wira mengatakan dengan jujur segalanya. Mengenai pekerjaan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hidupnya. Fatimah merasa tertipu dengan kejujuran yang diungkapkan suaminya. Dia sudah membayangkan apa saja yang akan diperolehnya. Berapa kekayaan yang akan menambah pundi-pundi kekayaannya. Usaha yang selama ini dikelola Fatimah sedang membutuhkan banyak tambahan modal. Dia bersedia menjadi yang kedua karena Mas Wira menjanjikan sejumlah uang untuk menambah modal usahanya. Mas Wira juga berjanji akan memberikan sejumlah fasilitas dan uang jika dia menerima kehadiranku. Dia juga bersedia membantu mengasuh anak dariku. Tetapi ternyata harta yang menjadi tujuan utamanya.

Sedangkan Ibu Sifa sudah membayangkan akan menikmati masa tua dengan bergelimang harta. Segala sesuatu akan dengan mudah didapatkannya. Kehidupan di rumah ini sangat berbeda dengan kehidupan di desa. Walaupun dari keluarga yang berada, tetapi Ibu tidak bisa menikmati kekayaannya dengan bebas. Segala sumber pendapatan dikendalikan suaminya.

Mbak Ayu hanya mengekor hidup ibunya. Segala sesuatu sangat bergantung dengan beliau. Dia tidak memiliki harta atau simpanan sedikitpun. Gajinya selama bekerja di tempatku hanya digunakan untuk mempercantik dirinya. Untuk apa berpenampilan cantik sedangkan hatinya tidak ikut cantik.

Bi Sari mengajakku mendengarkan obrolan dan pembicaraan mereka di depan kamar. Sepertinya aku menyanggupinya untuk menghilangkan rasa penasaranku.

"Mas, kapan kita akan bulan madu? Janjimu mana?" Fatimah menagih janji yang diberikan. Mas Wira hanya berjalan mondar mandir tanpa memberikan jawaban. Sebenarnya aku juga tidak tega melihatnya begitu kebingungan. Ibu terlihat tidak tenang, beliau merasa kebahagiaannya akan terusik.

"Mas, jawab dong! Jangan mondar mandir dari tadi!" Fatimah mengulang pertanyaannya.

"Sabar, Sayang, sabar dong! Tenang kamu pasti akan mendapatkan apa yang menjadi keinginanmu!" Aku yang mendengar dari atas hanya tersenyum mendengarkan semua pembicaraan mereka.

"Wira, kamu harus tegas, jangan membiarkan Jihan terlalu bebas mengelola semua hartanya. Kamu harus bisa mengendalikan perempuan itu. Kalau anak dari Jihan sudah lahir kamu harus bisa menguasainya, karena kendalimu ada pada anak itu!" Ibu terlihat bersungguh-sungguh mengatakannya.

"Tiga puluh gram itu, sangat tinggi nilainya lho! Kalau ada kesempatan ambilah emas itu dengan diam-diam. Ibu sangat membutuhkan barang itu!" Bagaimana mungkin mereka bisa merencanakan itu dengan mendadak, sedangkan informasi reward saja baru aku ketahui siang tadi. Reward-nya saja belum sampai ke tanganku, tetapi para benalu ini sudah membuat rencana akan barang itu. Benar-benar hebat keluarga Mas Wira ini.

Sebaiknya kejutan yang kusiapkan untuk keluarga benalu ini kuberikan setelah urusan mengenai usaha baruku itu selesai. Biarlah aku bersabar dan menguatkan hati beberapa saat. Sepertinya masih membutuhkan beberapa bulan untuk menyelesaikan proses persetujuan perusahaan.

"Jihan, apa yang kamu lakukan disitu? Kamu menguping pembicaraan kami ya?" tanya Mas Wira dengan tatapan tajam.

"Tidak, Mas, tenang saja! Aku hanya mendengar sedikit pembicaraan kalian dan sepertinya kalian akan mendapatkan sedikit saja."

"Apa?"

"Tenang, Mas, kemarilah ada sedikit kejutan untukmu!" Mas Wira segera berlari mendekatiku. Sedangkan Ibu berdiri dengan angkuh di kursi kesayangannya.

"Ini, bukalah! Pasti kamu akan senang dengan kejutanku ini!"