Chereads / Perempuan yang Menantang Pekatnya Malam / Chapter 8 - 8. Gugatan Perceraian

Chapter 8 - 8. Gugatan Perceraian

"Apa ini, Jihan? Voucher menginap untuk kami? Aku tahu kamu begitu mencintaiku, pasti tidak akan membiarkan suami tercinta menderita!" Mas Wira menjawab sambil menerima amplop yang kuberikan. Dia dengan segera membuka dan membacanya. Setelah membaca wajahnya berubah dan dia menatapku tajam.

"Jihan, jangan main-main dengan perceraian! Kapan kamu mengurusnya? Sedangkan semua berkas ada ditanganku! Pasti ini palsu!" Mas Wira berkata dengan penuh kemarahan. Dibantingnya amplop yang kuberikan.

"Itu mah gampang, Mas! Kamu lupa aku memiliki teman pengacara dan seorang pegawai di departemen agama. Tenang, Mas, tenang! Pasti akan ada jalan bagi orang yang teraniaya!" Aku berkata sambil memiringkan salah satu bibirku. Hati ini bahagia melihat keluarga benalu itu kebingungan.

"Bu, saya ambilkan minuman untuk njenengan dulu, sekalian saya menyiapkan segala keperluan untuk besok! Apa masih ada yang perlu saya selesaikan disini!" tanya Bi Sari berusaha mengalihkan perhatian.

"Pembantu kurang ajar, menyingkir dari hadapanku! Ingat statusmu disini, tidak pantas jika duduk bersama majikanmu!" Mas Wira berkata dengan mata yang menyala.

"Maaf, Mas, Anda bukan majikan saya, jadi tidak ada kewajiban saya untuk menuruti omongan njenengan. Saya hanya mengingatkan, Mas, manusia diciptakan sama dari tanah liat. jadi tidak ada yang berbeda diantara kita!" Bi Sari berjalan tanpa menoleh, dia berani karena memang Mas Wira tidak pantas dihormati.

Aku melihat ibu duduk dengan gelisah. Mbah Ayu berjalan mondar mandir mengimbangi langkah Fatimah. Mas Wira masih berdiri di depanku. Dia menunggu penjelasan dariku.

"Jihan, katakan kalau ini semua hanya gurauan? Kamu pasti tidak akan menceraikanku 'kan?"

"Maaf, Mas! Aku tidak main-main dengan semua tindakanku, sebaiknya kamu segera mempersiapkan diri untuk tiga bulan ke depan. Siapkan juga tempat tinggal untuk kalian. Selama proses perceraian jelas tidak mungkin jika kita masih tinggal satu atap!" Aku berkata tanpa melihat kedua matanya. Jujur aku tidak berani melihatnya, karena takut akan pesonanya lagi.

Memang kami menikah karena dijodohkan kedua orangtuaku. Mas Wira adalah sosok pemuda yang sangat rajin. Tanpa mengenal lelah dia selalu mengerjakan pekerjaan dengan sempurna. Ayahku begitu salut dengan sifat rajinnya itu. Sampai akhirnya beliau langsung meminta Mas Wira untuk menikahiku. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, akhirnya proses pernikahanku terlaksana. Tanpa mengeluarkan uang sepeserpun Mas Wira menikahiku. Mas kawin dan biaya pernikahan secara keseluruhan ditanggung kedua orangtuaku.

Rumah yang sekarang digunakan adalah rumah warisan dari orang tuaku. Walaupun dulu rumah kecil itu dipergunakan sebagai tempat tinggal penjaga gudang, tetapi setelah direnovasi bisa sesuai dengan keinginanku. Sedangkan gudang belakang yang sekarang dipergunakan sebagai gudang empon-empon adalah tempat penyimpanan sembako dari berbagai distributor.

"Jihan, aku mohon, jangan seperti ini! Kamu masih jadi prioritasku! Beri aku waktu untuk menuntaskan segala hasratku. Lebih dari dua bulan aku sudah menahannya, beri aku waktu untuk menuntaskan semua. Aku mohon kamu mengerti dengan keadaanku, Sayang!" Aku menahan napas kemudian mengembuskannya perlahan. Pelan-pelan sampai deru ini menghilang.

"Bu, minuman ini perlu saya bawa ke dalam atau saya letakkan disini?" tanya Bi Sari.

"Mbak, jangan membuat suasana semakin rumit! Tinggal melaksanakan perintah suami aja kok sulit!" Fatimah berkata sambil menarik tangan suaminya.

"Mas, besok aku akan ke tempat saudara di Selo, kamu jaga rumah saja. jangan sampai ada barang-barangku yang hilang!" kataku penuh penekanan.

"Jihan, yang akan bulan madu itu aku, kenapa yang berlibur kamu?" tanya Mas Wira. Aku sudah melihat kemarahan di bola matanya. Dia menatap tajam padaku.

"Maaf aku ada bisnis dengan pemilik pabrik. Jadi urusan ini lebih utama bagiku dibandingkan dengan segala perintah dan rengekanmu!" Aku mencoba berbicara dengan tegas tanpa menyinggung perasaannya.

"Rencananya aku akan ke Selo dan Tawangmangu, jadi sebaiknya kalian tidak mendatangi tempat itu! Atau akan kubuat kacau kesenangan kalian saat itu juga!"

"Ayo, Bi, malam ini njenengan tidur bareng saya njih!" Aku berkata sambil menutup pintu, setelah Bi Sari masuk dan meletakkan makanan dan minuman hangat untukku.

"Jihan, tidak adakah belas kasihmu untukku?" Sayup-sayup terdengar ucapan Mas Wira.

Aku menyeka keringat yang jatuh di keningku. Ternyata udara dingin malam ini belum bisa meredakan panasnya amarah dalam diri ini. Mencoba membunuh rasa cinta yang pernah tumbuh itu sangat sakit dan melelahkan. Apalagi ditambah ditinggalkan karena alasan yang sangat klise. Andaikan kamu tidak menancapkan duri dalam diri ini, pasti kebahagiaan ini tidak akan terenggut. Menikmati kebahagiaan bersama calon buah hati. Aku hanya bisa menarik napas dengan berat, kemudian menghembuskannya perlahan. Saat ini aku ingin merasakan kecupan, belaian dan pelukan dari suamiku. Segera ku tepis segala rasa itu. Mengharapkan cinta dari orang yang hanya memanfaatkan kita itu sama saja bohong. Dia akan datang disaat butuh dan dia akan meninggalkan kita saat kita terpuruk.

"Bu, yakin ibu pasti bisa melewati ini semua. Kehamilan ibu bukanlah halangan suatu perceraian. Selama kita yakin dengan semua tindakan itu, Insyaallah semua akan lancar." ucap Bi Sari dengan penuh keyakinan. Beliau adalah orang yang aku percaya setelah kedua orang tuaku. Beliau begitu memahami diriku. tanpa aku katakan beliau bisa mengetahui apa yang aku rasakan selama ini.

"Iya, Bi. Saya sudah yakin dan mantap dengan jalan ini. Terima kasih Bibi selalu membantu dan mendukung semua tindakanku." Aku menjawab dengan mata berkaca-kaca. Betapa besar pengabdian beliau dan suami kepada keluargaku. Bi Sari dan Pak Harjo adalah pasangan yang tidak diberikan momongan. Beliau selalu melindungi dan menganggapku anak.

"Bi, tolong sampaikan kepada Pak Harjo supaya mengawasi setiap gerak gerik orang yang berada di rumah ini. Aku tidak ingin semua barang berharga keluargaku hilang sedikit demi sedikit."

"Bu, sebaiknya, perhiasan peninggalan Mama disimpan di tempat yang aman saja. Saya takut mereka bisa mengambil sedikit demi sedikit untuk menghilangkan jejak."

"Terima kasih sudah mengingatkan. Semua perhiasan peninggalan mama sudah saya simpan di bank beserta emas batangan lainnya. Sebenarnya tidak banyak, tapi cukup besar seandainya diuangkan."

"Yang ada di almari tinggal perhiasan seserahan pernikahanku kok, Bi! Tidak perlu khawatir!" Aku berkata sambil menuangkan minuman hangat yang disiapkan Bi Sari.

"Bibi sebaiknya segera tidur, besok pagi pasti para benalu itu pasti membuat ulah lagi. Beristirahatlah lebih dulu, karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini!" Bi Sari berjalan menuju kasur, beliau menggelar kasur kecil yang cukup tebal di bawah tempat tidurku. Selimut dan bantal sudah disiapkan dan beliau segera merebahkan badannya. Tak menunggu lama dengkuran halus mulai terdengar.

Aku segera membuka laptop dan mengambil beberapa berkas yang harus dibenahi. Kecocokan sesuai dengan bukti nyata yang ada. Sambil mengerjakan pekerjaan-pekerjaan itu, aku membuka percakapan di wa grup kami. Satu per satu membalas omongan sampai terakhir mataku melihat beberapa gambar yang dikirimkan teman-temanku. Gambar tempat-tempat wisata yang bisa didatangi dengan bangunan yang sangat unik.

Mungkin setelah gudang empon-empon di Selo dan Tawangmangu berjalan dengan baik, aku akan segera membuka cafe-cafe kecil dengan bangunan unik di tempat-tempat ramai dan menghasilkan. Tapi sebelumnya aku harus mendatangi tempat-tempat itu untuk melihat secara langsung keindahan bangunan yang dibuat.

Berbagai rencana tentang ide-ide gila yang menghasilkan uang berkelebat di otakku. Ide-ide itu sementara ini aku tampung dan kutuangkan dalam gambaran desain bangunan yang akan digunakan. Air mata ini mengalir kala mengingat betapa besar perjuangan untuk mendapatkan momongan. Banyak sekali waktu dan uang yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan itu. Sampai akhirnya sekarang aku hamil dan mengandung buah hati Mas Wira. Tapi perjuangan itu harus berakhir dengan perceraian, karena ego dari Mas Wira sendiri. Alhamdulillah aku memiliki teman dan pegawai yang baik. Berkat mereka aku bisa bertahan hidup dan memperjuangkan kehidupan calon anakku.

"Belum tidur, Bu? Sudah hampir subuh lho!" Bi sari bangun dan mendekatiku. Aku yang sudah berpindah tempat di dalam kamar, kaget dan dengan segera melihat jam di laptop.

"Iya, ya, Bi, baru sadar kalo sudah pagi. Bibi mau ke kamar mandi atau bagaimana?" tanyaku sambil menyingkap selimut yang menutupi kaki ini.

"Saya bersihkan tempat ini dulu, Bu! Setelah itu baru sholat dan turun!" jawab Bi Sari singkat. Tangannya dengan cekatan menyingkirkan peralatan tidur kemudian memasukkannya ke dalam tempat penyimpanan. Setelah itu beliau menyingkirkan laptop dan menata tempat tidurku. Membersihkan dan melipatnya dengan rapi. Menyapu kamar dan menyemprot aroma terapi. Setelah itu membuka balkon membersihkan semua kotoran yang ada di kamar ini.

Aku keluar dari kamar mandi dan melihat kamar sudah rapi dan wangi. Aku menggelar sajadah dan melaksanakan sholat malam sebelum habis waktunya. Bi Sari duduk dan menungguku di luar, beliau termenung seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Bi, setelah subuh saya tak tidur dulu. Nanti sebelum jam delapan tolong dibangunkan njih. Jangan lupa siapkan juga sarapan di kamar ini. Maaf kalau merepotkan!" perintahku. Aku berjalan menyalakan lampu dan mengambil Al Quran.

"Baik, Bu, siap, perintah segera dilaksanakan. Saya permisi dulu, takut keduluan ibu Sifa dan jadi masalah." jawab Bi Sari sambil membawa keranjang yang berisi baju-baju kotorku dan membawa nampan yang berisi sisa makanan dan minuman malam tadi.

Aku menikmati tidur beberapa jam setelah subuh. Mataku membulat melihat lelaki yang selama ini menjadi belahan jiwaku duduk di dekatku. Dia menatapku dengan penuh gairah. Aku segera membenahi selimut dan duduk di dekatnya.

"Ada apa, Mas? Tumben pagi-pagi sudah nongkrong di kamarku?" tanyaku penasaran. Aku berdiri dan menuju kamar mandi, mengambil baju ganti yang akan aku gunakan.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu!" jawabnya singkat.

"Oke, sebentar aku mandi dulu!" Aku berjalan tanpa menghiraukan Mas Wira yang berjalan mengikutiku.

"Jihan, kita mandi bareng ya?" tanyanya tanpa dosa. Aku segera mendorong dan mengunci kamar mandi. Rasanya sangat tidak pantas berbagi peluh dengannya lagi.

"Jihan, aku masih suamimu, jadi aku masih berhak melakukan apapun denganmu. Bahkan meminta hakku saat ini juga!" Gedoran dan teriakan darinya tidak diperdulikan lagi. Aku menikmati guyuran air dingin tanpa menghiraukan gangguan dari luar.

Setelah semua selesai, aku keluar dan tidak kudapati Mas Wira di dalam kamar ini. "Alhamdulillah," ucapku dalam hati. Segera bereskan semua hal yang berhubungan dengan pekerjaan hari ini.

Pukul tujuh lebih sepuluh, dan aku melihat meja masih kosong. Sarapan yang aku inginkan belum dibawa naik Bi Sari.

"Bu, sudah bangun?" tanya Bi Sari sambil membuka pintu kamar. Rupanya beliau tidak tahu kalau Mas Wira tadi masuk ke dalam kamar ini.

"Ini sarapannya, mohon maaf kalau terlambat!" Bi Sari segera meletakkan sarapanku di balkon di dekat tempat dudukku. Kubenahi kerudung yang menutup rambut ini, sampai aku merasa sudah cukup rapi.

Aku berjalan kemudian menikmati sarapan yang dibuat Bi Sari pagi ini. Makanan yang sangat enak dikonsumsi kala hari sedang hujan. Seperti pagi ini, gerimis menemani sarapanku kali ini. Soto daging dengan taburan bawang goreng yang banyak, serta bakwan jagung dan tempe mendoan yang menambah nikmat sarapan pagi ini. Teh manis panas tidak pernah lupa dibawa Bi Sari.

"Jihan, tidak bisakah kita berbicara serius?" tanya Mas Wira dengan wajah memelas. Dia tiba-tiba masuk ke dalam kamarku dengan penampilan yang tidak sedap dipandang. Mungkin dia baru saja menuntaskan hasratnya, kemudian meninggalkan istri barunya. Dia berdiri sambil membenarkan celana kolor dan kaos yang baru dikenakan.

"Ada apa, Mas?" tanyaku sambil tetap menikmati sarapan.

"Tolong, urungkan niatmu untuk bercerai, Jihan! Aku masih sangat membutuhkanmu! Aku sangat mencintaimu, Jihan!" Mas Wira berkata dengan wajah memelas.

Aku sengaja tidak memandang sama sekali. Mencoba mengalihkan pandangan sambil terus menikmati udara pagi ini.

"Maaf keputusanku sudah bulat, Mas! Aku tidak bisa hidup dengan barang bekas! Segera persiapkan semuanya, Mas!" Aku berkata sambil membereskan makanan yang sudah kuhabiskan.

"Mas, sebaiknya pengelolaan toko sembako segera kamu alihkan! Laporan keuangan tolong segera diselesaikan dan disiapkan semuanya. Aku harap hari senin laporan itu sudah ada di tanganmu. Kita menikah cara baik-baik dan aku harap kamu juga akan melepasku dengan cara baik-baik. Untuk jasa pengelolaan toko selama ini pasti akan aku perhitungkan besarnya. Tenang saja, Mas. Insyaallah ini jalan terbaik untuk kita!" Aku berkata sambil menatap Mas Wira. Mencari kejujuran dan ketulusan yang selama ini selalu aku dapatkan.

"Jihan, kamu tidak bisa seperti ini. Aku tahu kamu belum bisa menerima Fatimah sebagai madumu, tapi kamu juga harus menuruti semua perintahku. Surgamu ada di tanganku!" Mas Wira berusaha mengancam.

"Sudahlah, Mas! Aku sibuk, persiapkan semuanya!" Aku berjalan kemudian mengambil berkas-berkas yang akan aku bawa. Hari sudah cukup siang, pasti banyak pegawai yang sudah datang.Aku berjalan tanpa memperdulikan Mas Wira yang halangi langkahku.

"Jihan, bagaimana dengan permintaanku kemarin, sudahkah kamu menyiapkan semuanya?" Aku menatap mata yang selalu melihatku dengan cinta, tetapi kali ini aku sangat benci dengan tatapan itu. Aku menggelengkan kepala dan menarik napas dengan perlahan.

"Mas, harus dengan bahasa apa aku mengatakan semua?"

"Jihan, jangan kasar dengan suamimu! Bagaimanapun juga kamu harus menuruti perintahku, termasuk menyiapkan semua hal yang aku butuhkan. Segera siapkan semuanya, aku tunggu saat ini juga!" Aku menundukkan kepala, kualihkan pandanganku ke arah lain. Sudah cukup aku bersabar kali ini.

"Mas, tinggalkan tempat ini atau aku akan berbuat lebih!" Aku mendorong Mas Wira dan meninggalkan dia yang masih diam di tempat.