Chapter 3 - 3. Hari H

"Wira, buka pintu Wir!" Aku segera duduk, kubuka telinga lebar-lebar. Ibu mertua membuka  paksa pintu kamar. Mas Wira masih diam di tempat. Tidak ada keinginan untuk menyambut kedatangan ibu.

"Jihan, bantu ibu menyiapkan keperluan untuk pernikahan suamimu! Ayo keluar, masih banyak yang harus kau bayar!" Mataku membulat dan kutatap Mas Wira. Ia hanya senyum-senyum menyambut tatapanku.

"Maaf, Mah, ternyata banyak sekali biaya untuk akad nikahku ini! Tolong bantu ibu menyelesaikannya ya!" Mas Wira mendekatiku dan berbicara  seolah tanpa beban.

"Kalau memang tidak mampu itu jangan sok, Mas! Ujung-ujungnya aku yang harus membayar! Mas, aku bukan Khadijah yang bisa selalu sabar! Kesabaran dan kemampuanku itu  ada batasnya!" ucapku kesal.

"Berbaktilah pada suamimu Jihan, surgamu ada pada dia!" Ibu menatapku penuh kebencian.

"Keluarlah, Mas! Bantu ibu menyelesaikan urusan kalian! Aku butuh waktu untuk menenangkan diri!" ucapku pelan. "Aku hanya manusia biasa, jangan paksa aku terus bersabar!" lanjutku.

"Dasar menantu kurang ajar, tidak tahu terima kasih! Dibantu masuk surga malah pilih neraka!" Ibu berkata sambil bersungut-sungut.

"Wira, ayo bantu ibu! Masih banyak yang harus kamu selesaikan!" Ibu keluar dan membanting pintu. Mas Wira duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan penuh permohonan.

"Mah, pinjam hp-mu, biar urusanku cepat selesai! Bantu aku ya, Mah!" ucapnya memelas.

Aku menghembuskan nafas dengan kasar. Akal sehat Mas Wira sudah hilang, semua hal dilakukan dengan dalih menghindari dosa. Dia mendekatiku, mengikis jarak diantara kami. Tanpa memperdulikan perasaanku.  Merebut benda pipih yang kupegang. Tanpa perlawanan kubiarkan dia mengambilnya.

"Terima kasih, Sayang!" ucapnya mesra, sambil mencium kedua pipiku.

Laki-laki itu berjalan dengan tenang, senyum kebahagiaan mengembang. Aku terpaku, yang kualami hari ini adalah mimpi buruk. Hal yang tak pernah terbayang dalam hidupku. Memiliki madu dalam rumah tangga. Bayangan bisa hidup bahagia dengan anak yang kukandung hilang sudah. Pupus  bersama semua harapan.  Aku terduduk dengan lemas. Wajahku basah oleh air mata. 

"Bu, ini roti bakar dan susu coklatnya!" Bi Sari mendekatiku, meletakkan nampan disampingku. Beliau menatapku iba.

Bi Sari berusaha menghiburku, beliau berbicara panjang lebar mengenai kehidupan masa lalunya dan aku hanya diam, mendengarkan sambil menikmati hidangan yang dibawanya. Tak terasa adzan Isya terdengar dan Bi Sari pamit untuk melaksanakan kewajiban.

Aku membuka pintu kamar kemudian duduk menyandar pada kursi santai di depan kamarku. Menatap ke bawah. Beberapa orang berbicara dengan keras, ibu, Mas Wira, dan Mbak Ani saling beradu argumen. Sepertinya ada masalah. Kulihat seorang perempuan berkerudung yang terlihat sangat modis mendekati  mereka. Mas Wira meraih dan menggenggam tangan perempuan itu. Tatapan matanya seolah ingin menerkam perempuan itu.  Perempuan itu berusaha melepaskan tangan dan menolak kehangatan yang diberikan Mas Wira. Mataku mulai memanas. Aku tetap bertahan, melihat segala aktivitas keluarga suamiku. Bi Sari yang menyadari kehadiranku segera mengalihkan pandangannya, beliau sibuk membantu mengantar dan membersihkan berbagai barang yang dibutuhkan. 

Fatimah  melihat ke atas, mengangguk dan tersenyum padaku. Mas Wira mengalihkan pandangannya, melihatku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku menggigit bibirku, tidak kuasa bersitatap dengan wajahnya.  Tangisku tak terbendung lagi, lelah, kepala  terasa berdenyut hebat. Belum resmi saja mereka sudah berani memperlihatkan kemesraan di depanku, bagaimana hidupku setelah hari ini.

"Ya, Allah bantu hamba-Mu ini, kuatkan hati ini supaya bisa mengejar surga-Mu." ucapku dalam hati. Hati ini sungguh sakit melihat kenyataan di depan mata. Aku harus bisa bertahan sampai dendamku terbalaskan.

Aku tercengang melihat Mas Wira dengan santainya naik ke atas, berjalan mendekat dan menyerahkan hp kesayanganku.

"Terima kasih atas pengertiannya, Sayang!" Mas Wira berkata dengan lembut, kemudian berlalu meninggalkanku.

Penampilan seseorang memang tidak menjamin akhlak orang itu. Tingkah lakunya yang sopan dan pakaian yang tertutup ternyata hanya kamuflase. Bagiku Mas Wira seorang pecundang, dia berlindung di balik ajaran agama. 

***

Ayam berkokok dengan gagah. Embun berjatuhan menyambut pagi. Hujan tadi malam masih menimbulkan jejak-jejak di bumi. Matahari mulai menampakkan sinarnya dengan lembut.

Kusambut pagi ini dengan hati gembira. Saat bermanja sudah usai, mari menyibukkan hari dengan bekerja. Aku melangkah dengan tenang menuruni tangga. Persiapan untuk akad nikah suamiku benar-benar matang. Tempat untuk akad nikah terlihat cantik dengan dekorasi yang sederhana. Aku berjalan pelan menuju kamar tamu, kubuka dan terlihat pelaminan yang sangat indah dengan aroma terapi yang sangat menyejukkan. Persiapan untuk malam pertama yang sangat mengesankan. Tak terasa air mata ini menetes. Suara ibu dan Mbak Ani terdengar dengan lantang, mereka memberikan perintah kepada Bi Sari dan beberapa orang yang membantu. Kulanjutkan langkahku menuju toko. Para karyawan yang sudah datang menatapku curiga. Mereka ingin bertanya tetapi tidak berani mengatakan. 

Suara printer yang bersahutan mulai terdengar, alunan musik klasik menemani aktivitasku pagi ini. Beberapa berkas menumpuk di meja kerjaku harus diperiksa dengan teliti.

[Bro, di rumahmu ada acara apa?] tanya Nurul sahabatku.

[Kapan kamu lewat di depan rumahku?] tanyaku balik.

[Ini suamiku bilang, nanti malam ada undangan ke rumahmu. Memang ada acara apa?]

[Akad nikah suamiku] jawabku singkat.

[Gila bener, kamu ridho suamimu menikah lagi?] tanya Nurul penasaran.

[Entahlah] jawabku singkat.

Segera kututup aplikasi hijau yang terus menyala. Kuabaikan beberapa panggilan yang aku rasa tidak penting. Pekerjaan hari ini sangat menyita waktuku. Jamu dan empon-empon datang dalam waktu yang bersamaan. Semua karyawan sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Begitu surat kiriman pabrik datang, bagian administrasi langsung mencocokkan dan mencetak faktur serta surat jalan untuk kiriman besok pagi. Bagian gudang jamu langsung memindahkan dan menata jamu dengan rapi pada tempatnya. Bagian pengiriman juga langsung mengambil faktur dan memisahkan jamu sesuai nomor orderan. Sedangkan untuk bagian gudang empon-empon juga sangat sibuk karena kiriman yang datang sangatlah banyak. Beruntung empon-empon yang datang kemarin sudah dikirimkan semua ke pabrik dalam keadaan bersih, sehingga gudang bisa menampung empon-empon yang datang hari ini. Mesin untuk membersihkan dan mengeringkan empon-empon sudah dinyalakan, karyawan sudah bersiap pada bagian masing-masing. Aku melihat mereka dengan bangga. Mereka bisa bekerja dengan sempurna. 

Kesibukan hari ini begitu padat, banyak berkas yang harus diselesaikan. Pengajuan izin penambahan kuota kiriman masih belum ada kabar. Pendingan orderan semakin menumpuk. Aku melihat banyaknya berkas yang berjejer di tiap meja. Seharusnya aku bersyukur karena masih diberikan amanah bukan malah mengeluh. Dasar manusia selalu saja kurang dan kurang. 

Mobil box untuk mengirim orderan sudah berjejer di depan gudang, sedangkan truk dari pabrik yang mengambil empon-empon juga menunggu antrian untuk muat barang. Di luar pagar  sudah menunggu beberapa mobil yang mengantar empon-empon dari petani. Alhamdulillah dan alhamdulillah, selalu diberikan kelancaran dalam usaha.

Tin … tin … mobil katering memecah kesunyian. Pemilik katering tidak sabar menunggu antrian masuk halaman. Memang tempat usaha dan rumahku hanya memiliki pintu masuk satu, jadi harus bergantian bahkan mungkin antri untuk bisa masuk ke halaman rumah atau gudang usaha.

Aku melihat jalan di depan rumah. Seorang lelaki beradu argumen dengan penjaga di tempat usahaku. Aku menghampiri mereka yang sedang berdebat. Kulihat beberapa keluarga besar Mas Wira sudah mulai datang. Mereka melihatku dengan sinis. Penjaga menghalangi mobil mereka masuk, karena tanpa izin atau pemberitahuan sebelumnya selain mobil untuk usaha dilarang masuk. Ada yang mengumpat bahkan mencaci namaku. 

Pukul lima belas. Matahari sudah berpindah tempat. Angin bertiup lebih kencang. Aku menarik napas dalam-dalam meyakinkan diri ini untuk selalu bisa berbuat baik. Aku yakin perbuatan baik akan menarik perbuatan baik lainnya.

"Pak, biarkan mobil-mobil itu masuk! Ada acara di rumah!" perintahku.

"Jadi orang itu mbok sing tanggap  tho, Nduk! Biar tidak seperti ini! Masak tamu dari jauh disuruh panas-panasan di luar! Dimana o**kmu!" umpat salah satu keluarga Mas Wira.

Aku hanya tersenyum dan memberikan jalan untuk mereka. Penjaga mulai mengatur mobil-mobil keluarga yang bisa masuk ke halaman rumah. Mobil dari katering sudah bolak-balik mengantarkan makanan, sepertinya mereka akan mengadakan pesta dengan mewah walaupun hanya untuk beberapa puluh orang saja.

Kesibukan hari ini membuatku melupakan acara untuk malam nanti. Mas Wira terlihat sangat sibuk mempersiapkan acara. Dia melihatku dan tersenyum dengan sangat manis. Mbak Ani tidak masuk kerja, tanpa meminta izin atau mengatakan sesuatu padaku. Tak terasa ternyata pekerjaan yang menumpuk bisa kuselesaikan dengan cepat. Tinggal mempersiapkan mental untuk melihat masa depan, setelah hari ini.

Gudang jamu atau gudang empon-empon terlihat sepi, mesin-mesin sudah mati. Komputer dan printer juga tidak menimbulkan suara yang memekakkan telinga lagi. Kututup laptop dan segera meninggalkan ruangan. Ruang admin sepi karena para karyawan sudah meninggalkan tempat. Aku segera menutup dan meninggalkan toko. Beberapa mobil sudah berderet di depan halaman rumah. Aku berjalan dengan tenang, tanpa menghiraukan beberapa saudara yang berbincang.

"Kuat ya, Nak! Bantu mama menghadapi hidup baru di keluarga kita! Mama sayang sama kamu!" ucapku pelan sambil mengusap perut.

"Mah, cepat mandi dan bantu persiapan untuk acara nanti malam! Jangan buat malu keluarga besarku!" Aku menatap Mas Wira tanpa semangat. Tak kuhiraukan ucapan-ucapannya. 

Tujuanku saat ini hanya satu, merebahkan badan di kamar dan menguncinya. Kakiku melangkah dengan pasti tanpa mengindahkan sapaan atau tatapan yang tidak bersahabat. Hati ini sangat sakit melihat semua ini.

"Bu, ada yang bisa saya siapkan?" Bi Sari mendekatiku dengan tergesa.

"Tolong siapkan minuman hangat dalam teko dan beberapa makanan untuk makan saya di kamar ya, Bi! Mungkin saya tidak akan keluar lagi! Tolong diantar ke kamar ya!" Aku berjalan dengan santai menaiki tangga, menata hati dan perasaan ini.

"Life must go on, Jihan." ucapku lirih untuk menyemangati diri.

Entah berapa jam aku bisa memejamkan mata tanpa menghiraukan musik yang sudah mengalun dengan indah. Sayup-sayup terdengar ketukan lirih dari pintu kamar.

"Mah, buka pintu! Mah, jangan seperti anak kecil!" ucap Mas Wira.

"Ada apa?" kubuka pintu dengan perlahan. Mas Wira mendorong pintu dengan kasar. Dia duduk dan terlihat sangat emosi.

"Mah, mandi, dandan yang cantik dan sambut tamu-tamuku!" Mas Wira berkata dengan nada yang cukup tinggi. Aku menatapnya pias.

"Apa keuntunganku ada di bawah? Ini acara untuk kamu, bukan acaraku?" jawabku tegas.

"Mah, tolonglah mengerti perasaanku!" Mas Wira berkata dengan wajah memelas.

"Apa? Mengerti perasaan kamu? Apa kamu juga mengerti perasaan aku?" Aku menatap dengan tajam. Tanpa menghiraukan adab dan sopan santun lagi.

"Heh … aku gak mau tahu ya, yang jelas kamu harus menyaksikan akad nikahku malam ini!" ucapnya penuh penekanan.

"Maaf aku tidak sanggup, Mas! Aku bukan wanita pilihan yang sanggup menyaksikan akad nikah suaminya! Jadi sekarang biarkan aku dengan diriku sendiri di sini, nikmatilah pestamu, Mas!"

Terdengar suara gaduh di depan kamar, langkah kaki terburu itu berhenti, melihat pertengkaran kami.

Dengan napas memburu, penjaga gudang menatap dan ingin mengatakan sesuatu.

"Bu, tolong saya! Bantu saya menyelesaikan masalah di bawah!" ucapnya panik. 

"Ayo!" jawabku cepat.

Aku berjalan dengan kepala tegak menantang tatapan mata dari seluruh tamu yang  datang. Biarlah mereka berpikir sendiri karena melihat keadaanku saat ini.