Chapter 2 - 2. Mas Kawin

"Berdasarkan informasi dari Ibu Sifa, kalau ibu yang akan bertanggung jawab melunasi pembayaran perhiasan yang diambil Ibu Sifa. Ini tagihan atas nama Jihan, mohon segera dibayarkan! Kami tunggu sekarang!" Aku menarik napas dalam-dalam. Untuk apa aku membeli perhiasan, sedangkan perhiasan peninggalan keluargaku sudah banyak. Kuperhatikan tagihan perhiasan ini dan berpikir sejenak.

"Maaf, perhiasan apa njih, Mas? Dan saya merasa tidak pernah mengambil dari toko ini!" tanyaku penasaran.

"Kemarin yang memesan perhiasan Ibu Sifa, Mbak. Dan beliau sudah membayar 50 persen, menurut keterangan beliau sisa pembayaran akan dibayarkan njenengan. Mohon maaf … kami tidak bisa menunggu lama, jadi mohon pengertiannya." Bapak itu berkata dengan sopan.

"Maaf, Pak, saya tidak tahu menahu urusan perhiasan ini. Jadi sebaiknya Anda langsung menghubungi Ibu Sifa!" Aku menjawab dengan berat hati.

"Jangan mempermainkan kami, Mbak! Kami tidak bisa diperlakukan seperti ini! Baik, saya akan menghubungi Ibu Sifa, seandainya beliau menolak maka Anda yang harus bertanggung jawab!" Bapak itu berkata dengan penuh penekanan. 

Tiga puluh juta nominal perhiasan yang harus kubayar, mahal sekali. Pasti perhiasan ini digunakan sebagai mahar pernikahan  Mas Wira besok malam.

Beberapa saat kemudian

"Mbak, Ibu Sifa tidak bersedia melunasinya dan beliau berpesan bahwa njenengan yang harus bertanggung jawab!"

"Sebentar, saya hubungi suami saya, Pak! Mungkin perhiasan ini sebagai hadiah kejutan untuk saya!" 

"Baik, kami tunggu!" jawab Bapak itu.

"Mas, bisa ke rumah sekarang!"

"Oke, aku segera datang!" jawab Mas Wira, tanpa mendengar alasanku menghubunginya.

Tidak menunggu lama, Mas Wira sampai di rumah. Dia langsung menuju toko.

"Mah, tinggal bayar saja, kok dipersulit! Jangan membuatku malu!" Mas Wira berkata dengan tatapan kebencian.

"Mas, aku tidak merasa membeli perhiasan mengapa harus aku yang membayar? Urus saja sendiri! Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Bapak, yang akan membayar suami saya njih, ini orangnya! Mohon maaf saya permisi dulu!"

"Mah, aku bayar pakai uang apa? Semua uangku sudah dibawa ibu! Bahkan uang setoran hari ini diambil ibu juga, tolonglah, Mah!" Mas Wira berkata dengan nada memelas.

"Itu bukan urusanku!" Aku menjawab sambil membulatkan mataku. Kutepis tangan yang menghalangi jalanku.

"Mah, aku mohon!" pinta Mas Wira

"Sebaiknya selesaikan dulu urusan keluarga kalian, kami tunggu di luar!" Dua orang pegawai toko perhiasan itu segera meninggalkan kami. Dan mereka berdiri di depan pintu masuk toko.

"Mah, jangan bikin malu aku! Aku mohon, aku janji akan menganggap ini hutang!"

"Oke, tapi pakai bunga ya! Dan harus lunas minggu depan atau kamu meninggalkan rumah kita!" ucapku penuh penekanan. Perang segera dimulai dan tidak akan kubiarkan kalian hidup dengan tenang.

"Sebentar, aku ambil uangnya dulu dan ingat minggu depan harus lunas!" Aku tersenyum dengan licik. 

"Nikmatilah penderitaanmu, Mas!" Aku berkata dengan lirih.

"Ini tiga puluh juta, jangan ganggu aku lagi! Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan." Mas Wira segera meninggalkan toko dengan senyum kemenangan. 

Kesibukanku hari ini benar-benar menguras tenaga. Beberapa kali perutku terasa sakit. Kram di perut sangat menyakitkan. Tapi alhamdulilah, perut ini tidak begitu lama mengganggu aktivitasku. Banyak sekali pekerjaan yang harus segera diselesaikan. 

Kiriman empon-empon dari beberapa kecamatan sudah memenuhi gudang. Para pekerja dengan cekatan menimbang dan mencuci empon empon itu. Memisahkan sesuai jenisnya. Setelah kering dan bersih segera di packing sesuai kebutuhan. Masing-masing dibungkus per lima, sepuluh dan dua puluh lima kilogram untuk pesanan pasar. Untuk pengiriman ke pabrik kami siapkan per lima puluh kilogram. Gudang kami memang menampung berbagai macam empon-empon sebelum diproses menjadi aneka macam jamu. Pabrik jamu  Mbak Dias  menunjuk tempat kami sebagai gudang bersih sebelum dikirim ke pabrik untuk diproses.

Alhamdulillah dalam dua tahun ini, gudang kami merupakan satu-satunya tempat penampungan empon-empon di wilayah eks karesidenan Surakarta. Penghasilan yang diperoleh pun lumayan besar, sedangkan toko kami menyediakan berbagai produk jamu olahan dari pabrik Mbak Dias. Produk yang sudah tidak diragukan lagi baik rasa maupun kualitasnya. Bahkan izin usaha kami pun diurus secara langsung dari pabrik. Kami benar-benar bersyukur karena selalu dipermudah dalam setiap usaha. Kalau dihitung secara keseluruhan pendapatan mengelola gudang dan toko jamu jauh lebih besar dari pendapatan toko sembako kami di pasar.  Toko sembako peninggalan keluargaku yang dikelola secara langsung Mas Wira. Tepatnya diwariskan setelah menikahiku. 

Toko sembako yang dulu hanya kecil sekarang menjadi pusat grosir. Kebetulan dulu aku bekerja di salah satu distributor sehingga untuk stok barang tidak perlu bingung lagi karena bisa langsung ambil dari tempat itu. Dengan modal awal tiga puluh juta dalam lima tahun berkembang menjadi ratusan juta. Alhamdulillah segala usaha kami dipermudah. 

Mungkin ini yang membuat Mas Wira menjadi lupa diri. Dulu dia hanya  pegawai di toko sekarang menjadi pemilik usaha yang besar. Keluarga Mas Wira merupakan salah satu keluarga terpandang di daerahnya. Tetapi dia diusir keluarganya karena alasan yang aku tidak tahu. Mas Wira bekerja di toko sembako milik orang tuaku. Dia termasuk salah satu pegawai yang rajin sehingga menarik perhatian orang tuaku.  Setelah Mas Wira mengambil alih usaha kami, orang tuanya menerimanya dengan senang hati. Bahkan mereka mengakuiku sebagai menantu mereka.

"Bu, berkas ini tolong ditandatangani. Empon-empon untuk pabrik akan segera kami kirim. Kami takut gudang tidak dapat menampung kiriman besok pagi." Mbak Rina segera mengambil berkas yang sudah ditandatangani. Setelah itu beberapa berkas segera ku kirimkan via email supaya pabrik bisa segera memproses pembayarannya. 

"Terima kasih, Bu! Mohon maaf orderan untuk besok pagi kami belum bisa mengirim, karena stok di toko habis dan pabrik juga sedang kosong. Pabrik menjanjikan dua hari lagi  barang bisa dikirim."

"Untuk selanjutnya jangan sampai stok kosong seperti hari ini. Bagian stok tolong selalu diperhatikan, jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi. Rajin-rajinlah melihat ketersediaan barang-barang di toko!

"Baik, Bu!" Jawab beberapa karyawan bersamaan. 

Aku memijat kepalaku untuk kesekian kalinya. Ingatanku kembali pada kejadian pagi tadi. Sungguh tega Mas Wira menodai ikatan suci kami. Saat ini aku belum bisa menerima alasan yang kuat yang menyebabkan Mas Wira menikah lagi. Memang laki-laki itu yang diperhatikan hanya urusan selan*ka**an. Sama sekali tidak memperhatikan perasaan dan penderitaan seorang wanita.

Sepertinya niat untuk menikah itu sudah tidak bisa ditunda lagi. Mas Wira begitu bersemangat mempersiapkan acara untuk pernikahan keduanya. Mas kawin yang mahal dan segala printilan yang tidak murah harganya. Hatiku rasanya begitu sakit jika melihat semua itu. 

Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Hari sudah sore, sudah mendekati jam pulang kerja. Tetapi kiriman untuk pabrik masih belum selesai juga. Tinggal muat untuk dua mobil lagi dan barang segera dikirimkan. Mereka tidak mengenal lelah dalam bekerja. Bersemangat mengais rejeki. Setelah semua selesai, satu per satu karyawan pamit meninggalkan toko dan gudang.  Penjaga gudang yang masih menata ulang barang-barang yang baru datang.

Aku segera membereskan beberapa berkas yang sudah diperiksa.  Setelah itu mengunci pintu toko dan menyerahkan kunci kepada penjaga yang bertanggung jawab malam ini. 

Kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Dan betapa terkejutnya aku melihat ruang tamu berubah penataannya. Kursi dan meja tamu sudah berpindah tempat. Karpet digelar memenuhi ruangan. Bi Sari yang melihat kedatanganku segera mendekati.

"Bu, maaf ini semua perintah Bapak! Saya tidak berani menolaknya!" Bi Sari berkata sambil menundukkan kepalanya.

"Tidak apa-apa, Bi! Tolong buatkan saya susu coklat hangat sama roti bakar keju! Saya tunggu di kamar ya, Bi!" Aku berjalan dengan lemas, setelah melihat ruangan yang sudah berubah. Betapa tega Mas Wira melakukan hal ini. Hatinya sudah mati karena dibutakan nafsu.

"Njih, Bu! Sebentar saya buatkan!" Bi Sari menjawab pelan.

Aku segera membuka pintu kamar, terlihat Mas Wira sedang duduk sambil memegang sesuatu.

"Mah, perhiasan ini bagus banget ya. Pilihan Fatimah memang sangat berkelas. Tidak salah aku memilihnya. Mah, lihatlah ini!" Aku berjalan melewati Mas Wira, tidak kudengarkan semua ucapannya. Benar-benar orang yang tidak memiliki perasaan.

Badanku terasa sangat segar. Guyuran air dingin mampu meredakan emosiku. Aku berharap semoga aku kuat menjalani hidup ini.

"Mah, besok malam kamu dandan yang cantik ya. Pasti para tamu kagum denganmu." Aku berusaha memejamkan mata dan menutup telingaku. Mas Wira tetap tidak berhenti berbicara.

"Mas, bisa diam tidak? Aku ingin tenang! Pergilah dari kamar ini, aku tidak ingin melihatmu dulu!"

"Mah, bukankah kamu ingin masuk surga? Lakukanlah semua perintahku selama aku tidak menghalangimu menyembah Allah. Allah akan memberikan pahala dan hadiah surga untuk istri solehah. Ingat kata-kataku ini!"

"Huh … sepertinya aku belum bisa menerima nasehatmu, Mas! Keluarlah dari kamar ini dan beri aku waktu untuk menenangkan diri!" Aku berkata dengan hati yang sangat sakit. Air mata ini menetes tanpa permisi. 

Mas Wira masih duduk dengan tenang, sama sekali tidak memikirkan perasaanku.

Tok … tok …