"Izinkan suamimu menikah lagi! Seharusnya kamu tahu apa yang dibutuhkan suamimu saat ini! Kalau kamu memang cinta dan sayang, berikan izin untuknya!" Ibu Sifa berkata dengan lantang.
Aku segera menghentikan aktivitasku. Mataku membulat, bibirku melongo. Segera kututup mulut ini setelah sadar dengan ekspresiku. Kutatap suami yang sedang memainkan benda pipih kesayangannya.
"Me–menikah, Bu? Mas Wira mau menikah lagi? Saya ini istri Mas Wira, kekurangan saya apa, Bu? Katakan!" tanyaku dengan kasar. Aku sudah tidak bisa menahan emosi setelah mendengar kalimat pertama yang beliau ucapkan.
"Iya, izinkan suamimu menikah lagi! Bantu suamimu berbakti dan mewujudkan keinginan ibu!"
Aku menunduk dan mengambil napas dalam-dalam
"Wanita mana yang mau dimadu, Bu? Ibu sendiri apa bersedia kalau Bapak memiliki istri lagi? Ibu seorang wanita saya pun juga, berpikirlah dulu sebelum bertindak!" Aku menjawab sambil memiringkan bibirku.
"Jaga ucapanmu, Mah! Beliau ibuku, hormati dia!"
"Setelah mengatakan hal ini apa pantas, beliau disebut sebagai ibu?" jawabku dengan menatap tajam Mas Wira.
Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Mas Wira mendekatiku dan berusaha menggenggam tanganku.
"Saat ini kamu tidak bisa melayaniku, aku butuh seseorang untuk menyalurkan hasratku! Kamu tahu sendiri kan, aku tidak pernah bisa mengendalikan kebutuhan biologisku! Aku butuh seseorang yang halal dan sanggup melayaniku setiap saat." Mas Wira berkata dengan lembut dan tangannya membingkai wajahku.
"Apa maksudmu, Mas? Apa kurang pelayananku selama ini!" tanyaku dengan tatapan tidak bersahabat.
"Mas, ingat saat ini aku mengandung anakmu, darah dagingmu! Ini perjuanganku untuk meneruskan keturunan kita, Mas!" Kupalingkan wajahku karena aku tidak sanggup menatap mata penuh dosa itu.
"Mah, kandunganmu itu lemah, sekali goyang pasti akan pendarahan. Dan dokter sudah mengingatkan untuk tidak menyentuh atau membangkitkan gairahmu. Aku sangat menginginkan anak itu! Daripada berzina atau membayar perempuan lain kan lebih baik menikah secara sah menurut agama, apa aku salah?" Mas Wira menarik napas dengan cepat kemudian menghembuskannya dengan perlahan.
"Satu tahun lho, Mah! Butuh perjuangan yang sangat besar untuk menahannya dan aku tidak bisa! Bantu aku, Mah! Tolong izinkan aku menikah lagi!" pinta Mas Wira.
Kepalaku menggeleng, mataku memejam. Rasanya seperti mimpi. Bagaimana mungkin sosok yang dulu begitu kupuja kini dengan santainya akan membuangku. Sakit, benar-benar sakit. Begini rasanya sakit tidak berdarah.
"Kalau memang istrimu tidak memberikan izin, tinggalkan saja dia! Talak dia, semua akan beres!" Ibu berkata dengan santai, beliau mengambil beberapa makanan yang sedang kumakan.
"Bu, Jihan mengandung anakku dan aku sangat mencintainya!"
"Ibu ingin penerus yang banyak untuk keluarga kita Wira! Lagipula agama tidak melarang suami menikah lagi. Ingat menikah tanpa izin istri pertama itu juga halal lho!"
"Dengan atau tanpa izin istrimu, besok malam kamu harus menikah. Ibu sudah menyiapkan semuanya, calon istrimu juga sudah tahu kehidupan rumah tanggamu! Ibu pulang dulu, urus istri pertamamu dengan baik, jangan sampai terjadi sesuatu yang membahayakan calon cucu ibu!" Ibu berlalu meninggalkan kami. Beliau acuh dengan keadaanku saat ini. Sama sekali tidak memperdulikan perasaanku.
Kuusap air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata ini. Mas Wira menyalakan rokok kemudian menghirup dan mengeluarkan asap secara perlahan.
"Kamu akan tetap menjadi prioritasku, jangan takut, aku tidak akan meninggalkan semua kewajibanku!" Mas Wira berkata sambil menikmati rokok yang ada di jarinya. Dia berjalan menjauh karena asap rokok tidak baik untuk ibu hamil.
Mobil yang dikendarai ibu sudah meninggalkan rumah. Rumah mewah yang kami bangun secara bertahap dari hasil jerih payah kami selama lima tahun.
"Mas, bukan hanya kamu yang harus menahan hasrat. Laki-laki lain juga menahan hasrat mereka saat istrinya hamil dan melahirkan!"
"Jangan samakan aku dengan lelaki lain! Aku berbeda dengan mereka! Ingat itu!" Mas Wira berkata dengan penuh penekanan.
Kuusap perutku yang masih rata. Delapan minggu usia kandunganku. Terlalu dini jika dikatakan berkorban. Berbagai aktivitas yang selama ini kulakukan harus berhenti karena kehadiran janin ini.
"Mama, akan selalu memberikan yang terbaik untukmu, Nak!" Aku berkata lirih sambil mengusap perutku yang masih rata.
"Dengan atau tanpa izin darimu, besok aku akan tetap menikah! Aku sudah tidak dapat menahan hasrat ini!" Mas Wira berkata dengan nada yang lebih lembut.
"Siapa perempuan yang kau pilih? Atau ibu yang sudah memilihkan untukmu?" Mas Wira berjalan mendekatiku, dipeluknya tubuhku dari belakang.
"Fatimah. Kamu sudah mengenal dia dengan baik. Dan aku rasa kalian bisa hidup bersama dalam rumah ini!" Mas Wira berbicara di belakang telingaku. Aku menahan nafas untuk kesekian kalinya. Aku berusaha melepas pelukannya, berjalan dengan pelan kemudian meminum satu gelas air putih.
"Seorang perempuan baik tidak akan menyakiti hati perempuan lain, Mas! Bagiku Fatimah itu seperti pelacur!"
"Jihan, jaga bicaramu. Aku tidak membayar Fatimah untuk melayaniku. Fatimah calon istriku, adik madumu!"
"Cuih, aku tidak sudi berbagi barang dengan orang lain, apalagi harus berbagi suami! Talak aku dan tinggalkan rumah ini, Mas!" ucapku penuh penekanan.
"Aku tidak akan menceraikanmu! Kamu satu-satunya perempuan yang menemaniku di kala susah dan aku tidak akan meninggalkanmu! Aku bukan kacang yang lupa akan kulitnya!"
Mas Wira meninggalkanku dengan sejuta tanya. Dan aku sudah tidak memperdulikan semua perlakuannya. Bisa saja saat ini aku membuang lelaki yang masih bertahta di hatiku, tetapi itu akan terlalu mudah. Aku ingin dia merasakan hal yang sama denganku. Begitu juga dengan calon maduku, akan kubuat dia menyesali segala keputusannya. Aku akan berusaha bermain dengan cantik.
"Bu, maaf toko sedang ada masalah!" Mbak Rina berjalan dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa, Mbak! Duduklah dulu!" perintahku.
"Begini, Bu, ada beberapa konsumen yang merasa kita telah menipu mereka dan mereka menuntut ganti rugi. Padahal saya sudah mengirimkan barang sesuai dengan pesanan mereka, bagaimana ini, Bu?" Mbak Rina terlihat sangat panik. Wajahnya pucat.
"Tenang, ayo, kita selesaikan bersama. Tidak perlu panik seperti itu!" Aku berjalan berdampingan dengan salah satu pegawai tokoku.
Toko jamu dan gudang milikku berada di samping rumah, jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mendatanginya.
"Bisa lihat nota dan bukti transfernya?" Aku melihat dengan teliti beberapa berkas yang kubutuhkan.
"Untuk bukti pengirimannya bagaimana?"
"Ini, Bu!" Aku tersenyum setelah mengetahui sumber masalahnya. Beberapa karyawan masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mbak Rina terlihat sangat panik. Dia selalu berada didekatku.
"Kalau Rina tidak bisa kerja, pecat saja!" Mbak Ani, kakak Mas Wira berbicara dengan santai.
"Bu, maafkan saya, jangan pecat saya, Bu!" mohon Mbak Rina.
"Tidak ada yang salah dengan pekerjaan kamu, ini cuma kesalahpahaman saja. Tenang, nanti saya yang menangani masalah ini. Sekarang silahkan kembali ke tempatmu! Bekerjalah dengan baik!"
"Terima kasih, Bu! Mbak Rina meninggalkanku dan dia segera mengerjakan pekerjaan yang ditinggalkannya.
Suara printer bersahutan, tangan yang beradu dengan keyboard dan murotal yang terdengar sangat menyejukkan. Irama itu yang menemani rutinitasku hari ini.
Toko online yang berkembang dalam dua tahun ini sebagai saksi kemajuan ekonomi kami. Dan aku berharap toko ini akan terus berkembang.
"Kalau memang sudah tidak bisa mengelola toko ini, sebaiknya kamu serahkan saja kepada suamimu! Lihatlah toko sembako yang selama ini dipegang Wira berkembang dengan pesat, tidak pernah ada masalah," ujar Mbak Ani.
Aku menarik napas dengan berat. Ada saja godaan dari keluarga Mas Wira dan aku yakin motif di balik perkataannya ini.
"Mbak, yang merintis usaha ini saya, jadi untuk masalah ini Mbak Ani tidak perlu ikut campur. Dan saya harap Mbak bisa memahami saya!"
"Jangan sombong Jihan! Darimana kamu punya uang untuk mengembangkan usaha ini, kalau bukan bantuan dari Wira! Pasti semua dari uang Wira!" Mbak Ani berkata dengan sombong.
"Sudah menjadi kewajiban Mas Wira memberikan nafkah untukku. Dan masalah mau saya gunakan untuk apa itu juga terserah saya dong. Ingat Mbak, Mas Wira itu suami saya!"
"Halah, istri yang tidak bisa memberikan nafkah batin saja bangga! Ngaca dong ngaca, pantas tidak kamu disebut istri!"
"Mbak, kerjakan saja tugas Anda sekarang! Tidak perlu ikut campur dengan masalah rumah tangga kami!" Aku berkata dengan kasar.
"Sombong!" Mbak Ani berkata dengan bersungut-sungut.
Mas Wira seperti orang yang tidak belajar agama. Masalah rumah tangga di umbar di keluarga. Kakak dan ibu juga harus ikut campur menyelesaikan masalahnya.
"Jihan, ada yang menunggumu di depan! Kelihatannya menyangkut masalah suamimu! Makanya jadi istri itu harus kuat. Jadi, tidak menimbulkan masalah baru!"
Kuusap kepalaku secara perlahan, memikirkan masalah yang akan kuhadapi. Aku mengalihkan pandangan dan segera berjalan menuju ruang tamu konsumen di depan ruang kerja admin.
"Saya Jihan, ada yang bisa saya bantu?"
"Begini, Bu …