"Tentu saja boleh, Sayang. Ayahmu kan ayahku juga," kata Ronald menanggapi keinginan istrinya.
Karin beserta ayahnya merasa lega. Dengan begitu ayah Karin masih memiliki semangat hidup, karena saban hari melihat keluarga putrinya.
"Ayah. Bagaimana dengan rumah ini? Apakah Ayah ingin menjualnya?" tanya Karin. Kepalanya berputar mengelilingi kawasan rumah tersebut.
"Tidak. Biarkan rumah ini abadi dengan segala kenangannya. Sesekali Ayah akan berkunjung ke sini untuk mengingat almarhumah ibumu,"
"Baiklah, Ayah,"
Keluarga Ronald mengambil jatah satu malam lagi untuk menetap di sana. Ketika pagi menyingsing, mereka pun bersiap-siap untuk ke kota.
***
Guina membawa sebuah surat di tangannya, kemudian berjalan ke arah Setyo yang sedang memainkan laptop.
"Ada yang ingin kubicarakan, Pak," ucap Guina.
"Duduk!"
Guina mengambil waktu yang tepat untuk menyuarakan isi hatinya pada Setyo. Hanya ada mereka berdua di sana, karena staff lain sedang ada urusan di luar kantor.
"Ada apa?" tanya Setyo. Diliriknya benda putih yang bersemayam di jemari Guina.
"Aku ingin resign menjadi sekretaris Bapak,"
Degh!
Setyo membisu barang sekejap. Mencoba menyerap kalimat yang barusan Guina lontarkan.
"Aku sedang tidak ingin diajak bercanda, Guin," ucap Setyo.
"Aku serius, Pak. Aku tidak bisa bekerja di sini lagi,"
Setyo membuka kacamatanya dan meletakkan benda itu ke dalam kotaknya kembali. Disorotnya wajah Guina yang menyiratkan sebuah keseriusan.
"Kenapa?" tanyanya.
"Pamanku sakit keras di kampung. Aku sudah menjual rumahku untuk biaya pengobatannya. Lalu keluargaku juga meminta agar aku pulang saja. Ah, ini surat pengunduran diriku," kata Guina sambil menyerahkan sebuah amplop putih.
Setyo menelisik huruf demi huruf yang berada di sana. Kenapa tiba-tiba sekali Guina mengambil keputusan ini? Dia bahkan tidak pernah cerita kalau dirinya sudah tidak memiliki rumah lagi.
"Aku tidak mempermasalahkan kau yang ingin keluar dari pekerjaan, tapi bagaimana dengan janjimu untuk memberikan Karin padaku?" Setyo mendekatkan bibirnya pada Guina agar tidak ada yang mendengar kalimat terakhirnya.
Guina tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. "Maaf, Pak. Sepertinya aku harus membatalkan perjanjian kita. Aku sudah melakukannya setengah jalan, sekarang tinggal Bapak saja yang meneruskan seorang diri,"
"Apa maksudmu, Guin? Bagaimana mungkin aku bisa mendekati wanita itu sementara dia saja selalu menghindar dariku?"
"Katakan saja pada Ronald bahwa kalian berpacaran,"
"Aku tidak mempunyai bukti yang kuat,"
Setyo mendadak pusing karena ulah Guina yang mengingkari janjinya sendiri. Setyo terlanjur mengambil langkah, termasuk menceraikan Dora. Jadi, bagaimanapun caranya Karin harus didapatnya.
"Tunaikan dulu janjimu baru kau boleh pulang ke kampung. Aku akan membayarmu dengan tarif tinggi jika Karin menjadi milikku lagi," kata Setyo membuat penawaran.
"Bukan masalah uang, Pak. Semua ini tuntuan keluargaku di kampung. Lagi pula, aku sudah tidak punya harta dan tempat tinggal. Aku tak ingin mengambil resiko," kilahnya.
"Biar aku yang menanggung segala kebutuanmu. Bila perlu aku juga akan membelikan rumah supaya kau masih bisa menetap di sini,"
"Tidak bisa, Pak. Maafkan aku, ya,"
Guina sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Jadi, Guina tak ingin repot-repot untuk merebut Karin dari Ronald. Tidak peduli bagaimana keadaan Setyo selanjutnya, karena niat Guina sejak awal adalah untuk memiliki Ronald, bukan membantu Setyo dengan tulus.
"Tidak bisa seperti itu, Guina. Kau sudah berjanji padaku, bukan?"
"Tidak mungkin aku menentang keputusan keluarga. Mulai sekarang aku resign dari pekerjaan ini. Terimakasih atas kesempatan dan waktunya. Permisi,"
Guina pun melenggang pergi tanpa memedulikan Setyo lagi. Sementara itu, Setyo antara yakin dan tidak dengan semua perkataan Guina.
"Sepertinya ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Guina. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus mengetahuinya dengan segera,"
Tanpa disadari oleh Guina, akhirnya Setyo mengekorinya dari belakang. Setyo meminjam mobil rekannya sesama dosen, karena Guina sudah tanda PLAT kendaraan milik Setyo.
Lelaki itu sampai mengabaikan beberapa tugasnya yang belum diselesaikan demi menjawab rasa penasaran. Dilihatnya Guina menaiki sebuah taksi.
Dua jam berlalu. Setyo telah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Guina berhenti di sebuah bangunan berukuran sedang, lalu masuk ke dalamnya. Setyo sejenak berpikir. Apakah tempat ini adalah rumah keluarga Guina? Namun, Setyo tahu betul jika kampung Guina lebih jauh dari tempat mereka berpijak saat ini.
"Rumah siapa yang dimasukinya?" gumam Setyo.
Setyo tidak bisa memantau pergerakan Guina lagi. Mustahil dia mengikuti perempuan itu masuk ke rumahnya. Bisa-bisa Setyo ketahuan.
"Yang terpenting aku sudah tahu ke mana Guina pulang," ucap Setyo.
Dia berencana untuk mengunjungi gedung itu lagi di lain waktu. Setyo yakin sekali bahwa Guina telah menyembunyikan sesuatu, tapi dia berakting seolah sedang terjadi musibah pada keluarganya.
***
Karin sudah berada di rumahnya sejak 30 menit yang lalu. Kini, dia pun mulai heran karena tidak ada melihat batang hidung Guina sejak tadi. Setelah membantu Ayahnya beres-beres, Karin pun menemui Ronald yang tengah bermain dengan si kembar di tepi kolam belakang rumah.
"Mas!" Karin memanggil suaminya.
Karin mendaratkan bokong persis di sebelah Ronald. Mereka mengobrol sambil memantau permainan Isha dan Aru.
"Apa Guina sedang berada di luar rumah? Aku tidak melihatnya sejak tadi. Seharusnya dia sudah pulang bekerja,"
Pertanyaan Karin bagaikan tali yang mencekik leher Ronald. Wanita itu tidak pernah mengetahui bahwa Guina adalah madunya sekarang.
"Ah, iya. Aku lupa menyampaikannya padamu," kata Ronald.
"Menyampaikan apa, Mas?"
"Guina pulang ke kampungnya. Dia sudah tidak tinggal bersama kita lagi,"
"Hah, kenapa, Mas? Lalu, bagaimana dengan pekerjaannya?"
"Guina pulang karena suruhan keluarganya. Dia juga sudah resign dari pekerjaan. Aku tahu karena dia yang menceritakan sebelum keluar dari rumah kita dua hari lalu,"
"Berarti, tepat di saat ibu meninggal si Guina pulang ke kampungnya?"
"Iya, Sayang,"
Dari jauh hari Ronald dan Guina sudah merencakan alasan kepergian Guina. Jadi, Ronald tidak perlu bingung lagi dan semua orang akan menyangka bahwa Guina memang pulang ke kampungnya.
"Wah. Kenapa dia tidak memberitahuku?" tanya Karin sedih.
"Mungkin pikiran Guina sedang kacau balau, mengingat kondisi pamannya yang tidak baik dan keuangannya menipis. Barangkali dia akan menghubungimu setelah urusannya beres,"
Karin merasa kehilangan dua orang yang berharga di hidupnya. Hingga sampai sekarang Karin masih menganggap bahwa Guina adalah sahabat karibnya dan ia begitu menyayangi Guina.
Baru saja Ronald menceritakan perihal istri keduanya pada Karin, tiba-tiba masuk panggilan telepon dari wanita itu. Ronald yang melihat di layarnya tertera nama Guina sontak menjauhkan diri dari Karin.
"Sebentar ya, Sayang. Rekan bisnisku menelepon," ujarnyan berbohong.
Setelah menciptakan jarak dengan Karin, barulah Ronald berani mengangkat teleponnya.
"Halo, Guina. Ada apa? Kau menghubungiku di saat yang tidak tepat,"
***
Bersambung