Pagi ini semua berkumpul. Mulai dari Ayah Karin hingga si kembar bersatu dalam meja makan yang sama. Berbagai menu hidangan sarapan pagi telah tersedia.
"Alu mau pisang, Mommy." Aru memanjangkan tangannya guna meraih buah bewarna kuning di depan sana.
"Isha juga!" tambah Isha yang tak ingin kalah dari Abangnya.
Seberes menyendokkan nasi untuk Ronald, Karin langsung memberikan pisang pada masing-masing tangan kecil tersebut. Ini merupakan waktu yang janggal, karena biasanya si kembar pasti tengah terlelap pada jam segini.
Karin melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, yakni menyendokkan lauk ke piring Ayah serta suaminya. Dia dengan lemah lembut melayani kedua pria yang begitu ia cintai.
"Sudah cukup, Sayang?" Karin menatap wajah Ronald.
"Aku ingin kuahnya lebih banyak lagi."
"Ayah, apakah sudah cukup?" Sekarang gantian Karin bertanya pada sang Ayah.
"Sudah, Nak."
Karin dapat kembali ke kursinya setelah semua beres. Pemandangan semacam ini sejujurnya membuat hati Guina agak memanas. Dia iri sekali dan mulai berandai-andai jika sosok Karin itu adalah dirinya.
Guina dengan perasaan hambar terus saja menyantap makanan sambil sesekali melirik ke arah Ronald. Lelaki itu sama sekali tidak menggubris dirinya, bahkan tak menganggapnya ada.
"Mommy! Punatu udah habis," seru Isha yang memilih untuk mengangkat kulit pisangnya tinggi-tinggi.
"Alu pisangnya macih banyak, Mommy. Alu lambat. Ahahaha." Sekarang bocah berpipi gembil itu malah menertawakan saudara kandungnya.
Aru yang merasa disaingi menghentakkan kedua tangannya ke meja makan, lalu berusaha turun dari kursi.
"Loh! Aru mau ke mana, Sayang?" Ronald heran melihat tingkah putranya.
Aru senantiasa berusaha tanpa memedulikan ucapan Papinya. Melihat hal tersebut, Ronald langsung turun tangan dan menunda acara sarapan paginya.
"Aru mau ke mana, hem?"
"Sayang. Kan, belum selesai makannya. Kenapa sudah pergi?" Karin menimpali.
"Aku nda cuka diejek Isha!"
Erm… Ternyata pria berumur lima tahun itu sedang menahan kesal.
Ronald mengangkat tubuh mungil Aru dan mendudukkannya kembali. Sebelum Isha mengata-ngatainya lagi, maka Ronald pun terlebih dahulu mengingatkan.
"Isha anak Papi dan Mommy, jangan nakal seperti itu, ya! Mau pisang siapapun yang habis duluan, itu semua tidak masalah. Oke!"
"Tapi Isha hebat kan, Papi? Kalena udah habisin pisang duluan."
"Anak Papi dan Mommy semuanya hebat. Paham, ya?"
Untuk tidak pilih kasih, Ronald harus menyamaratakan kedua buah hatinya dalam konteks apapun itu, termasuk kejadian pagi ini. Jangan sampai ada yang merasa terpojokkan diantara mereka.
"Lain kali jangan begitu ya, Isha. Sesama saudara harus saling menyayangi. Ayo, minta maaf!" ujar Karin sambil menyenggol bahu putrinya.
Isha menyapu pandangannya ke arah Kakek serta Guina yang turut memerhatikan dirinya. Selanjutnya, perlahan-lahan ia mengangkat lengan dengan tujuan meminta maaf.
"Maafin Isha ya Alu!" katanya malu-malu.
"Ayo, Aru! Jabat balik tangan adiknya," titah sang kakek yang merasa gemas.
Aru sebagai Abang yang tentu saja memiliki sikap lebih dewasa tak ingin mendramatisir keadaan dengan berlama-lama merajuk. Dia mengikuti gerakan Isha dan menjawab permintaan maaf tersebut.
"Iya. Udah Alu maafin. Jangan ulangi lagi, ya!" katanya sambil agak mencebikkan bibir.
"Hore…"
Papi dan Mommy si kembar bertepuk tangan menyaksikan kepintaran buah hati mereka. Bersyukur sekali rasanya, karena telah dihadiahi putra putri seperti Aru dan Isha.
Sementara itu perasaan Guina kian tak menentu. Jika boleh dia sudah pergi dari tempat itu dan tak ingin menyaksikan keromantisan keluarga di hadapannya.
"Indah sekali kekeluargaan kalian," ucap Guina memasang senyuman palsunya.
"Semoga kau juga memeroleh kebahagiaan seperti ini, Guin," kata Karin.
"Iya. Semoga aku mendapatkan anak yang lucu-lucu seperti mereka dan suami yang setia."
Ucapan Guina yang terakhir kali bak ombak yang menerjang diri Ronald. Untuk apa dia menyebutkan kata setia kalau bukan karena ingin menyindir dirinya. Lagipula, mata Guina langsung tertuju pada Ronald dengan senyum miringnya.
Sebelum ada hal-hal yang lebih memuakkan lagi dengan diri Guina, akhirnya Ronald buru-buru menyantap sarapannya dan segera beranjak ke kantor. Dia membawa istrinya turut serta, karena hendak mengantarkan wanita itu ke kampus.
Karin meninggalkan Ayah, sahabat, kedua anaknya serta seorang baby sitter. Semuanya berlalu hingga jam tiga sore mendatang.
***
Ronald kembali menancap gas mobil seberes melepas sang istri. Saat melewati jalanan sepi, Ronald tak sengaja menangkap sebuah pemandangan memilukan. Ia melihat seorang wanita berperut buncit tengah mengesot sambil terisak. Tangannya melambai-lambai pertanda memanggil setiap kendaraan yang lewat. Ronald sebagai sesama manusia tentu teriris hatinya. Dia memilih untuk menghentikan mobil di hadapan wanita bersurai hitam pekat tersebut.
Ternyata perempuan itu masih muda. Agaknya, dia berusia beberapa tahun di bawah Ronald.
"To- tolooong!"
Melihat kehadiran Ronald semakin membuat sosok itu menjadi-jadi. Mungkin baru Ronaldlah orang yang bersedia melihatnya di tepi jalanan ini.
"Apa yang terjadi?" Ronald menyisir sekujur tubuh sosok itu.
"Sa- saya hendak me- melahirkan. Tolong!"
Ronald sempat mencerna kalimat orang itu dan beberapa detik kemudian barulah ia tersadar. Ronald langsung membantu wanita malang tersebut dengan memasukkannya ke dalam mobil. Meski tidak saling mengenal, tapi Ronald tahu bagaimana sakitnya ketika seorang perempuan ingin melahirkan jabang bayinya ke dunia. Ronald mendadak teringat Karin.
Ronald tak segan-segan membawa orang yang belum diketahui namanya itu ke rumah sakit dan merogoh kocek untuk biaya persalinan. Dia juga sampai terlambat ke café, karena menanti kelahiran bayi tersebut. Ronald sebenarnya penasaran dengan kisah hidup wanita di dalam sana. Apa yang membuatnya bisa mengesot di jalanan dalam keadaan hamil tua.
Dua jam berlalu. Merupakan waktu yang cukup lama bagi Ronald. Namun, kejenuhannya tertutupi setelah ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih ke luar dari ruangan pasien.
"Dokter, bagaimana keadaannya?" Ronald langsung menyamperi orang tersebut.
"Ibu dan bayinya selamat, Pak. Jenis kelamin bayinya perempuan."
"Apa boleh saya masuk?"
"Silahkan."
Sang dokter membiarkan Ronald menjenguk wanita itu dan ia pun memilih untuk mengurus pasien yang lain.
Ronald melangkahkan kakinya penuh kehati-hatian. Sekarang dirinya lega, karena tangisan perempuan tadi telah berganti dengan senyum indah. Ronald dapat menyaksikan bayi wanita yang berada di brankar pasien, tepat di sebelah ibunya.
"Mas…" lirih orang tersebut tatkala mengetahui kedatangan Ronald.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Aku dan bayiku sehat. Terimakasih telah menolong kami, ya!"
"Iya. Kenapa kau bisa dalam keadaan seperti tadi?"
Ronald yang memang penasaran langsung bertanya ke poin utama tanpa melakukan basa basi terlebih dahulu.
Tiba-tiba saja orang itu menangis dan pandangannya tertuju ke langit-langit kamar. "Aku hidup seorang diri, Mas. Suamiku lari bersama perempuan lain saat kandunganku berusia delapan bulan."
"Lalu, kenapa kau tidak meminta saudaramu mengantarmu ke rumah sakit? Bahkan, kau tidak menggunakan kendaraan."
"Aku sebatang kara. Keluargaku sudah membuangku, Mas, karena mereka tidak setuju dengan pernikahanku. Aku juga tak memiiki uang untuk menyewa sebuah kendaraan," jawab wanita itu tetap dalam keadaan bersedih.
Saat ini Ronald bagaikan pahlawan di mata orang yang belum mengenalnya. Perempuan itu tak akan pernah lupa dengan jasa Ronald. Bahkan, dia berniat untuk membalas budi baik pria yang telah membantunya tersebut.
***
Bersambung