"Hei. Siapa kamu?"
Dora tak mampu memutar kepalanya ke belakang. Hal itu berlangsung selama beberapa detik. Bersamaan dengan itu, Setyo pun kembali dari toilet.
"Ya, Tuhan. Dora?"
Setyo terpaku di tempat. Bibirnya terngaga dan sebelah tangannya bermukim di dada. Wajah Setyo mendadak merah padam. Matanya berlabuh pada sosok asing yang saat ini merengkuh badan Dora.
"Kurang ajar!"
Setyo kabur meninggalkan Dora dan lelaki tanpa identitas itu. Kepergian Senyo membuat pria tersebut melepaskan pelukannya. Ia mengekori Dora yang mengejar Setyo.
"Mas! Tunggu!" Dora tergopoh-gopoh.
Ketiganya sudah berada di halaman café. Setyo yang sudah tak dapat menahan amarah langsung mendekati lelaki asing itu, lalu memukulnya tanpa ampun. Terjadilah perkelahian diantara keduanya.
"Berani-beraninya kau memeluk istriku! Siapa kau, hah?"
BUGH! BUGH! BUGH!
Pria asing itu sempat memberi perlawanan, tapi sepertinya ia mulai kehabisan tenaga. Tak lama setelah itu, dia pun berlari menjauhi Setyo dan Dora.
"Dora, ingat janji kita!" teriaknya dari kejauhan.
Dada Setyo naik turun. Ia melepas kepalan tangannya penuh geram. Setyo pun menatap Dora dengan tanda tanya yang besar.
"Siapa bajingan itu? Janji apa yang telah kalian ikrarkan?" tanya Setyo. Tatapannya begitu menyeramkan.
Dora menggelengkan kepalanya. Tidak tahu dari mana datangnya pria tidak dikenal itu. Dora juga kaget saat tahu bahwa dirinya sedang berada di pelukannya.
"Aku tidak mengenalnya, Mas. Aku tidak tahu kenapa pria itu datang begitu saja," jawab Dora.
"Bisa-bisanya kau mengambil kesempatan di saat aku sedang di toilet, Dora. Tega kau!"
"Aku tak pernah melakukannya, Mas. Sungguh!"
Kejadian itu ditangkap oleh beberapa pasang mata. Dora tidak peduli dengan rasa malunya. Yang ia inginkan hanyalah kepercayaan dari sang suami.
Sedangkan Setyo yang sudah tidak dapat menahan malu lantas saja melarikan diri. Setyo mencari kendaraannya dan langsung masuk ke dalam. Dia pun dengan kejam meninggalkan Dora. Tidak peduli bagaimana nasib perempuan itu.
"Mas, tunggu!" teriak Dora.
"Aku tidak mengenalnya, Mas. Jangan tinggalkan aku!"
Sebelum benar-benar pergi, Setyo membuka kaca jendela kemudian berkata, "Pergilah dengan selingkuhanmu itu, Dora. Jangan pernah mencariku lagi!"
Dora semakin terisak mendengar ucapan suaminya. Kenapa semuanya jadi begini? Makan malamnya harus berakhir mengenaskan.
Setelah jauh dari lokasi café, Setyo menghentikan mobilnya dan memasuki sebuah rumah kosong. Di sana dia bertemu dengan pria yang tadi ditimpuknya.
"Hahaha. Kerja bagus, kawan!" seru Setyo.
Bersamaan dengan itu, muncul pulalah Guina.
"Bagaimana, Pak? Semua berjalan dengan lancar, kan?"
"Aku berhasil menyalahkan Dora dalam hal ini,"
"Hahaha." Ketiganya pun tertawa bersama.
Rupanya peristiwa menegangkan ini adalah bagian dari rencana Setyo dan Guina. Perempuan yang baru saja keluar dari rumah sakit itu langsung mengumumkan taktiknya pada Setyo. Makan malam yang berujung bencana ini telah sukses. Mereka begitu mudah untuk mengelabui Dora.
Setyo memberikan beberapa lembar uang pada sang pria asing. Saat dia hendak menyerahkan kepada Guina, maka wanita itu menolak dengan cepat.
"Tidak usah, Pak! Aku masih memiliki banyak uang," katanya.
Bukannya Guina tidak membutuhkan harta, hanya saja dia membantu Setyo juga karena memiliki misi tertentu. Bukan semata-mata ingin menyatukan Setyo dengan Karin saja.
Mereka pun bubar setelah pekerjaan usai. Masih banyak lagi rencana yang telah tersusun di kepala Guina. Tega sekali wanita itu. Padahal dia dan Karin sudah lama bersahabat. Semua hancur perkara laki-laki saja.
***
Malam hari Setyo dikagetkan dengan kehadiran Dora di rumahnya. Dia kembali dengan isakan yang jauh lebih kencang. Setyo memang tidak mendengar tangisan Dora. Hanya saja bel rumahnya bolak-balik berdentang. Siapa lagi kalau bukan wanita itu yang datang?
Tap!
Tidak salah lagi. Saat Setyo membuka pintu, maka yang pertama kali dilihatnya adalah mata sembab sang istri. Dora menangis tiada henti.
"Dora, sama siapa kamu ke sini? Diantar selingkuhanmu itu?" sindir Setyo.
"Aku mengendari taksi online, Mas. Aku tidak mengenal siapa lelaki tadi. Tolong percaya." Dora menangkupkan kedua tangannya.
"Dora. Sebaiknya kau pulang saja ke rumah orang tuamu. Aku sudah tidak sudi menampung istri pengkhianat sepertimu,"
"Pulang ke rumah Ayah dan Ibuku?"
Bagai disambar petir saat mendengar ucapan suaminya. Sehebat apapun pertengkaran mereka, tapi Setyo tidak pernah mengusir Dora. Lalu, apa yang membuat Setyo bersikap demikian padahal semua ini bukanlah nyata?
"Pergi, Dora! Jangan pernah injakkan kaki di rumahku lagi,"
BRAK!
Setyo pun menutup pintu tersebut. Walaupun Dora bolak-balik memencet bel, tapi Setyo sama sekali tak peduli.
"Maafkan aku, Dora. Aku melakukan semua ini demi Karin," ucap Setyo saat ia hendak melanjutkan tidur.
Perasaan Dora hancur lebur. Tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke kediaman orang tuanya. Bukannya Dora menyerah. Dia hanya membiarkan Setyo menengkan diri terlebih dahulu. Dora sebenarnya juga penasaran siapa lelaki asing yang tiba-tiba memeluknya.
***
"Aku harus bisa membuat Ronald jatuh cinta padaku,"
Malam ini Guina sudah tampil cantik dengan dress selutut serta aroma parfum yang begitu menggoda. Tadi pagi Karin membagikan kartu undangan ulang tahun Aru dan Isha pada seluruh staff jurusan, termasuk Setyo.
Guina sudah siap dengan penampilannya dan langsung meluncur ke lokasi. Dia tidak membuat janji dengan Setyo. Sesuai kesepatakan mereka, kalau keduanya tak akan pernah berdekatan di hadapan orang-orang jurusan Ilmu Komunikasi.
Guina melangkah perlahan sesampainya di sana. Bukannya mencari Karin, dia malah mengedarkan pandangan untuk menemukan Ronald. Tak butuh waktu lama, Guina langsung melihat seorang lelaki yang sedang bersenda gurau dengan anak kembarnya.
"Halo, Isha dan Aru. Ini buat kalian," kata Guina sambil menyerahkan dua buah bingkisan.
Ronal kaget dengan Guina yang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Seharusnya ia bertanya terlebih dahulu, karena Karin bisa saja cemburu.
"Eh! Ayo, Isha dan Aru. Sampaikan terimakasih pada Tante Guina, ya." Ronald mengajarkan kedua buah hatinya.
"Telimakacih, Tante," seru mereka bersamaan.
Guina tersipu malu. Dia sedang membayangkan bahwa dialah ibu kandung dari Aru dan Isha, sedangkan Ronald adalah ayahnya.
Guina tak peduli di mana Karin berada. Dia mengambil kesempatan untuk lebih dekat lagi dengan Ronald.
"Berapa umur Aru dan Isha, Mas?" tanyanya basa basi.
"Lima tahun,"
"Wah! Sudah besar, ya,"
Guina melebarkan tangannya. Bermaksud agar Ronald memberikan salah satu anaknya. Kejadian itu ditangkap oleh Karin yang baru saja keluar dari kamarnya. Guina sudah datang, tapi tidak mencari keberadaannya terlebih dahulu.
"Guina?" sapa Karin.
Ronald spontan memisahkan diri dari Guina. Dia menggeser posisinya, karena khawatir kalau Karin akan terbakar api.
"Sudah lama datang?" tanya Karin.
"Sudah. Aku sempat bermain dengan anak dan suamimu,"
Krak!
Serasa dirajam belati hati Karin. Kenapa enteng sekali mulut Guina berucap demikian?
***
Bersambung