"Kurasa semuanya sudah jelas dan aku tidak perlu mengulanginya lagi,"
"Tidak, Mas! Kau tak bisa melakukan hal ini padaku. Aku tak bersalah dan aku tidak tahu siapa lelaki kemarin,"
Dora terus saja membela diri dengan harapan kalau Setyo akan berubah pikiran. Namun, sepertinya dia harus menelan pil pahit, karena Setyo telah membawakan selembar surat sakral untuknya.
"Jangan bertele-tele, Dora. Lekas tandatangani kertas ini!"
"Lakukan, Dora! Jangan mengemis cinta pada pria kejam seperti dia," timpal ibu Dora. Begitu geramnya dia terhadap Setyo.
"Ibu! Aku tak ingin berpisah dari Mas Setyo. Aku mencintainya dengan sangat."
Dora menyapu wajahnya yang sudah penuh dengan cairan asin. Dora bingung harus melakukan apa. Dia tak melihat adanya rasa iba di diri Setyo.
"Jangan bodoh, Dora! Masih banyak lelaki lain di dunia ini," tambah sang ayah.
"Benar kata ayah dan ibumu. Barangkali akan ada pria yang mampu mendidikmu lebih dari aku,"
Setyo menyodorkan kertas putih yang dibubuhi oleh tinta hitam tersebut. Tidak sabar sekali rasanya untuk berpisah dari Dora.
"Aku tidak mau, Mas. Sampai kapan pun aku tak sudi berjauhan darimu. Aku takut jika kau akan kembali pada Karin,"
"Aku berjodoh dengan siapa itu bukan urusanmu lagi,"
Dora berubah menjadi patung. Sungguh dia telah terjebak diantara situasi yang sulit. Dora enggan berpisah dari suaminya, tapi pria itu sudah tak mencintainya lagi.
"Sini suratnya!"
Ayah Dora merampas kertas itu dari tangan Karin dan memberikannya pada Dora. Dia juga mengambil sebuah pulpen agar Dora segera membubuhkan tanda tangannya di sana.
"Cepat, Dora! Jangan membuang waktu," perintah ayahnya.
"Setyo akan menyesal, karena sudah memfitnahmu," ujar ibu Dora.
Dora kian terisak. Tidak tahu bagaimana hidupnya tanpa lelaki itu. Namun kedua orang tuanya terus mendesak ditambah lagi kecaman dari Setyo yang tiada henti. Akhirnya dengan keterpaksaan Dora menjatuhkan pulpen di atas kertas tersebut.
"Su- sudah, M- Mas," titah Dora setelah ia berhasil memberikan tanda tangan.
Dora mendadak lemas. Dia bersimpuh di lantai, kemudian menangis sekencang-kencangnya.
Setyo memasukkan surat itu ke dalam amplop putih dan segera beranjak dari sana. Dia tak ingin menyaksikan air mata Dora akibat ulah suaminya sendiri.
"Jangan pernah ganggu hidupku lagi, Dora! Kisah kita berakhir di sini," kata Setyo memberi peringatan.
Dora dipeluk oleh kedua orang tuanya. Mereka juga ikut meneteskan air mata. Siapa yang tak ikut bersedih saat tahu bahwa anaknya telah disia-siakan? Entah balasam apa yang akan diberikan Tuhan pada Setyo yang telah memanipulasi semuanya. Walaupun belum mendapatkan bukti, tapi keluarga Dora yakin bahwa Setyo memang sengaja merencanakan perpisahan ini.
Setyo merasa begitu lega, karena dia resmi bercerai dengan Dora. Sekarang Setyo harus memberitahu kabar ini pada Guina agar mereka dapat melancarkan rencana kedua.
"Halo." Setyo menyapa Guina melalui ponsel.
"Iya, Pak Setyo?"
"Aku hanya ingin memberitahu kalau aku sudah resmi berpisah dari Dora,"
"Benarkah?"
"Iya. Selanjutnya, apa yang akan kita lakukan?"
"Tetap diam di tempat dan biarkan aku yang bekerja, Pak,"
"Kau yakin dengan semua ini, kan?"
"Tenang saja, Pak. Anda pasti mendapatkan Karin kembali,"
Setyo mematikan sambungan ponselnya setelah mendengar jawaban Guina. Sebenarnya dia juga bingung kenapa Guina ingin membantunya padahal Karin adalah sahabatnya sendiri. Namun Setyo tak pernah menyangka, jika sesungguhnya Guina mencintai Ronald.
***
"Terimakasih atas kerja samanya," ucap seorang lelaki bertbuh tegap pada Guina.
Malam ini Guina resmi menjual rumah miliknya pada orang lain. Guina sudah siap dengan tiga buah koper dan dia akan menuju sebuah tempat. Uang hasil penjualanan disimpannya di kartu rekening. Guina tak akan membeli tempat tinggal yang baru, karena dia sudah menyiapkan sebuah rencana.
Tempat yang pertama kali dituju oleh Guina adalah rumah Ronald. Guina juga sengaja menuangkan cairan tetes mata untuk mengelabui keluarga tersebut. Guina sudah menyusun berbagai taktik supaya lebih dekat dengan sang pujaan.
Ting nong…
Karin berjalan ke arah pintu. Saat ia membukanya, betapa terkejutnya Karin melihat kondisi Guina yang memperihatinkan. Tiga buah koper dan air mata menjadi pusat perhatiannya.
"Guina. Kau kenapa?" tanya Karin panik.
"Karin. Hiks hiks hiks,"
Guina membungkus tubuh Karin menggunakan kedua lengannya. Dia menjatuhkan dagu di bahu Karin seraya terisak kencang.
"Apa yang telah terjadi?"
"Boleh aku masuk ke rumahmu? Aku akan menceritakan semuanya,"
Tentu saja Karin tak menolak keinginan Guina. Dia pun turut serta memanggil Ronald untuk mendengarkan curahan hati Guina.
"Ada apa ini?" Ronal kaget melihat beberapa koper asing di rumahnya.
"Tidak tahu, Mas. Guina akan memberitahunya pada kita sekarang,"
Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Guina datang di waktu yang tepat, karena Isha dan Aru sudah tidur sehingga memudahkan mereka untuk bercerita.
"Pamanku di kampung sedang sakit parah. Mereka tidak punya pilihan lain, kecuali meminjam uang padaku. Aku baru saja menjual rumah dan hasilnya segera kutransfer pada mereka. Aku tidak punya rumah dan uang lagi. Aku ingin menumpang di rumah kalian sampai gajiku turun. Aku berjanji akan segera mencari tempat tinggal baru. Apakah boleh Karin, Ronald?"
Guina mengarang semua kejadian tersebut. Sebenarnya dia sengaja menjual rumah agar bisa tinggal bersama keluarga Ronald. Tidak ada sanak saudara Guina yang sakit apalagi sampai ingin berhutang padanya. Guina menghilangkan rasa malunya demi melancarkan misi.
"Ya, Tuhan. Kasihan sekali kau, Guina,"
Karin jadi tersentuh mendengar kisah Guina. Siapa yang menyangka jika perempuan itu akan jatuh miskin dalam sekejap? Padahal sewaktu di kampus Guina masih kelihatan baik-baik saja dan mampu tertawa.
Sedangkan Ronald juga ikut merasakan kepedihan Guina. Wanita itu terlampau pintar berakting, sehingga mampu mengelabui dua orang di hadapannya.
"Bagaimana, Mas? Apakah boleh Guina tinggal bersama kita sampai dia menemukan rumah baru? Aku tidak tega, Mas. Selama ini Guina sudah banyak menolongku." Karin mencoba merayu Ronald agar sudi menampung sahabatnya.
"Tentu saja. Sayang, tunjukkan di mana kamar Guina berada,"
Sepasang netra Guina mendelik setelah Ronald berucap demikian. Lelaki itu bahkan tidak menaruh curiga dengan menyodorinya banyak pertanyaan. Rupanya mudah sekali untuk masuk ke kehidupan mereka. Andai Guina tahu kalau prosesnya tak akan sulit, pasti dia memilih untuk melakukan hal ini sejak dahulu.
"Benarkah? Terimakasih. Kalian baik sekali. Tiga minggu lagi gajiku akan turun. Kalian tenang saja. Aku berjanji akan segera pergi dari sini setelah mendapatkan uang,"
"Tidak perlu sungkan begitu. Ayo, kutunjukkan kamarmu!"
Karin pun membawa sahabatnya itu ke sebuah bilik yang dibangun khusus untuk tamu, sedangkan Ronald membantu membawakan koper. Karin dan Ronald terlampau baik, sehingga dia menganggap bahwa seluruh orang juga baik. Mereka tidak sadar bahwa mereka telah mengizinkan seseorang yang akan merusak rumah tangga keduanya masuk ke kehidupan mereka.
"Lihat saja, Karin. Kau akan menyesal karena sudah mengizinkan aku tinggal di sini," batin Guina berkata-kata. Sebentar lagi drama akan berlangsung.
***
Bersambung