Guina tanpa malu-malu langsung menuju kamar Karin dan membuka pintunya. Dia berani melakukan hal tersebut, karena meyakini bahwa Ronald sedang berada di luar rumah. Pasti pria itu tengah bekerja di cafenya.
"Karin?" panggil Guina.
Wanita itu tampak terbaring lemah di ranjang king size. Karin menarik selimut sebatas dadanya.
Karin mencari sumber suara tersebut. Dia kaget ketika melihat wajah Guina muncul di biliknya.
"Loh, Guina? Kau sendirian?" tanyanya.
"Iya. Kudengar kau sakit,"
Guina duduk di tepian ranjang, kemudian meletakkan parsel buah di nakas. Dirabanya dahi Karin yang ternyata memang benar-benar panas.
"Tak perlu repot-repot,"
"Aku turut prihatin. Di mana anak-anakmu?"
"Di kamar mereka bersama baby sitter,"
Untungnya Karin memiliki seorang penjaga bayi, sehingga dia bisa fokus pada kesehatannya tanpa harus memikirkan hal lain.
"Aku keluar dulu untuk memastikan keadaan mereka, ya," kata Guina dan hanya dijawab oleh anggukan kepala Karin.
Guina memasuki kamar yang satunya lagi. Dia melihat Aru dan Isha sedang bermain bersama baby sitter mereka. Guina tak ingin berlama-lama menyaksikan bayi yang sudah ada penjaganya itu. Dia langsung menuju dapur.
Guina memberanikan diri untuk membuka tudung saji yang berada di meja makan. Dia hanya menemukan ikan goreng di sana. Pasti Karin tidak mampu untuk memasak akibat penyakit yang dideritanya.
Tiba-tiba muncul pikiran jahat di benak Guina. Daripada menunggu Karin di kamarnya, lebih baik dia memasak saja di dapur. Sebentar lagi Ronald akan pulang dari bekerja. Alangkah beruntungnya ia ketika Ronald memakan masakannya.
Guina pun langsung mengambil sayuran untuk segera dieksekusi. Karin yang berada di atas tidak pernah tahu apa yang dilakukan oleh Guina. Dipikirnya perempuan itu sedang bermain dengan Isha dan Aru.
Benar saja. Tak lama setelah itu terdengarlah suara pintu berdecit. Tak perlu melihatnya Guina sudah dapat menebak siapa yang datang. Dia terus saja memasak hingga telinganya menangkap suara derap langkah seseorang.
"Sayang. Kenapa kau memasak? Bukannya kau sedang sakit, hem?"
Srrr…
Darah Guina berdesir deras dan organ di tubuhnya serasa berhenti total. Guina merasakan sebuah lengan kokoh memeluknya. Guina membiarkan kejadian itu berlangsung selama beberapa detik, hingga ia membalikkan badan.
Tap!
"Astaga! Guina?"
Ronald spontan melepaskan rengkuhan itu dan mundur beberapa langkah. Dia mengira jika yang memasak itu adalah istrinya, Karin. Tubuh keduanya sama persis. Membuat Ronald tidak berpikir jika itu adalah sosok lain.
"Maaf! Kukira kau istriku," kata Ronald bercampur rasa malu.
Guina hanya tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya samar. Sesungguhnya dia sangat menyukai hal itu. Jika tak ada manusia lain kecuali mereka pasti Guina sudah membalas pelukan Ronald.
"Tidak apa-apa," balas Guina.
"Kenapa kau yang memasak? Ke mana istriku?"
"Karin sedang tidur di kamarnya. Kulihat hanya ada ikan goreng di rumah ini. Kau baru pulang bekerja, Mas. Pasti lapar," ucap Guina mencoba memberi perhatian.
"Seharusnya tidak perlu repot-repot, karena aku bisa memesan makanan online,"
Ronald jadi sungkan terhadap tamunya sendiri. Dia paham dengan Guina yang berstatus sebagai teman dekat Karin, tapi sebaiknya perempuan itu menunggu rekannya di atas saja daripada harus mengeluarkan tenaga.
Guina lagi-lagi tersenyum dan melanjutkan kegiatannya. Sementara itu Ronald naik ke atas untuk membersihkan tubuh.
Setelah semuanya selesai, Guina mengantarkan semangkuk sup serta segelas susu untuk Karin. Dia langsung berpamitan untuk pulang.
"Karin. Aku sudah memasak untukmu. Dimakan, ya. Semoga lekas sehat. Aku pulang dulu,"
"Hah? Kau memasak?" Karin kaget.
"Sudahlah! Jangan hiraukan itu, karena aku hanya ingin membantumu saja. Aku pulang, ya,"
Guina meraih tasnya yang tertinggal di pinggiran ranjang. Dia tersimpul sebelum manis pergi dari sana.
"Guina baik sekali," batin Karin. Dia jadi terharu dengan pertolongan sang sahabat. Padahal dia saja yang tidak tahu kalau Guina hanya modus.
Namun bukannya pulang, Guina malah menuju kamar sebelah untuk menggiring Aru dan Isha ke meja makan. Tak lupa dia memanggil Ronald yang sedang fokus membaca koran di beranda rumah.
"Mas, makan dulu, yuk!" kata Guina.
"Makan?"
"Iya. Aku sudah selesai memasak. Aru dan Isha juga sudah menunggu di meja makan,"
Ronald tahu bahwa Guina sedang mengajaknya makan malam bersama Aru dan Isha. Sejujurnya Ronald sungkan melakukan hal tersebut. Namun tak ada pilihan lain. Setidaknya Ronald harus berterimakasih pada Guina yang telah membantu di rumah mereka.
"Baiklah," ujar Ronald, kemudian berjalan ke arah meja makan.
Jantung Guina berdebar tak menentu. Tak disangka jika ia bisa menggantikan posisi Karin malam itu. Guina menuangkan nasi serta lauk ke piring tiga orang di hadapannya.
"Ayo, Isha dan Aru harus habisin, ya!" tukasnya.
"Baik, Tante," kata si kembar bersamaan.
Guina membidik Ronald yang sudah memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. Guina bahagia sekali malam ini. Dia tidak memikirkan bagaimana hati Karin apabila mengetahui hal tersebut.
"Gimana, Mas? Enak?" tanya Guina.
"Lumayan. Ternyata kamu pintar memasak juga, ya. Persis seperti Karin,"
Guina menggingit bibir bawahnya. Meskipun Ronald masih saja membawa nama istrinya, tapi setidaknya Guina sudah sejajar dengan wanita itu dari segi makanan. Langkah selanjutnya adalah mencari kekurangan Karin dan mengimbanginya.
"Terimakasih, Mas," ucap Guina tersenyum riang.
Makan malam berjalan lancar tanpa diketahui oleh Karin, karena dia berada di kamar atas. Isha dan Aru juga tampak nyaman dengan Guina. Dia mampu berperan sebagai ibu, meskipun belum pernah menikah.
Guina pamit pulang setelah semuanya usai. Dia diantar oleh Ronald dan kedua anaknya sampai mendapatkan taksi. Seberes ini, Guina akan mencari cara lain untuk bisa berdekatan dengan Ronald.
***
"Dora, buka pintunya!"
Tepat seminggu setelah kejadian memalukan itu, kini Setyo kembali lagi ke rumah mantan istrinya. Selama itu pulalah Dora tak ada menemui Setyo lagi, karena dia dikurung oleh sang ayah. Lelaki itu tak ingin kalau putrinya sampai membuat tingkah konyol dan memalukan kembali.
Mendengar suara Setyo, Dora langsung terbirit-birit membukakan pintu. Di sana juga ada ayah dan ibunya. Kebetulan sekali mereka tengah berkumpul di ruang tamu.
Cklek…
"Mas, kau kembali? Akh! Aku sudah yakin. Pasti kau ingin membawaku pulang ke rumah kita kan, Mas?" Dora berseru dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
Bersamaan dengan itu, ayah dan ibu Dora ikut nimbrung. Keduanya heran kenapa Setyo berkunjung lagi.
"Bukan. Aku datang ke sini hanya untuk memberikan surat perceraian dari pengadilan. Silahkan tandatangani, Dora! Aku masih memiliki urusan lagi dan harus segera pergi dari sini,"
Krak!
Bagai dirajam belati dada Dora mendengar penuturan Setyo barusan. Surat perceraian? Bahkan, dia tidak mengira bahwa Setyo akan benar-benar meninggalkannya. Dora menggelengkan kepalanya berulang kali. Air matanya sontak berderai.
"Cerai, Mas? Kau benar-benar ingin pergi dariku?" tanyanya memastikan. Dora tak percaya jika Setyo mampu berbuat demikian.
***
Bersambung