"Aku pulang duluan, ya,"
Tak ingin berlama-lama bersebelahan dengan Setyo, akhirnya Karin memilih untuk kembali ke rumahnya. Hatinya kerap gelisah apabila berada di dekat mantan suaminya itu. Karin tak lagi merasakan kenyamanan seperti dahulu kala.
"Cepat sekali!" seru Guina yang masih asyik dengan pemandangan di depannya.
"Kasihan anakku, Guin. Pasti mereka menunggu Mommynya,"
Isha dan Aru dijadikan kambing hitam atas kepulangan Karin, karena tak lagi memiliki alasan lain.
"Ya, sudahlah, Karin. Hati-hati di jalan, ya!" Guina melambaikan sebelah tangannya.
Sebelum benar-benar pergi, Karin menyempatkan diri untuk menghadap Setyo, tapi tidak menatap wajahnya. Karin berlaku demikian hanya untuk menutupi semuanya dari Gunia, meskipun sebenarnya wanita itu sudah tahu.
"Saya duluan ya, Pak Setyo," kata Karin dan langsung melenggang jauh.
Setyo menarik sepasang sudut bibirnya sehingga membentuk huruf U. Semakin melihat wajah Karin, entah kenapa penyesalan itu kian muncul. Andai saja Setyo tidak gegabah dan tak langsung meninggalkan Karin waktu itu.
Sebuah kesempatan emas bagi Guina untuk mendapatkan hati Ronald. Dia pun mencoba membujuk Setyo agar lelaki itu mau mendekati Karin lagi.
"Pak Setyo," panggil Guina.
Setyo menoleh ke arah lawan bicaranya. Dia juga menarik kursi yang terdapat di sebelah brankar pasien. Lelah juga kalau lama-lama berdiri.
"Ada apa?" jawab Setyo.
"Sepertinya Bapak masih mencintai Karin." Tanpa pertimbangan Guina langsung berucap demikian.
Setyo sempat kaget, meskipun memang benar kalau pria itu masih menyayangi mantan istrinya. Setyo pun tak perlu menutupi apa-apa lagi dari Guina, sebab wanita tersebut sudah mengetahui masa lalunya.
"Apa yang membuatmu berucap demikian?" Setyo menyorot tajam netra Guina.
"Saya melihat tatapan yang dalam di mata Bapak. Bapak juga selalu curi-curi pandang saat di kantor. Saya pernah jatuh cinta juga, Pak. Jadi, saya bisa merasakan apa yang Bapak rasa,"
"Dia istri teman lamaku," balas Setyo menunjukkan kekecewaannya.
"Kenapa tidak diusahakan saja agar kalian kembali berjodoh?"
Setyo mengeritingkan kedua alisnya, kemudiab berseru, "Apa maksudmu, Guina?"
"Aku bisa membantu Bapak untuk mendapatkan Karin lagi,"
Sebuah penawaran menarik. Siapa yang tak ingin merajut kasih dengan perempuan sesempurna Karin? Setyo tentu saja tergiur.
"Hah, bagaimana caranya?"
"Gampang, Pak! Yang terpnting adalah Bapak harus bisa meninggalkan Ibu Dora,"
"Meninggalkan istriku?" lirih Setyo yang masih bisa didengar oleh Guina.
"Iya. Bagaimana mungkin Bapak bisa merebut Karin dari suaminya sementara Bapak juga memiliki istri? Semua harus terencana dengan rapi, bukan?"
Guina pintar sekali mencuci otak Setyo. Padahal dia ingin mengambil manfaat dari semua ini. Selagi Setyo sibuk merebut Karin, maka Guina pun akan bereaksi untuk memenangkan hati Ronald.
"Aku memang masih mencintai Karin dan ingin hidup bersamanya, tapi aku tidak yakin kalau rencana kita akan berhasil,"
Tampaknya Setyo begitu menyepelekan Guina sebagai pencetus misi mereka. Setyo tak ingin ambil resiko atas apa yang keduanya lakukan.
"Oh, Bapak meragukanku? Tenang saja. Aku akan berusaha sebaik mungkin,"
"Siapa yang dapat menjamin kalau kau tidak akan buka mulut?"
"Tidak usah khawatir, Pak Setyo. Ketika aku menawarkan hal ini pada Bapak, berarti aku akan bertanggung jawab dengan segala konsekuensinya. Aku tahu betul jika Bapak masih menginginkan Karin,"
Sepertinya Guina tidak main-main dengan ucapannya. Hal itulah yang bertengger di benak Setyo saat ini. Dia pun mulai tertarik dan terpancing untuk mencoba. Setyo akan beruntung apabila Karin berhasil didapatkan kembali.
"Ah, baiklah, Guina. Aku akan memercayakan semua ini padamu. Berarti aku harus meninggalkan Dora dulu, kan?"
"Iya, Pak. Dora akan menjadi duri dalam misi kita merebut Karin,"
Sejujurnya Setyo pun sudah tidak terlalu mencintai istri keduanya itu. Dora terlalu posesif dan kerap mengekang hidupnya. Dora juga sering marah-marah tidak jelas dan berujung mengancam Setyo. Jadi, tidak masalah apabila Dora lenyap dari kehidupannya.
"Ke mari, Pak!" Guina melaungkan telapak tangan kanannya.
Lalu Guina menempelkan bibirnya ke telinga Setyo. Dia membocorkan bagaimana caranya agar Dora bisa terhempas dari kehidupan Setyo, tanpa harus lelaki itulah yang bersalah.
"Baik. Aku mengerti," kata Setyo mengangukkan kepala.
"Bersikaplah seperti biasa ketika kita bertemu di kampus, Guina. Orang-orang akan curiga apabila kita mendadak dekat." Setyo pun mewanti-wanti Guina.
Pria itu keluar rumah sakit dengan harapan yang kembali membuncah. Ia tidak sabar mendekap tubuh Karin seperti lalu lagi. Tidak peduli jika Karin akan hilang dari hidup Ronald selaku teman kecilnya.
***
"Dora. Bagaimana jika kita malam malam di luar?"
Setyo menyapa sang istri yang terlihat sedang sibuk memotong sayuran. Mumpung masih sore dan masakan itu belum jadi.
Seketika Dora menoleh, lalu tersimpul indah. Sudah lama juga ia tidak keliling kota dengan suaminya itu pasca seringnya terjadi pertengkaran diantara mereka.
"Kenapa tiba-tiba mengajakku keluar, Mas?" tanya Dora.
"Tidak ada. Aku hanya ingin keluar rumah saja,"
Buru-buru Dora menyimpan peralatan dapur serta sayurannya ke lemari makanan. Dia tidak jadi memasak, karena Setyo akan membawanya ke luar. Dora pun segera menuju toilet untuk mempersiapkan diri. Kebetulan jarak antara sore dan malam hanya tersisa satu jam lagi.
Sepasang suami istri itu membelah keriuhan kota pada pukul tujuh malam. Setyo memilih restoran terdekat dari rumah mereka. Ia tak ingin menghabiskan waktu bersama kemacetan jalanan.
"Ayo!" Setyo menggenggam lengan Dora.
Dora sendiri jadi bingung kenapa suaminya mendadak romantis, padahal belakangan ini mereka selalu berdebat. Dora meyakini bahwa Setyo ingin berubah dan sudah menyesali perbuatannya.
Mereka memilih bangku paling ujung dan bersebelahan dengan jendela kaca. Hal itu membuat pemandangan kota tampak dari atas sana. Tak perlu menunggu lama, akhirnya pesanan mereka datang.
"Selamat makan," ucap Setyo lembut.
Hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring diantara keduanya. Setyo dan Dora makan tanpa ditemani obrolan. Tidak ada yang salah, karena itu sudah menjadi kebiasaan mereka.
Setelah makan malam usai, Setyo meminta izin untuk pergi ke toilet. Ia melihat pengujung restoran yang masih membludak.
"Mas! Ponselnya?" Dora mengangkat benda pipih tersebut di udara.
"Biarkan saja. Aku tidak membutuhkan ponsel saat di toilet,"
Setyo pun buru-buru beranjak ke bagian belakang dan mencari keberadaan kamar mandi restoran. Sesampainya di sana, Setyo malah asyik nongkrong di bangku tunggu seraya menyaksikan anak-anak yang sibuk meminta ditemani buar air oleh Ibunya.
20 menit berlalu. Dora pun mulai gelisah, mengingat suaminya yang tak kunjung kembali. Apa yang dilakukan Setyo selama itu? Dora ingin menghubungi Setyo, tapi Handphonenya malah sengaja ditinggal.
Dora pun membuka dadanya lebih lebar lagi guna menanti kehadiran Setyo. Satu dua pengunjung mulai pulang. Kini, Dora kian tak enak hati.
"Lebih baik kususul saja Mas Setyo di toilet," gumam Dora.
Dora memundurkan bangkunya untuk segara cabut dari sana. Namun, tiba-tiba saja seorang lelaki asing datang dan langsung mendekap tubuhnya. Dora tercekat. Aroma tubuh pria itu tidak sama dengan Setyo. Pertanda bahwa orang itu tidak dikenalnya.
***
Bersambung