Karin menghentakkan kaki berulang kali di permukaan lantai. 30 menit sudah ia tercegak di halte menunggu kedatangan sang suami. Entah ke mana. Tadi Ronald mengirim pesan, mengabarkan bahwa ia sudah dekat dengan kampus.
Karena lelah, akhirnya Karin mendaratkan bokongnya di sebuah bangku panjang. Tepat 5 meter di sebelah kirinya. Ia meraih ponsel dari tasnya, kemudian mencari kontak Ronald.
Karin
[Mas. Di mana? Aku menunggu Mas di halte sejak tadi,]
[Apakah Mas sudah berada di sini?]
[Sudah mulai gelap, Mas. Aku takut,]
[Mas?]
Hingga pesan ke sekian, tak satu pun ada yang dibalas oleh Ronald.
Karin mulai gelisah. Ia berinisiatif untuk memanggil suaminya via udara. Namun, setelah ia lakukan hasilnya tetap nihil. Ada apa dengan Ronald? Ia sama sekali tak merespon pesan ataupun telepon dari istrinya.
Karin mengusap pelipisnya yang dibanjiri oleh keringat. Sekujur badannya terasa lengket. Karin merasa gerah karena seharian bekerja. Ditambah lagi suaminya yang kelihatannya ingkar janji. Karin kian panas.
Awan hitam mulai menyapa. Keluarga burung dan semut sibuk membawa makanan ke sangkarnya. Siutan angin berembus. Mendebarkan hati Karin. Mengingat hari beranjak magrib.
Tidak ada jawaban dari Ronald. Membuat Karin yakin bahwa suaminya tak akan datang. Daripada kemalaman, akhirnya Karin memutuskan untuk memesan taksi online. Selain was-was karena awan mulai gelap, Karin juga khawatir jika si kembar sibuk menunggu kepulangan dirinya.
***
"Astaga!"
Pukul 19:00 WIB. Ronald terkesiap saat melihat jam tangannya. Sudah malam. Ia bahkan lupa untuk memberi kabar pada Karin. Spontan Ronald merogoh ponsel di dalam saku. Ia mendelik ketika mendapati banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari istrinya.
Mati.
"Kenapa aku bisa sampai lupa dengan Karin?" Ronald menilik Guina yang berada di brankar pasien.
Wanita itu pintar mengambil waktu Ronald. Menyebabkan seseorang terlantar di tempat lain. Ronald merasa bersalah. Seharusnya ia tidak menuruti permintaan Guina untuk menetap bersamanya di ruangan ini.
"Guina. Aku permisi pulang dulu, ya. Administrasi akan kuselesaikan nanti. Aku sampai lupa menjemput Karin,"
"Eh! Tungg- Ck! Sial,"
Ronald tidak mengindahkan perkataan Guina. Ia langsung berlari keluar guna menemui mobilnya di tempat parkir. Sedih. Kata itulah yang menggambarkan keadaan hatinya saat ini. Ronald merasa bahwa ia tidak menjadi suami yang bertanggung jawab. Bagaimana Karin? Di mana dia saat ini?
Sementara itu, Guina kelihatan kesal atas sikap kurang sopan Ronald. Seharusnya dia mendo'akan kesembuhan Guina sebelum benar-benar pergi. Fiuh. Napas Guina berembus kasar. Ia berharap kalau Ronald akan mengunjunginya lagi besok.
Sesampainya di rumah, Ronald mengambil langkah cepat. Ia menemukan si kembar sedang bermain dengan babysitter. Sekilas ia mengusap kepala dua bocah imut nan lucu tersebut. Setelahnya, cepat-cepat Ronald mencari keberadaan Karin.
Cit…
Pintu kamar berderit saat Ronald menarik knocknya dari arah luar.
Dalam balutan selimut, Ronald melihat istrinya sedang merebahkan diri di atas ranjang. Laki-laki itu menghampiri Karin. Lalu mengecup pipinya berkali-kali.
"Sayang. Mas minta maaf. Ponselnya mode silent dan Mas tidak tahu ada pesan darimu," titah Ronald yang tak ingin berbasa-basi lagi.
Karin terhenyak. Agak kaget dengan kehadiran sang suami. Ia bangkit dari tidur. Ditatapnya wajah kusut Ronald. Entah dari mana laki-laki itu.
"Mas ke mana saja?" tanya Karin dengan suara lirih. Ya, sejujurnya dia lumayan kesal.
Ronald tidak pernah lupa akan janjinya. Menjadi tanda tanya besar tersendiri bagi Karin tentang kejadian hari ini. Di mana Ronald membiarkan ia disapu oleh awan gelap seorang diri.
"Mas menabrak temanmu, Guina. Jadi, Mas langsung melarikannya ke rumah sakit,"
"APA?"
Sekujur tubuh Karin keriting. Perasaan dia melihat Guina baik-baik saja sebelum keluar dari kantor jurusan. Huh. Begitulah dengan takdir. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam beberapa menit ke depan.
"Bagaimana bisa?" Karin semakin menusuk mata suaminya.
Setelahnya, Ronald menceritakan bagaimana mobilnya bisa menubruk Guina. Namun, Ronald tidak memberitahu bahwa Guina menahan dirinya sewaktu di rumah sakit tadi. Ia tak ingin merusak mood Karin. Walaupun Guina adalah sahabatnya, tapi tetap saja mereka sesama wanita. Pasti memiliki rasa cemburu.
"Uh. Kasihan sekali Guina. Baiklah, Mas. Aku akan mengunjungi Guina besok." Cerita Ronald menghempas segala kekecewaan yang bersarang di hati Karin. Ia jadi merasa bersalah, karena sempat suuzon dengan Ronald.
***
Karin tak ingin membuang-buang waktu. Seusai jam kerja, gegas ia menemui Guina di rumah sakit. Sebelumnya Ronald sudah mengirimkan alamat.
Karin mendorong pintu tanpa permisi. Ia melihat dari kaca transparan itu bahwa sahabatnya sedang meraih sebuah gelas di nakas.
"Guina," sapa Karin.
Merasa terpanggil, membuat aktivitas Guina terhenti. Ia menoleh ke sumber suara. Sejurus kemudian, alisnya keriting. Kenapa harus Karin yang datang? Ke mana Ronald?
"Wah, Karin. Ayo, masuk!" Guina menyunggingkan senyum tipis.
Tidak ada sesuatu yang fatal. Bahkan, jika Guina mau dia bisa pulang sejak kemarin. Sengaja Guina menunggu Ronald. Ia meyakini bahwa pria itu pasti menjenguknya kembali. Namun, dugaannya salah. Kalau sudah begini, maka tak akan ada kesempatan bagi Guina untuk melihat wajah tampan Ronald lagi. Guina mendadak kesal. Sesungguhnya ia tak pernah mengharapkan kehadiran Karin.
"Ini minumnya," seru Karin. Ia merih gelas yang tadinya hendak diambil oleh Guina. "Eum. Maafkan suamiku Guin. Dia tidak sengaja." Kembali Karin bersuara.
Sebuah ide muncul di benak Guina. Ia terlanjur nyaman dengan sosok Ronald. Ya, meskipun lelaki itu tidak begitu memperhatikannya, karena sibuk memikirkan Karin. Namun, apa salahnya jika Guina mencoba. Tiba-tiba saja pikiran buruk terlintas di kepala.
"Eh, tidak apa-apa. Lagipula, suamimu itu sangat perhatian, ya. Dia menemaniku hingga malam. Ronald sosok yang bertanggung jawab." Satu tembakan berhasil membuat dahi Karin berkedut.
"Perhatian bagaimana maksudnya?"
"Iya. Ronald mengajakku berbicara, dia sangat khawatir saat melihat aku kesakitan. Sebenarnya dia ingin berlama-lama di sini. Hanya saja, dia teringat padamu,"
Nyesss…
Kenapa penuturan Ronald dan Guina berbeda?
Seketika perasaan karin jadi tidak enak. Ia memikirkan perkataan sahabatnya barusan. Entahlah. Seolah ada batu yang bertengger di atas dada Karin.
"Selamat sore,"
Spontan suara khas lelaki menyapa mereka.
Guina dan Karin sama-sama membelokkan kepala. Ibu beranak dua itu menjadi sosok yang paling terkejut. Mau apa makhluk satu itu datang? Apa sebelumnya dia tahu kalau Karin hendak mengunjungi Guina?
"Eh, Pak Setyo. Mari masuk, Pak." Guina sumringah. Tidak sabar menyaksikan adegan antara mantan suami istri tersebut.
"Saya mendengar kau sedang dirawat di rumah sakit. Makanya saya ke sini." Setyo berdiri di sisi brankar. Bersisian dengan Karin.
"Wah, terimakasih. Kalian sangat peduli denganku,"
Karin mendadak kesal. Dia pasti terbang kalau seandainya punya sayap. Agaknya, Setyo pun tidak tahu kalau ada Karin di sini. Mengingat ekspresi kagetnya saat di ambang pintu tadi.
"Karin. Bolehkah aku meminta nomor Ronald? Aku ingin mengucapkan terimakasih padanya. Hanya itu saja." Ucapan Guina menghancurkan lamunan Karin.
"Aku akan menyampaikannya pada suamiku nanti,"
Sekejap Karin menyaksikan bibir Guina cemberut.
***
Bersambung