Karin memasuki kantor jurusan Ilmu Komunikasi. Masih ada beberapa staff yang nangkring di sana meskipun jam kerja telah usai. Karin mengambil botol minum di dalam tasnya, lalu ia arahkan ke keran dispenser. Kebetulan air di kantor khusus dosen sedang habis. Tidak ada tanda-tanda dosen yang membahas tentang peristiwa memalukan kemarin. Mungkin dari mereka tak ada yang tahu atau hanya sekadar pura-pura tidak tahu demi menjaga perasaan Karin. Ya, Karin tidak peduli. Yang terpenting saat ini adalah orang-orang perlahan melupakan kejadian buruk tersebut.
"Eh. Ibu Karin belum pulang?" tanya salah satu staff wanita yang tengah berberes-beres di sana.
Karin menoleh, lalu tersenyum. Kecanggungannya terhadap orang-orang di kantor perlahan hilang. Mengingat wanita itu sudah cukup lama bekerja di sana.
"Sebentar lagi, Bu. Masih menunggu suami jemput. Sekalian saya juga ambil air dulu," ucapan Karin didengar oleh Setyo yang sedang membaca surat kabar. Ah, lebih tepatnya ia hanya berakting agar tidak memandang wajah Karin. Ada Guina di sana. Membuat Setyo agak sungkan.
"Wah. Enak sekali, ya, dijemput suami. Kalau saya sih, selalu pergi pulang sendiri,"
"Ya, barangkali suami Ibu sedang sibuk bekerja,"
"Jelaslah selalu dijemput. Wong Bu Karin ayu banget. Pasti suaminya pengen dekat-dekat terus, kan?"
"Hahaha…"
Terdengar seloroh dari penjuru lain. Karin langsung menoleh dan ternyata sesosok pria cungkring yang berseru. Disambut oleh gelegar tawa dari yang lainnya.
Sementara dari arah berlawanan Guina tampak mencebikkan bibir. Cepat-cepat ia memasukkan peralatan kerjanya ke dalam sebuah box. Entah kenapa nyaris semua penghuni jurusan ilmu komunikasi mengagumi perempuan itu.
"Duluan ya, semuanya," ucap Guina tanpa menoleh ke arah Karin.
Karin menyentak kepala ke belakang. Tumben sekali Guina tidak mengajaknya berbarengan. Namun, Karin tetap berpikir positif. Barang kali Guina memang sedang buru-buru.
Saat Karin hendak pergi, ia malah diajak ngobrol oleh seorang staff wanita yang pertama kali menyapanya. Karin menghela napas panjang. Bukannya tidak ingin bersosialisasi. Namun, Karin sangat khawatir dengan Ronald yang sepertinya sudah sampai di kampus. Kasihan pria itu kalau sampai menunggunya lama. Alhasil, Karin memilih undur diri setelah dirasa obrolannya cukup bersama staff jurusan tersebut.
Di tempat lain, Guina tampak menahan kesal. Permukaan pipinya dihiasi oleh warna kemerahan. Itu bukan blush on atau paparan sinar mentari. Melainkan emosi yang tak dapat ia keluarkan akhirnya menghasilkan rona di wajahnya sendiri. Guina menghentakkan pentofelnya kencang. Membayangkan bahwa yang sedang ia injak adalah paras Karin. Apa karena kecantikan perempuan itu makanya semua orang mengaguminya? Guina bermonolog.
Karena sedang terbawa emosi, Guina jadi tidak hati-hati berjalan. Ia melintasi lapak parkir yang banyak mobil berseliweran di hamparannya. Satu dua mobil mengklakson Guina, tapi tidak ia hiraukan. Hingga dalam detik berikutnya, sebuah BMW menubruk kakinya hingga terjatuh.
Brak!
"Aduuuuuuh!" Guina terpelanting.
Para mahasiswa dan beberapa dosen yang melihat kejadian tersebut langsung berlari. Mereka mengangkat tubuh Guina dan memeriksa bagian mana yang terluka. Sedangkan sang empunya mobil, jelas sangat terkejut. Gegas ia keluar dari dalam sana.
"Loh! Guina?" Ronald masih ingat betul dengan nama dan wajah wanita yang kala itu pernah menemani istrinya di halte kampus.
Melihat siapa yang menabraknya, Guina malah mengencangkan ringisannya. Ia tak melepas tangan dari kakinya yang tersentuh ban mobil. Guina kian menjadi-jadi. Seolah bahwa sisa umurnya hanya beberapa menit lagi.
Ya. Tak lain tak tak bukan sosok yang menabrak Guina adalah Ronald, suami dari sahabatnya sendiri. Guina berjalan tidak melihat sekeliling, sehingga membuat Ronald terlambat menginjak rem mobil lalu menubruknya. Ronald terkejut. Ia mendekati Guina yang kini meneteskan air mata sambil meringis perih.
"Maafkan aku," ucap Ronald kebingungan.
Guina tak menjawab. Ia hanya menatap intens kedua bola mata Ronald. Melihatnya, membuat Guina semakin teringat akan kekasihnya yang sudah lama mati. Orang-orang di sana sibuk menyuruh agar Ronald membawa wanita itu ke rumah sakit. Mereka beranggapan bahwa terjadi luka dalam pada diri Guina. Makanya perempuan itu hanya mampu meneriakkan rasa perih saja.
Ronald sejenak terdiam. Tujuannya ke sini adalah untuk menjemput Karin, istrinya. Bagaimana perempuan itu jika ia melarikan Guina ke rumah sakit? Namun, suara-suara orang yang melihat kejadian itu semakin mengusik telinga Ronald. Alangkah tidak bertanggungjawabnya Ronald kalau sampai mengabaikan Guina. Ya, meskipun memang dara itu yang salah.
"Sudahlah. Ayo, kita ke rumah sakit!"
Seketika Ronald mengangkat tubuh Guina dan meletakkannya di jok belakang. Terpaska Ronald mengesampingkan Karin demi Guina. Nantinya, ia akan memberi kabar pada istrinya itu kalau Ronald sedang mengalami musibah. Karin pasti akan mengerti karena yang ditabrak Ronald adalah sahabatnya sendiri.
Ketika sadar bahwa dirinya sudah berada di dalam mobil Ronald, Guina malah tersenyum lebar. Mudah sekali untuk mengelabui orang-orang termasuk pria yang saat ini berada di dekatnya. Sejujurnya Guina tidak merasakan sakit, karena mobil Ronald berjalan dengan lambat. Hanya ada sedikit memar di betisnya karena tergesek dengan tanah. Sengaja Guina mengambil kesempatan ini demi bisa berdekatan dengan Ronald tanpa ada orang lain. Luar biasa ide Guina.
"Tenanglah. Dokter akan merawatmu dengan baik," ucap Ronald ketika mereka sudah sampai di tempat tujuan.
Guina dibaringkan di brankar pasien. Beberapa suster menggiringnya masuk ke ruangan. Sedangkan Ronald diminta untuk menunggu di luar. Rasa khawatir menggerayangi hati Ronald. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan perempuan itu. Ronald bisa dituntut kalau Guina mengalami luka dalam yang parah.
20 menit menunggu. Akhirnya Ronald melihat dokter keluar dari ruangan tempat Guina dirawat. Buru-buru ia meninggalkan bangku tunggu demi menghampiri sosok berpakaian serba putih itu.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Ronald cepat.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pasien hanya mengalami cidera biasa,"
"Tapi dia tidak berhenti menangis,"
"Mungkin pasien hanya mengalami syok. Sebentar lagi juga akan kembali normal,"
Fiuh…
Barulah Ronald bisa bernapas lega. Dia sempat mengira kalau Guina mengalami patah tulang. Setelah dokter pergi, Ronald langsung menyembulkan diri ke ruangan. Ia mendapati Guina yang sedang menatap langit-langit kamar.
"Guina. Sekali lagi aku minta maaf," ucap Ronald canggung. Baru kali ini ia berduaan dengan perempuan selain istrinya.
Di sana, Guina menyunggingkan senyum tipis. Lagi-lagi ia membuat wajahnya sekusut mungkin. Seolah sedang mengalami traumatis atas kejadian yang baru menimpanya.
"Tidak apa-apa. Aku yang salah, karena jalan tidak hati-hati. Aku juga minta maf, ya," Guina melebarkan simpul bibirnya.
Jedag jedug rasanya jantung Guina. Ketampanan Ronald memang pantas diacungi jempol. Kelembutannya juga menghanyutkan hati para wanita. Sungguh beruntung nasib Karin bisa memiliki suami seperti Ronald.
"Eum. Guina. Tadi dokter bilang keadaanmu tidak terlalu parah. Kalau begitu aku izin menjemput istriku dulu di kampus, ya. Aku akan kembali bersama Karin ke sini lagi," Ronald berdiri di sisi brankar.
Krak!
Entah kenapa, seolah ada lubang baru di hati Guina saat mendengar penuturan lawan bicaranya. Bisa-bisanya Ronald masih mengingat perempuan itu sedangkan dia harus bertanggung jawab atas diri Guina. Apa tidak bisa Karin disuruh naik taski saja?
Tidak. Guina tak dapat menerima tindakan Ronald. Laki-laki itu harus menemaninya di sini. Setidaknya sampai Guina benar-benar merasa puas memandang paras menawannya.
"Jangan tinggalkan aku!" Tanpa izin, Guina menggenggam erat punggung tangan Ronald. Wajahnya dibuat sesedih mungkin. Mengakibatkan Ronald jadi terkejut bukan main.
***
Bersambung