"Alu pegang yang ini, ya,"
Senyum merekah terbit di wajah bocil berpipi gembil itu. Tubuh gempalnya semakin terbentuk saat hanya menggunakan singlet dan celana puntung. Ia menyerahkan sebuah barbie berambut pirang pada anak di sebelahnya. Tak lain dan tak bukan sosok itu adalah Isha. Sengaja ia meminta Aru untuk menemaninya bermain boneka barbie. Padahal, awalnya Aru sedang asyik menjalankan mobil-mobilannya di lantai.
Aru mendengus kesal. Percuma juga kalau ia menolak. Isha pasti akan menangis dan berujung dengan guling-guling di lantai. Ikhlas tak ikhlas dia meninggalkan benda beroda empat itu dan menuruti semua permintaan adik cerewetnya.
"Lumah Alu di cini, ya. Ini lumah Isha," ucap Isha seraya menunjuk rumah mewah milik boneka barbienya. Sedangkan Aru hanya diberi sebuah tempat tidur dan meja makan mainan.
"Tenapa punatu cuma segini? Kita satu lumah aja. Atu pasti kehujanan kalena tidak ada atap," Aru protes. Bisa-bisanya Isha membiarkan barbie Aru terlantar seperti gembel.
"Gak! Alu di situ aja,"
Kembali Isha memanyunkan bibir. Keadaan yang paling Aru benci. Kalau sudah begitu, Isha pasti memberi kode jika dirinya sedang badmood. Huh. Perkara rumah barbie saja jadi berantakan. Padahal, Ishalah yang mengajak Aru bermain dengan dirinya.
"Yaudadeh. Alu di cini aja," ucap Aru mengalah.
Di atas sofa, seorang wanita menatap dua buah hatinya yang sedang selonjoran di lantai dengan kosong. Kenangan peristiwa tadi pagi masih membayang dalam kepala. Karin sungguh malu. Banyak mahasiswa yang menyorotnya risih saat ia mengajar di kelas tadi.
"Mommy. Ayo, main!" Tiba-tiba Isha berteriak. Ia memasang wajah sumringah penuh harap.
"Kalian saja ya, Nak. Mommy sedang lelah. Mommy lihat dari sini saja,"
Kembali Karin menelan lamunannya. Sesekali tangannya memijat pelipis. Nama Setyo bergelantungan di kepala. Karin tahu siapa dalang di balik semua ini. Pasti Dora. Sebab, perempuan itulah yang menemuinya kemarin lalu marah-marah.
Karin bukan tipikal orang yang suka mengajak ribut. Karenanya, ia memilih untuk diam saja. Karin memang baru sekali bertemu dengan Dora, tapi Karin bisa merasakan bahwa perempuan itu memiliki sikap tempramen yang tinggi. Tampak sekali dari dirinya yang suka menuduh orang lain tanpa bukti.
"Mommy, tenapa?"
Putra pertama Karin agak heran melihat sosok yang setiap hari ceria, kini mendadak dingin. Luar biasa. Aru memang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi. Ia ikut merasakan beban yang Karin pikul, meskipun tidak tahu apa penyebabnya.
"Mommy hanya kelelahan, Sayang." Karin menyambut Aru yang kini mendekap kedua lututnya erat.
"Mommy mau Alu pijit?"
"Tidak usah. Besok juga sudah hilang lelahnya,"
Betapa bahagianya Karin memiliki anak seperhatian Aru. Ia membawa putranya itu ke dalam gendongan. Malangnya, sosok lain yang melihat hal tersebut langsung mencebikkan bibir.
"Isha. Cini!" Aru melaungkan tangan. Melihat wajah kusut Isha, Aru paham bahwa adiknya itu sedang menahan api.
Isha datang, tapi tetap dengan raut kecutnya. Karin yang mendapati bahwa Isha sedang cemburu, lantas saja ikut mendekap tubuh mungil Isha. Karin juga bahagia karena memiliki anak yang tak ingin Mommynya dimiliki orang lain seperti Isha.
Cklek…
"Wah. Kalian di sini semua ternyata,"
Tiga kepala yang berada di sana langsung menoleh ke sumber suara. Mereka mendapati Ronald yang baru saja pulang bekerja. Aru membulatkan mata. Berikut dengan Isha yang gegas turun dari pangkuan Mommynya.
"Papi…" Isha berteriak sambil berlari.
Bokong Isha bergoyang-goyang. Persis seperti bebek yang tengah tergopoh-gopoh. Aru tertawa keras menyaksikan tubuh gembul Isha mendekap sepasang kaki Papi mereka.
"Sayang. Kenapa pintunya tidak dikunci? Untung Mas yang masuk. Kalau orang asing, bagaimana?" ucap Ronald. Pria itu memilih duduk di sebelah istrinya.
"Maaf, Mas. Aku lupa," balas Karin menyugar rambut ke belakang.
"Papi. Mommy kelelahan." Putra pertama mereka menilik wajah Ronald. Semua keluarga harus tahu bahwa Mommy mereka sedang letih.
Ronald mendelik. Ia menoleh ke samping kiri, tepat di mana wajah Karin berada. Alisnya tertekuk. Meminta penjelasan dari wanita tersebut.
"Kau sakit, Sayang?" titah Ronald. Telapak tangannya ia tempelkan ke dahi Karin.
"Eum. Tidak, Mas. Aku hanya kelelahan saja,"
Seketika Karin menelan saliva dengan sulit. Terpaksa ia berbohong kepada suaminya sendiri. Ronald tidak boleh tahu jika istrinya sedang memikul banyak beban. Biarlah laki-laki itu mengenal Karin sebagai sosok istri sekaligus ibu ceria dan hebat.
"Kau sudah makan?"
"Sudah, Mas. Sekalian sama anak-anak tadi,"
"Aru dan Isha dijaga sama baby sitter saja, ya. Papi mau mijitin Mommy." Ronald membuang pandangan ke arah si kembar. Dua bocah manis itu mengangguk mantap.
Selanjutnya, Ronald menyerahkan Aru dan Isha kepada penjaga bayi. Ia menggiring istrinya menuju kamar. Huh. Padahal Ronald awalnya ingin minta asupan malam pada Karin. Namun, apalah daya. Tidak mungkin ia memaksakan kehendak di tengah keletihan Karin. Egois sekali dia sebagai suami. Sementara Karin, perempuan itu memohon maaf pada Tuhan karena sudah membohongi suami serta anak-anaknya. Ini semua demi keutuhan keluarga mereka. Bisa berabe kalau Ronald tahu bahwa Karin merupakan mantan istri dari sahabatnya, Setyo.
***
Siang ini Setyo dan Guina sedang berada di sebuah aula mewah pusat kota. Mereka baru saja mengadakan pertemuan antar dosen. Guina memang kerap dibawa oleh sang kepala jurusan tersebut apabila sedang memiliki urusan di luar. Bukannya Setyo sengaja, karena ingin berdua-duaan dengan gadis single. Melainkan ia memang membutuhkan bantuan Guina untuk mencatat segala informasi penting tentang apapun. Ya, namanya juga sekretaris. Tulis menulis memang merupakan pekerjaannya.
Setelah acara selesai, Setyo dan Guina berjalan beriringan menuju mobil. Rencananya mereka akan kembali ke kampus setelah ini. Mengigat jam kerja yang belum usai.
Saat Setyo dan Guina sudah berada di mobil, tiba-tiba Setyo dikejutkan dengan ponselnya yang tidak berada di saku kemeja. Di mana lagi pria itu meletakkannya kalau tidak di saku?
"Oh, astaga. Sepertinya ponselku tertinggal di dalam. Kau tunggulah di sini dulu." Tanpa menunggu respon Guina, Setyo langsung membuka pintu mobil dan ngacir menuju aula.
Bugh!
Guina geleng-geleng kepala. Dasar teledor!
Netra Guina menelisik sekeliling. Dosen-dosen lain sudah pada pulang. Hanya menyisakan beberapa mobil saja di sini. Termasuk mobil milik Setyo. Sekilas perempuan itu melihat kunci yang tergantung di kemudi mobil. Andai saja Guina orang jahat, pasti sudah ia larikan benda dengan harga fantastis seperti ini
"Hei. Apa ini?"
Namun, khayalan belaka Guina terhenti karena ia melihat sebuah benda tergeletak di dalam laci dashboard. Bukan. Ini bukan perkara barang tersebut. Melainkan warna merah muda yang menarik perhatian Guina. Apakah Setyo penyuka warna feminim itu?
Entah sejak kapan laci itu terbuka. Guina tak tahu dan tidak mau tahu. Karena terpesona dengan bentuk indah serta warnanya, ia langsung mengambil buku merah muda itu. Kembang-kembang serta logo hati menjadi pemandangan yang pertama kali ia lihat.
Tap!
"Hah?!"
Dengan netra yang terbuka lebar, Guina dapat melihat dengan jelas halaman pertama dari buku tersebut. Jemarinya seketika bergetar hebat. Seharusnya buku ini memiliki kunci. Namun, sepertinya kuncinya sudah hilang. Membuat Guina sangat mudah untuk melihat seluruh isinya.
"Bagaimana bisa?" ucap Guina saat melihat tiga kata yang terpatri indah di sana.
KARIN LOVE SETYO
***
Bersambung