Apa yang terlintas dalam benakmu tatkala melihat kerumunan orang yang sedang menyaksikan mading sambil menyebut-nyebut namamu?
Pasti kita akan tergopoh-gopoh melenggang ke sana guna menyaksikan keadaan, bukan?
Dan, hal itulah yang saat ini sedang dialami oleh Karin.
Awalnya, perempuan itu mengayunkan sepasang kaki dengan santai. Ia membalas setiap senyuman para mahasiswa yang berpapasan dengan dirinya. Paras ayu Karin dapat menghipnotis semua mata yang memandang.
Jiwa Karin sudah tak terlalu terguncang seperti kemarin. Semalaman ini ia berusaha berdamai dengan diri sendiri. Karin hanya tak ingin merusak hari-harinya dengan pikiran negatif. Bagi Karin, stigma-stigma buruk seperti itu akan membahayakan psikis seseorang.
Saat sedang santai berjalan, tiba-tiba saja Karin dikagetkan oleh para mahasiswa yang berkerumun di mading kantor jurusan. Tidak pernah tempat ini seramai sekarang. Biasanya, hanya satu dua manusia yang melihat papan pengumuman tersebut.
"Katanya sih si dosen baru itu,"
"Orangnya yang bernyanyi saat Communication Science Fair kemarin,"
"Ah! Cantik-cantik kok sukanya ngegoda orang,"
"Ibu Karin pelakunya,"
Deg!
Langkah Karin terhenti. Sayup-sayup ia mendengar banyak mahasiswa yang menyebut namanya. Apakah yang mereka maksud adalah Karin yang lain? Atau, jangan-jangan memang dirinya?
Astaga. Ada apa ini?
Jantung Karin berdetak tak menentu. Karin merasa jiwanya terpanggil untuk membuktikan gonjang-ganjing tentang dirinya saat ini. Ia mempercepat langkah dan berhenti persis di depan sebuah mading yang menampilkan foto-foto seorang wanita.
Deg!
Lagi-lagi Karin terperanjat.
Di papan pengumuman tersebut menampilkan banyak gambar Karin dengan pose indah. Ada foto jarak jauh dan ada pula versi selfi. Tidak. Mereka tidak sedang menggubris gambar itu. Melainkan tujuh huruf yang tergores di atasnya.
PELAKOR
Begitulah sebuah kata yang menjadi pusat perhatian anak-anak jurusan Ilmu Komunikasi.
Kata "pelakor" dibubuhkan di setiap gambar Karin. Menutupi kecantikan wajahnya. Karin tercekat. Semua terasa seperti mimpi.
"Siapa yang sudah melakukan ini?"
Ingin Karin meneriakkan semua itu. Namun, bibirnya seolah digembok dan kuncinya hilang entah ke mana. Karin diam seribu bahasa. Sekujur tubuhnya mematung. Sudah susah payah berusaha melupakan kejadian kemarin, kini ia malah ditimpa dengan peristiwa yang bahkan jauh lebih buruk. Membuat mental Karin kembali terusik.
Di tengah kerumunan mahasiswa itu, ada seorang staff jurusan yang juga ikut nimbrung. Tubuh kecilnya tidak kelihatan, karena terhalau oleh badan kokoh milik anak-anak pria. Ia sama sekali tak menampilkan ekspresi apapun. Tidak tahu apakah harus kaget atau malah senang dengan kejadian mengejutkan ini.
"Eh! Apa-apaan ini?!"
Krak!
Krak!
Krak!
Beberapa detik mematung. Karin kembali dikagetkan oleh kedatangan seseorang dari belakang. Namun, sejurus kemudian ia bersyukur karena sosok tersebut merobek habis seluruh kertas yang bertuliskan "pelakor" di sana. Orang itu bak pahlawan di tengah lemahnya kondisi Karin. Memutuskan tali gosip yang sedang melanda perempuan tersebut.
"Setyo?" Karin bergeming dalam hati. Netranya mengikuti gerakan kilat tangan Setyo yang tengah merobek-robek kertas.
"Siapa yang sudah melakukan ini?!"
Seluruh mahasiswa membisu. Bahkan, satu dua dari mereka ngacir begitu saja. Wajah Setyo memerah. Mengisyaratkan bahwa ia benar-benar marah.
"Karin. Apakah kau baik-baik saja?" Setyo menghadapkan tubuhnya ke arah lawan bicara.
Sementara itu, seorang staff jurusan yang tadinya tersuruk di sela-sela badan mahasiswa, perlahan memberi jarak. Jangan sampai kehadirannya diketahui oleh Setyo dan Karin. Ia tidak mau dianggap konyol, karena hanya menyaksikan gambar Karin terpampang di sana tanpa bertindak. Dan, tidak lain sosok itu adalah Guina. Dia sama sekali belum masuk kantor demi bergabung dengan kerumunan para mahasiswa.
"Keterlaluan! Siapapun orangnya, saya tidak akan segan-segan memberi hukuman yang setimpal." Setyo mengambil sikap tegas.
Ini merupakan kali pertama ada dosen yang dikurangajari di lingkungan kampus. Melihat wajah tegang Karin, membuat sayatan di hati Setyo. Pria itu tahu bahwa Karin sangat syok dan terpukul. Jadi, sebisa mungkin ia membuat pembelaan atas orang yang dizalimi.
"Jangan ada yang mengganggu dosen-dosen saya, kalau tidak ingin terjerat hukum." Setyo terus mengoceh meskipun tak ada yang merespon ucapannya.
Di tempat yang tidak terlalu jauh dari mereka, Guina tampak meremas jemarinya sendiri. Setyo kelihatan begitu peduli dengan Karin. Selain itu, Setyo juga berusaha membela Karin agar namanya tidak jatuh. Guina jadi iri. Tidak pernah ia diperhatikan sedemikian rupa, padahal sudah lama bersanding dengan Setyo sebagai seorang sekretaris jurusan.
Mahasiswa yang mendapati Kepala Jurusannya tengah emosi, lantas saja ngeloyor pergi. Mereka tak dapat berkata apa-apa, karena memang merasa tidak melakukan sesuatu. Lebih tepatnya para mahasiswa itu sekadar ikut nimbrung, menyaksikan gambar-gambar Karin yang penuh dengan label "pelakor".
Bersamaan dengan menghilangnya para mahasiswa dari depan mading, maka Guina juga memutuskan untuk segera masuk ke kantornya. Ia lebih memilih untuk pura-pura tidak tahu. Padahal, tanpa diberitahu pun ia dapat menebak siapa dalang di balik peristiwa ini.
"Pasti si arogan itu pelakunya," Guina berdesis dalam hati.
Sementara itu, Karin baru menunjukkan raut kekecewaannya saat seluruh mahasiswa sudah berlalu dan hanya menyisakan dirinya dan Setyo. Sedih, kesal, malu, semua bercampur jadi satu. Apa maskud gambar-gambar dengan label pelakor itu? Siapa pelakunya? Karin begitu terpukul dengan kejadian pagi ini. Padahal, dia sudah bertekad untuk tetap menjaga kesehatan mentalnya.
"Karin. Kau tidak apa-apa?"
Tak peduli jika ada dosen atau mahasiswa lain yang melihat mereka berduaan di sana. Entah kenapa, melihat Karin bersedih, Setyo jadi ikut sedih juga. Wajahnya tertekuk. Wanita yang sempat menjadi istrinya itu, terlihat sangat hancur.
"Semakin tinggi pohon, maka semakin kencang pula angin yang menerpanya."
Sekilas Karin tersenyum. Setelah itu, buru-buru ia melanjutkan langkah ke kantor khusus dosen. Sakit sekali. Namun, Karin tak boleh terlihat lemah apalagi sampai berbalik arah. Kalau hal itu terjadi, maka semua orang akan mengira kalau Karin memang benar-benar seorang pelakor. Padahal, ia sendiri pun tidak tahu suami perempuan mana yang sudah ia rebut.
***
Di dalam ruangan yang tidak seberapa luas itu, Guina sibuk memainkan laptopnya sambil mendengarkan instrumen musik. Sesekali tangannya mengetuk meja. Menghayati nada-nada indah yang sukses menerobos telinga.
Menjadi sekretaris jurusan bukanlah sesuatu yang mudah. Guina terkadang harus melanjutkan pekerjaannya di rumah. Belum lagi sakit kepala yang sering mendera. Menghadirkan kejenuhan tersendiri bagi Guina.
Sejatinya, tidak ada proses yang mudah. Dan, itulah yang menjadi pegangan hidup Guina. Perempuan itu selalu mengesampingan rasa bosan dan letih. Ia tahu, kalau di luaran sana banyak orang yang menginginkan posisinya. Jadi, Guina tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan Tuhan untuknya.
Guina tersadar dari fokusnya, saat benda pipih di sebelah laptopnya berkedip, lalu bergetar panjang. Gegas ia menoleh. Sejurus kemudian, membuang napas berat. Nama Dora terpampang jelas di sana. Tidak ada keperluan lagi selain membahas perihal suaminya. Ya, Guina tahu betul itu. Dengan malas Guina menggeser tombol hijau di atas layar.
"Pasti Ibu yang sudah menempelkan foto-foto Karin di mading jurusan kami," seru Guina tanpa sapa. Ia tersenyum miring.
***
Bersambung