Lelaki 38 tahun itu memangku Alisha dan Arusha di kedua pahanya. Tampak keceriaan terpancar di wajah si kembar, karena Papanya sudah pulang dari bekerja. Ronald mengusap kepala Alisha. Bahunya ia pinjamkan kepada Karin untuk bersandar. Suasana malam di rumah keluarga kecil itu dipenuhi kebahagiaan.
"Sayang, kau tahu tidak? Mas tadi berjumpa dengan teman lama loh," ucap Ronald tanpa melihat wajah istrinya.
"Oh, ya? Siapa?" Karin merubah posisi duduk. Ia bangkit guna menatap raut sang lawan bicara.
"Teman kecil Mas sewaktu di kampung dulu. Usianya tujuh tahun lebih tua sih, tapi kami selalu berdua ke mana-mana,"
"Wah. Bertemu di mana, Mas?"
Pria yang sudah memiliki dua anak itu kembali mengingat konco lamanya yang sudah menggendut itu. Dia ingat betul jika pria tersebut begitu cungkring lima tahun silam.
"Di café. Kebetulan dia makan di café kita,"
"Memangnya kerja di mana teman Mas itu?" Karin ikut mengusap kepala Alisha yang ditumbuhi oleh rambut lebat. Sedangkan Arusha tampak fokus mengudarakan mobil-mobilannya.
"Mas belum tahu. Kami hanya saling sapa dan membuat perjanjian untuk bertemu malam besok. Mas sedang ada urusan urgent tadi," ucap Ronarld. Menyayangkan perjumpaannya dengan teman lama di waktu yang kurang pas.
"Apa aku boleh ikut? Aku penasaran dengan sosok yang kerap mendampingi suamiku saat kecil dulu." Bola mata Karin berpijar. Berharap permintaannya diindahkan.
"Kami akan bertemu di café kita. Tentu aku membawamu, Sayang. Alisha dan Arusha juga akan ikut,"
Mendengarnya membuat Karin bergelayut manja di lengan Ronald. Ia bolak balik menggesek pipinya di permukaan kemeja hitam lelaki tersebut.
"Papi. Ayo tita main!"
Tiba-tiba saja obrolan sepasang suami istri itu terjeda, tatkala Arusha lompat dari pangkuan Ronarld dan menarik tangan Papinya tersebut. Tidak peduli kalau adiknya masih anteng duduk di sana.
Sebagai seorang ayah, Ronarld tak ingin membuat putranya kecewa. Ia menyerahkan Alisha pada Momy nya dan memberi kesempatan bagi Arusha untuk bermain dengan Papinya. Memang seharusnya begitu. Anak akan merasa diperhatikan jika orang tuanya bersedia meluangkan waktu untuk bersama.
Malam besoknya, keluarga Ronarld sedang bersiap-siap untuk berangkat. Tak lupa Ronarld membantu Karin untuk memakaikan baju Arusha, sementara perempaun itu menguncir rambut Alisha. Mereka tampak begitu kompak. Saling membantu satu sama lain. Setelahnya, si kembar digiring oleh Mamanya untuk memasuki mobil.
"Tita mau te mana?" Alisha kecil berseru keras.
"Ke café Papi, Sayang. Kalian nanti jangan bandel, ya,"
Karin yang sudah tidak pernah duduk di sebelah kemudi karena menjaga kedua buah hatinya di belakang, menjawab pertanyaan Alisha. Bocah satu itu terlihat lucu dengan kuncir kudanya.
"Iya, Mom." Si kembar membalas bersamaan.
Sesampainya di sana, Ronald langsung membuka pintu belakang mobil dan menggendong Arusha. Sedangkan Alisha menjadi bagian Mominya. Para pelayan café menyapa mereka penuh ramah. Satu dua orang ada yang menjawil pipi gembil Alisha dengan geram. Gadis cilik itu memang mampu menghipnotis siapa saja yang melihatnya.
Ronald memilih bangku panjang untuk ia dan keluarganya. Maklum, Si kembar mana bisa duduk di tempat sempit. Bisa terjatuh mereka nanti.
Lima menit berselang. Samar-samar lelaki bertubuh tegap itu terlihat melenggang penuh wibawa. Meskipun sudah berumur, tapi tidak menjadikan wajahnya tergerus tua. Pria itu semakin tampan saja. Terlebih saat ini dagunya dipenuhi oleh janggut-janggut halus. Semakin menambah kesan perkasanya.
Ronald berdiri saat tubuh jenjang itu semakin dekat. Ia mengulurkan tangan sebagai sambutan kepada konconya. Kedua sudut bibirnya tertarik. Temannya tidak ingkar janji dengan pertemuan mereka malam ini.
"Selamat datang, Setyo," Ronald menyapa.
Deg!
Astaga. Kenapa nama itu seolah mengingatkan Karin pada seseorang di masa lalu?
Buru-buru wanita itu mengalihkan pandangannya menatap tamu yang datang, sesaat sebelumnya ia mengajak Alisha berbicara.
Benar saja. Rupanya sosok itu adalah orang yang saat ini berada dalam kepala Karin.
Seketika napasnya terhenti. Karin menatap lekat-lekat wajah pria yang tak pernah ia harapkan kehadirannya. Jadi, orang ini yang disebut Ronald sebagai sahabat kecilnya itu?
Hal yang sama juga terjadi pada Setyo. Ia memindai tatapannya ke arah keluarga Ronald seusai membalas uluran tangan laki-laki tersebut. Jantungnya berirama lebih kencang saat melihat sosok mana yang berada di hadapan. Karin sang mantan istri. Benarkah semua ini?
Sampai Setyo duduk pun, Karin masih bergeming. Matanya tiada berkedip. Ingin sekali rasanya melarikan diri dari tempat itu. Selama menikah dengan Ronald, Karin memang tidak pernah menyebutkan nama mantan suaminya, karena ia sudah mengubur dalam-dalam kenangan bersama si brengsek itu. Karin memejamkan netra. Tak dapat dibayangkan kalau Setyo membocorkan pada Ronald bahwa dirinya adalah mantan suami Karin. Sosok lelaki yang selama ini Karin sembunyikan dari Ronald.
"Wah, Ronald. Apa ini istrimu?" Setyo mencoba menghapus rasa ketidaksangkaannya.
Ronald mengangguk seraya membenahi posisi duduk. Setyo ia beri lapak berhadapan dengan dirinya.
"Aku mengenal istrimu. Dia merupakan dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi,"
Srrr…
Sial! Setyo memang tidak bisa menjaga omongan.
Wajah Karin semakin tegang saja. Dalam hati ia berdo'a, jangan sampai Setyo berkata lebih. Apalagi menyinggung tentang hubungan dirinya dengan Karin.
"Benarkah? Oh, astaga. Kenapa kau tidak bilang, Sayang?" Mata Ronald membulat. Ia menilik istrinya yang mengulum senyum kecut.
"Aku kan tidak tahu kalau sahabat yang kau maksud adalah Bapak Setyo. Beliau merupakan kepala jurusan Ilmu Komunikasi," jawab Karin. Berusaha profesional dengan memberi batasan antara keduanya.
"Hah? Kau sudah menjadi kepala jurusan, Sob?" Ronald kaget. Padahal Setyo selalu membuat ulah dengan mengusik bocah lain hingga menangis kala itu.
Setyo tersenyum lalu mengangguk. Jauh di lubuk hati, Setyo sangat sakit sekaligus terkejut saat mengetahui bahwa Ronald lah yang menjadi suami sambung bagi mantan istrinya itu. Entah kenapa rasanya begitu perih. Rupanya Karin tidak bohong. Dia memang memiliki suami dan dua orang anak.
"Namanya juga masa depan. Siapa yang bisa menebak?" balas Setyo. Matanya menyorot wajah si kembar.
"Ini anak-anakmu?"
"Iya. Namanya Alisha dan Arusha. Mereka kembar," Ronald mengusap puncak kepala kedua anaknya.
Pedih.
Dada Setyo seolah disayat oleh belati ribuan kali. Jika Karin memang ditakdirkan untuk memiliki suami baru, tapi kenapa harus Ronald orangnya? Seketika Setyo membayangkan bagaimana sahabatnya itu tinggal satu atap dengan Karin. Pasti mereka sudah melakukan banyak hal termasuk urusan ranjang. Membuat Setyo semakin sesak.
"Aku sungguh tak menyangka jika kita semua saling berhubungan," titah Ronald yang masih tidak mengira bahwa temannya itu merupakan atasan Karin.
Keduanya mengobrol panjang. Banyak hal yang mereka ceritakan. Terutama perjalanannya dalam mencapi puncak kejayaan. Sudah lima tahun kedua pria itu tidak bertemu. Hal itu membuat pembicaraan mereka tidak berujung.
Sedangkan Karin hanya menyimak penuh was-was. Jangan sampai Setyo mengatakan yang tidak-tidak. Sesekali ia ikut menyahut. Karin juga tidak boleh membuat Ronald curiga dengan sikap dingin yang ia ciptakan secara mendadak. Selebihnya, perempuan itu bermain dengan Si kembar. Menghibur dua bocah itu agar tidak bosan.
"Oh, ya. Apakah kau memiliki istri?" Pertanyaan Ronald membuat Setyo terhenyak. Di sisi lain, Karin ikut menanti jawaban mantan suaminya tersebut. Penasaran bagaimana hubungan percintaannya setelah kandas bersama dirinya.
***
Bersambung