Chereads / HE COMES BACK / Chapter 10 - KAMPUNG HALAMAN

Chapter 10 - KAMPUNG HALAMAN

Setelah enam hari bekerja, akhirnya keluarga Ronald memutuskan untuk berlibur ke desa kala weekend menyambut. Hanya mereka berempat tanpa baby sitter ataupun supir pribadi.

Di dalam mobil, Alisha dan Arusha terus mengoceh tiada henti. Menyambangi rumah opa dan oma merupakan moment yang mereka tunggu sejak lama. Si kembar tengah berandai-andai tentang keseruan yang akan mereka lakukan di sana. Alisha yang tampak paling kegirangan.

"Atu udah bawa gambal tupu-tupu Mommy. Tata Mommy gambaltu lebih tantik dali puna Alu,"

Memang sudah menjadi kebiasaan dua bocah cilik itu menunjukkan gambar kepada opa dan omanya setiap kali liburan ke desa.

"Oh, ya? Mommy kira Isha lupa?" seru Karin sambil menilik unyil berpipi gembil itu.

"Endak,"

"Kalau Aru, Sayang?" Kini pandangan Karin beralih pada anak sulungnya.

"Alu juga udah Mommy,"

"Kalian boleh bermain, tapi jangan lasak, ya. Tidak boleh jauh-jauh dan harus nurut apa kata Papi dan Mommy," ucap Ronald yang konsentrasinya mendadak pecah saat mendengar suara cedal balita-balitanya.

"Iya, Papi," jawab si kembar bersamaan.

Menit demi menit berlalu. Saat ini mereka sedang melintasi kebun teh yang luasnya tak dapat dihitung dengan sekilas mata. Tidak sedikit orang-orang yang turun dari kendaraan guna mengambil gambar di hamparan hijau tersebut. Udara sejuk menerpa rambut para gadis di sana.

Karin membenahi posisi duduknya. Kedua pahanya terasa pegal karena memangku Isha yang tengah tertidur pulas. Anak satu itu kelelahan akibat terlalu banyak mengoceh. Sedangkan Aru sedang menikmati pemandangan dari balik jendela mobil.

45 menit berselang. Akhirnya keluarga Ronald tiba di rumah orang tua Karin. Aru yang mengetahui bahwa mereka sudah sampai, langsung ngeloyor dan berteriak di depan rumah sang opa dan oma. Membuat sepasang suami istri itu mengejarnya dari dalam rumah.

Ronald membantu Karin keluar mobil. Dia memboyong semua barang bawaan mereka, sementara Karin menggendong tubuh Isha.

"Halo, cucu opa. Kalian sudah sampai, ya? Senang sekali rasanya,"

Hap!

Pria bernama Rejo itu menangkap tubuh Aru dan mendekapnya dengan erat. Rejo lupa entah kapan terakhir kali keluarga Ronald mengunjungi mereka. Aru tertawa bahagia. Gegas ia menceritakan apa-apa saja yang ia lihat di sepanjang jalan.

"Mama…" Karin memeluk erat wanita berusia 60 tahun tersebut. Ia tak dapat membendung air mata. Kerinduan terhadap sosok ibu sangatlah menyiksa dirinya.

Selanjutnya, Karin dan Ronald saling mencium punggung tangan sepasang suami istri itu. Mereka kelihatan sangat bahagia dengan kehadiran anak serta cucu-cucunya.

"Wah. Isha sedang tidur, ya? Bawa saja dia masuk ke kamar, Nak." Perempuan bernama Ratih itu menjawil halus pipi gembil Alisha. Raut capek terpancar di wajahnya.

"Iya, Bu," balas Ratih sambil menganggukkan kepala.

Keluarga Ronald lanjut ngobrol bersama Rejo dan Ratih setelah sukses mengamankan Isha. Bocah cilik itu dibaringkan dengan guling yang melingkupi seluruh sisi tubuhnya. Jaga-jaga, karena Isha begitu lasak.

Antara pasangan suami istri tua dan muda itu saling berbagi cerita. Tidak ada habis-habisnya pembahasan mereka, karena saking lamanya tidak bertemu. Untuk ke desa diperlukan waktu selama empat jam. Tidak terlalu lama memang. Namun, terkadang Ronald harus lembur guna mengurus usahanya. Ronald tidak bisa terlalu sering meninggalkan para karyawan. Dia harus senantiasa mengarahkan mereka dalam pekerjaan. Ronald tak bisa percaya begitu saja dengan pekerjanya. Khawatir kalau-kalau mereka membuat kesalahan, sedangkan sang empunya café sedang tidak berada di sana.

Satu jam berlalu. Perut kelurga Ronald sudah penuh dengan camilan yang disuguhkan oleh Ratih. Sedang asyik mengorol, tiba-tiba Isha menyembul dari pintu kamar. Memperlihatkan rambut berantakan serta wajah lusuhnya.

"Oh, ya ampun. Cucu oma sudah bangun," ucap Ratih antusias.

Terseok-seok Isha berjalan. Gadic cilik itu terusik dengan tawa yang dihasilkan para orang dewasa di ruang tengah ini. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memindai tatapannya ke seluruh isi rumah.

"Mommy. Mana gambaltu? Ada di dalam tas Mommy,"

Isha menatap Mommynya. Berharap wanita itu akan segera mencari benda yang dimaksud. Begitupun dengan Aru. Ia langsung sibuk mengobrak-abrik tas Karin. Kebetulan, memang Arulah yang meletakkan gambar miliknya dan Isha ke dalam tas Karin.

"Ini dia," seru Karin setelah berhasil mendapatkan kertas bergambar itu.

Bola mata si kembar membulat kunci. Keduanya buru-buru menarik milik mereka masing-masing. Isha dan Aru berebut menunjukkan hasil polesan tangannya pada opa dan oma. Membuat sepasang suami istri itu terkekeh geli.

"Oma. Lihat! Puna Isha bagus, kan?"

"Alu gambal bus, supaya bisa ajak opa dan oma dalan-dalan,"

Isha dan Aru menyerahkan karya cipta mereka pada Rejo dan Ratih. Opa dan oma mereka memandangi gambar milik cucunya sambil menahan tawa. Ah! Lebih tepatnya mereka geli melihat kupu-kupu Isha yang berwarna hitam polos. Adakah gambar yang lebih hancur daripada ini? Binatang terbang itu tak ubah seperti kalilawar yang kerap memakan rambutan pada malam hari.

"Wah. Semuanya bagus," ucap Rejo mengulum semyum.

"Iya. Bus Aru kelihatan keren dan kupu-kupu Isha cantik sekali." Kini giliran Ratih pula yang menahan tawa.

Ronald dan istrinya juga ikut menutup mulut mereka. Keduanya tahu kalau Ratih dan Rejo sebenarnya ingin tergelak lepas. Hanya saja, mereka tidak mau menyakiti hati cucunya, terlebih Isha. Apapun yang dibuat olehnya haruslah diapresiasi.

***

Byur…

"Hahaha. Enak, Papi. Ayo, lagi!" tawa Aru menggelegar.

Petang telah menyambut. Satu dua warga mulai pulang ke rumah masing-masing. Rejo membawa seluruh keluarganya ke sungai kecil di desa mereka. Sebuah tempat yang begitu dirindukan Ronald saat main ke sana.

Sungai itu memiliki air yang jernih. Saking jernihnya, ikan serta bebatuan yang ada di dalamnya pun ikut terlihat. 500 meter di sisi kanan mereka terdengar tawa bocah-bocah cilik. Pertanda mereka juga ikut merendam diri. Ya, siapa yang tidak tertarik dengan keindahannya. Jangankan anak-anak, bahkan orang dewasa pun tidak sedikit yang kerap mandi di tempat ini.

Aru melompat dari atas batu kecil yang muncul di pusat sungai. Akan selalu ada Papi yang menahan tubuhnya agar tidak terbenam. Ronald memilih lapak yang tak dalam untuk putranya. Percikan air menimpa wajah Aru. Membuat lajang cilik itu semakin kegirangan.

Sementara Rejo, pria lansia itu berada 200 meter dari tempat cucu dan menantunya bermain. Dia tengah sibuk menusuk ikan-ikan dengan bambu runcing yang berseliweran di dalam sungai. Nantinya, ikan itu akan dikumpulkan lalu dimasak. Sudah ada Ratih dan Karin yang menunggu di atas. Mereka tengah menyiapkan tungku dan bumbu panggang.

Karin mengulek cabai hijau. Di sisi kirinya ada Isha yang fokus memandori kerjaan Mommynya. Hati Karin cukup sedih, karena sebentar lagi dia akan meninggalkan papa dan mamanya. Entah kapan bisa berkunjung ke desa ini kembali.

Saat sedang asyik mengulek cabai, tiba-tiba Karin teringat akan sesuatu. Ia mengedarkan pemandangan. Mencari keberadaan suaminya. Setelah tahu bahwa Ronald tengah sibuk bermain dengan Aru, Karin langsung mengutarakan kalimat pada Ratih.

"Ma. Aku kembali bertemu dengan Setyo,"

Deg!

Ratih yang sibuk meniup api, lantas saja langsung menghentikan aktivitas dan berbalik badan. Jantungnya berdenyut laju. Mendengar nama Setyo membuat album itu kembali berputar.

"Bagaimana bisa?" Ratih menyorot netra putrinya penuh serius.

***

Bersambung