"Kenapa kau duduk di belakang? Ayo, di depan saja,"
Di tengah guyuran hujan, sepasang insan itu masih saja berdebat. Setyo menarik tangan Karin serta mendorong tubuhnya agar segera duduk di bangku sebelah kemudi. Sedangkan perempuan itu berusaha untuk mengelak.
"Tidak. Aku di belakang saja,"
Tubuh Setyo dan Karin semakin basah tersiram derasnya hujan. Setyo tahu betul kalau Karin tidak tahan dengan air asam itu. Saking takutnya Karin sakit, Setyo memutuskan untuk menggendong badan Karin dan memasukkannya paksa ke jok depan.
Bugh!
Pintu dibanting oleh Setyo. Setelahnya, ia langsung duduk di sebelah wanita itu.
Karin kaget sekaligus mendengus kesal. Setyo memang belum berubah. Dia mampu melakukan apa saja asal keinginannya terpenuhi. Bagaimana kalau ada orang yang melihat kejadian tadi? Bisa-bisa mereka kepo dan mulai mencari tahu. Dasar Setyo! Otaknya terlalu dangkal.
"Kau selalu saja memaksakan kehendak!" Tubuh Karin bahkan belum benar posisi duduknya. Sedangkan Setyo sudah tancap gas menembus badai.
Setyo melirik ke samping lalu tersenyum miring. Dia yakin kalau mantan istrinya itu benar-benar jengkel.
Kaca mobil disiram oleh air dari kaki langit tanpa jeda. Banyak pengendara yang berteduh terutama pengemudi motor. Jalanan semakin berkabut dan gelap. Membuat Setyo memicingkan matanya guna menyorot aspal berair tersebut.
Mungkin rasa itu belum sepenuhnya hilang. Hari di mana Setyo membuang Karin, pada waktu itu perasaan Karin masih membuncah hebat. Di mana ia berharap bisa membangun rumah tangga yang harmonis bersama pria itu. Hanya satu yang membuat Karin tak ingin berdekatan dengan Setyo lagi. Dia takut kalau rasa yang sempat terpaska layu, bisa-bisa merekah kembali. Karin benci saat-saat seperti ini. Dia jadi ingat kalau antara dirinya dan Setyo sering menembus hujan bersamaan. Ya, walaupun keesokan harinya Karin akan jatuh sakit.
Tuhan. Lindungilah hatiku. Karin membatin.
"Jalanan terlalu gelap. Aku tidak bisa melihat. Bagaimana kalau tidak berteduh dulu?" Lamunan Karin pecah saat suara Setyo terdengar dari sisi kanan.
"Kau mencari alasan supaya bisa lebih lama berduaan denganku, kan?"
"Astaga. Bisa-bisanya kau berpikiran seperti itu, Karin. Lihatlah! Banyak pengemudi yang memarkirkan mobil mereka. Kita bisa terpeleset dan masuk ke jurang kalau nekat,"
Kalimat terakhir Setyo membuat bulu kuduk Karin menjingkrak. Ada benarnya juga. Karin menyipitkan mata. Menyorot tajam aspal yang kini tak terlihat karena terbungkus oleh banjir. 600 meter di depan sana memang daerah rawan kecelakaan, mengingat lokasinya yang dikelilingi oleh kayu-kayu besar, lembah serta jalanan yang berkelok. Karin menggelengkan kepala. Apa jadinya jika peristiwa buruk menimpa? Karin tidak siap untuk membiarkan Ronald mengasuh Alisha dan Arusha seorang diri.
"Baiklah. Kita menepi saja dulu." Akhirnya Karin setuju.
Setyo memberhentikan mobilnya di perkarangaan sebuah restoran mewah. Tidak terlalu ramai karena cuaca sedang tak mendukung. Biasanya tempat ini selalu menjadi lapak makan terfavorit khusus keluarga.
"Ayo, kita turun dulu. Kau pasti lapar, kan?"
Sejak pertemuannya dengan Karin, benih-benih itu perlahan tumbuh kembali. Hingga Setyo tahu bahwa perempuan itu sudah berkeluarga pun, tidak menjadikan cintanya luruh. Malahan dia semakin takut kehilangan. Biarlah Karin hidup dengan lelaki lain asalkan mereka tetap bisa bertemu setiap hari.
"Hah. Apa kau sudah gila?! Bagaimana kalau ada orang yang mengenal kita? Aku bisa dituduh berselingkuh dengan mantan suami sendiri,"
Kurang ajar si Setyo! Tidak habis-habis akalnya untuk berdekatan dengan Karin.
Laki-laki itu menghela napas berat. Banyak sekali perubahan yang sudah terjadi dengan Karin. Dulu, perempuan itu mana bisa menolak keinginan Setyo untuk berduaan, karena Karin juga menyukai hal itu. Lihatlah sekarang! Karin sangat menjunjung tinggi keberadaannya sebagai seorang istri dari pria lain. Membuat lubang di hati Setyo semakin ternganga.
"Baiklah kalau kau tidak mau. Aku akan menemanimu di sini," Setyo memutuskan untuk tetap berada di dalam mobil.
Keduanya saling berbalas diam. Setyo menatap sebuah keluarga yang kelihatan dari balik kaca mobil. Mereka tampak bahagia bisa menikmati hidangan hangat di tengah sejuknya hujan. Berbeda dengan dirinya yang dihadiahi oleh dinginnya sikap Karin saat kaki langit menumpahkan air.
Sementara itu, Karin tampak melihat pepohonan cilik yang batangnya bergoyang-goyang tertiup angin. Di mana suaminya? Sepertinya pria itu sedang sibuk mengurus café sampai tidak memerhatikan ponselnya. Karin juga terngiang-ngiang dengan si kembar. Kasihan mereka. Pasti sudah menanti Mommynya pulang sambil melongo di balik jendela.
"Karin,"
Deg!
Karin menoleh ke samping saat merasa namanya terpanggil. Ia mendapati Setyo menatap intens kedua bola matanya.
"Ada apa?" Karin membalas.
Setyo terdiam selama beberapa detik. Tidak menutup kemungkinan bahwa ia sedang gugup saat ini. Kenapa berat sekali rasanya untuk berbicara? Padahal dulu antara mereka berdua saling berbagi tawa.
"Maafkan aku, ya. Andai saja aku tidak mengikuti hawa nafsu, pasti saat ini kau masih bersamaku. Atau, bahkan kita sudah memiliki anak yang lebih besar dari Alisha dan Arusha," suara Setyo terdengar lebih halus.
Karin membisu. Napasnya memburu laju. Ya, andai saja Setyo tidak sebodoh kala itu, pasti keduanya tidak akan asing seperti sekarang. Ada banyak kejadian yang tak disangka dalam hidup. Salah satunya adalah berpisah dengan sosok yang begitu kita cintai.
"Sudahlah! Kau jangan membahas masa lalu. Semua itu tidaklah penting. Kita sudah sama-sama memiliki keluarga, bukan?"
Karin ingat betul ketika Setyo mengatakan kalau dia memiliki seorang istri yang dinikahi empat tahun lalu. Setyo memberitahu pada Ronald saat pertemuan mereka di café malam itu. Kebetulan Karin ada di sana. Telinganya menangkap perkataan Setyo.
"Dengar, Karin! Jangan kau kira rasa ini akan hilang meskipun aku sudah beristri. Selama ini aku hanya menguburnya dalam-dalam. Suatu saat pasti akan terbongkar juga. Dan, sepertinya perasaan itu sudah kembali saat kau hadir di sisiku. Alam memang baik. Dia sangat mengerti dengan perasaanku yang masih menginginkanmu,"
Byur…
Hati Karin seolah dihujani oleh larva panas.
Rona kemerahan timbul di wajah wanita itu. Kepalanya mendadak berdenyut. Karin mengalihkan pandangan ke arah depan. Tidak sanggup rasanya melihat paras sendu Setyo. Terlepas dari benar atau tidaknya, Karin tahu kalau laki-laki itu memang menyesal karena sudah salah mengambil keputusan.
Setyo menatap jari-jari tangan Karin yang halus nan indah itu. Perlahan ia meraih benda beruas lima tersebut, lalu merengkuhnya perlahan. Kehangatan sontak menjalar di tubuh Karin. Sejenak ia terbius dalam keindahan. Setelahnya, buru-buru Karin menangkis tangan Setyo.
"Jangan sikapmu wahai Pak doktor!"
Plak!
Karin mengeplak punggung tangan Setyo.
Memang sulit meyakinkan seseorang yang pernah kita patahkan hatinya. Rata-rata manusia akan kecewa dan trauma setelah mengalami yang namanya dibuang. Termasuk Karin. Selain karena sudah memiliki keluarga baru, dia juga tidak sudi menjalin kasih dengan seseorang yang pernah menabur luka di jiwanya.
"Maaf. Aku terbawa suasana," ucap Setyo menarik kembali tangannya.
***
Bersambung