"Rendang sapi buatan kamu kok hambar sekali, ya? Kurang garam!"
Deg!
Kabar kepulangan Aru telah didengar oleh orang tua Ronald. Keduanya gegas menyambangi rumah putra mereka guna memastikan keadaan sang cucu. Untungnya, antara rumah Ronald dan orang tuanya tidaklah jauh. Membuat mereka lebih mudah menempuh perjalanan.
Seberes bermain dengan Aru, Karin mengajak mertuanya untuk makan malam. Rendang sapi serta soto babat menjadi menu dinner keluarga mereka. Namun, bukannya dihargai atas jerih payahnya memasak, Karin malah dihadiahi oleh sebuah hinaan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Andin. Mertua perempuannya itu memang terlampau cerewet. Tak hanya kepada Karin, bahkan terhadap suami dan anaknya sendiri pun ia kerap marah-marah tidak jelas.
"Eh! Jangan begitu. Masakan Karin sangatlah enak menurutku," ucap Astra. Pria berusia 66 tahun yang berstatus sebagai suami Andin.
Tuhan… beri Karin kesabaran dalam menghadapi Andin si mulut ember.
Karin tersenyum miris. Seharusnya Andin bersyukur, karena sudah diperlakukan hangat di rumah keluarga Ronald. Andai saja Karin itu orangnya pendendam, pasti dia sudah mencekoki Andin dengan sianida. Biar saja nenek tua itu menjemput maut, agar tak ada lagi yang menyakiti perasaannya.
"Makanan ini enak, Ma. Tidak hambar apalagi kurang garam." Kini, giliran Ronald pula yang membela.
Meja makan itu hanya diisi oleh dua pasang suami istri. Aru dan Isha sudah makan disuapi Mamanya tadi. Sekarang, mereka tengah sibuk bermain dengan baby sitter. Melepas rindu setelah tiga hari tak bertemu.
"Ah! Laki-laki tahu apa?! Ini sangatlah hambar. Sebaiknya kau belajar memasak lagi, Karin. Banyak kok private masak di mana-mana." Bibir Andin jungkit ke atas.
Konyolnya, nasi di piring Andin ludes tanpa sisa. Padahal ia mengatakan kalau makanan itu tidak enak. Karin menyunggingkan senyum masam melihat tingkah konyol mertuanya yang satu itu. Ga enak kok malah habis. Dasar, Andin!
Karin membereskan piring-piring kotor yang berada di atas meja seusai acara dinner selesai. Ronald dan Astra bergulir ke ruang tengah. Melanjutkan obrolan sambil sesekali mengacau Isha dan Aru. Sedangkan Andin tampak mengikuti langkah menantunya ke buntut rumah. Tidak. Dia tidak sedang meringankan pekerjaan Karin. Melainkan, nenek satu itu menunggu Karin di wastafle. Dia berniat untuk memandori menantunya cuci piring.
"Mama tidak ikut gabung dengan Papa dan Mas Ronald?" tanya Karin yang melihat Andin melipat tangan di atas dada. Matanya menyorot tajam kegiatan Karin.
"Kenapa? Kau tidak suka diperhatikan?!"
"Eum. Bukan begitu, Ma. Maaf jika Mama tersinggung,"
Karin yang berstatus sebagai istri dari putra Andin, mengelus dada. Perempuan itu memang tak dapat dilawan.
Setelahnya, Karin mulai menggosok satu per satu piring kotor di wastafle. Menuangkan sabun yang harumnya menembus indera penciuman. Karin bekerja dengan lihai. Kecepatan tangannya menggosok noda, patut diacungi jempol. Dalam sekejap, piring-piring kotor itu sudah mengkilap.
Sayup-sayup terdengar teriakan Isha dan Aru. Dua bocah itu sedang mengejar satu sama lain. Isha tampak paling semangat. Kakinya berlari kencang.
"Isha, jangan lari-lari. Habiskan dulu makanannya." Suara baby sitter menembus hingga ke dapur.
Isha tak peduli. Gadis berpipi gembil itu memegang pisang yang terkupas di tangan kanannya. Sambil berlari, Isha juga mengulum benda berwarna kuning itu.
"Ayo, Alu! Kejal atu," Isha berteriak. Sejurus kemudian, ia mencampakkan buah yang tadi tergenggam di tangan.
"Apa ini, Karin? Kau meninggalkan noda di gelas,"
Karin menoleh ke samping saat merasa pekerjaannya kembali dikomentari. Matanya menyipit. Menilik noda mana yang masih melekat di gelas sesuai kata Andin.
"Tidak ada, Ma. Sudah bersih kok," balas Karin, sesaat setelah tidak menemukan apapun di sana.
"Tidak ada bagaimana? Ini coba kau lihat!"
Andin menyodorkan gelas tersebut persis di depan netra menantunya. Membuat wanita itu memundurkan langkah. Kembali Karin meraih gelasnya, tapi lagi-lagi ia tidak menemukan noda.
"Baiklah, Ma. Akan kugosok ulang."
Pada akhirnya Karin menyerah. Daripada Andin semakin menjadi-jadi, lebih baik ia mengikuti kemauan nenek tua itu.
"Dengar ya, Andin! Jadi perempuan itu harus bersih. Kau tidak boleh meinggalkan noda barang sedikit pun di rumah ini. Nanti kalau anak-anak atau saumimu infeksi debu, bagaimana?"
"Iya, Ma. Maaf, ya. Aku tak akan mengulanginya lagi,"
"Jangan maaf maaf saja! Kau harus mendengar perkataan Mama,"
Fyuh…
Embusan napas Karin berat. Ia tak bisa berkata-kata selain meminta maaf pada Andin. Padahal, Karin juga tidak tahu entah apa salahnya. Dari ucapannya, Andin sok merasa jadi manusia paling sempurna sedunia. Kerap sekali ia mengomentari orang lain tanpa berkaca terlebih dahulu.
Karin nyaris selesai. Tinggal menyusun piring-piring tersebut di dalam rak, maka rampunglah tugasnya. Melihat hal itu, Andin tersenyum puas. Ia merasa telah mendidik menantunya untuk menjadi sosok pembersih tingkat dewa. Sudah tidak ada keperluan di dapur. Karenanya, Andin memutuskan untuk pergi dari sana.
Malangnya, sebelah kaki Andin menginjak kulit pisang yang tadi dicampakkan oleh Isha begitu saja. Membuat tubuh wanita itu kehilangan kendali, lalu terjungkal di lantai. Sontak Andin menjerit kesakitan. Punggungnya seolah patah seribu.
"Aduuuuuh! Argh!" Andin memekik.
Banyak telinga yang menangkap laungan suara Andin. Membuat mereka gegas mencari sosok perempuan itu. Ronald dan Astra menghentikan obrolannya. Karin berlari, meninggalkan pekerjaannya yang hampir selesai. Sedangkan si kembar, keduanya juga ngeloyor mencari sumber suara ditemani oleh baby sitter mereka.
"Ada apa?" ucap satu keluarga itu bersamaan.
Bokong Andin mendarat di lantai, sedang kedua kakinya tertekuk ke belakang. Tangannya mengelus punggung. Ekspresi kesakitan terpancar di wajahnya yang perlahan keriput.
"Aku terpeleset. Siapa yang sudah meletakkan kulit pisang di sini?" Andin berang.
"Ah. Itu Isha yang membawanya tadi," ucap Astra memberitahu.
Laki-laki itu membantu istrinya untuk bangkit. Begitupun Ronald yang ikut memapah tubuh Andin. Andin tak bisa marah saat tahu bahwa cucunyalah penyebab ia terjungkal. Tak ada yang bisa dilakukan Andin selain meringis perih.
Di sisi lain, Karin tampak mengulum senyum. Entah kenapa, melihat Andin terpeleset setelah habis-habisan mengkritiknya, membuat kupu-kupu di perut Karin berterbangan. Mungkin ini balasan bagi orang yang suka berbicara asal tanpa perkiraan. Karin menilik wajah Isha yang sama sekali tidak menampilkan ekspresi apapun. Isha tak merasa bersalah. Bahkan, sekarang ia kembali menarik lengan baby sitter dan mengajak Aru melanjutkan permainan.
"Good job anak Mama," desis Karin dalam hati.
"Sudahlah. Ayo, kita pulang saja." Andin menangkis tangan Astra yang sedang memijat punggungnya.
Mimik kesal jelas terpancar di wajah. Agaknya, ingin sekali Andin membentak Isha, tapi tidak tega karena anak itu masih kecil. Kalau saja pelakunya orang dewasa, pasti Andin sudah mengeluarkan jurus singa hutannya.
Astra menggedong tubuh istrinya ala bridal style. Mereka menuju mobil. Meskipun Andin sangat cerewet, tapi tidak menjadikan Astra hilang respect. Lelaki itu tetap bertanggung jawab atas istrinya.
"Ingat ya, Karin! Jangan sampai anakmu sakit dan jangan ada debu yang menempel di rumah ini lagi," titah Andin sebelum ia benar-benar masuk ke mobil.
Dasar, si reyot! Sedang sakit pun, bisa-bisanya berucap pedas.
***
Bersambung