Perempuan berbibir merah menyala itu perlahan mendekat. Dengan kipas yang selalu bersemayam di tangannya, ia berlagak sebagai manusia paling cantik di seantero dunia.
Sebut saja namanya Andin. Ibu kandung dari Ronald yang kala ini menginjak usia 65 tahun. Eits! Jangan salah. Umurnya memang sudah lanjut, tapi gayanya melebihi emak-emak pada umumnya. Terlebih kalau sudah berpakaian. Nenek satu itu pintar sekali mencombain warna.
"Mama?" Karin terkejut. Seharusnya Andin ketok pintu terlebih dahulu. Atau, hanya sekadar memberi salam agar Karin tahu bahwa ada orang lain yang ingin masuk.
Andin menjatuhkan mata tepat di paras Aru. Sejurus kemudian, dia menempelkan tangannya di dahi cucunya tersebut. Wajahnya kecut. Ia memindahkan tatapan pada Karin.
Sebelumnya Ronald sudah memberitahu pada kedua orang tuanya, kalau Aru dirawat karena demam sekaligus masuk angin. Agaknya, mertua Karin itu tidak suka saat melihat cucunya terbaring lemah.
"Kau ini tidak bisa menjaga anak atau bagaimana, sih?!"
Baru saja dibilang. Sekarang, sudah mendumel lagi dia. Sejak dulu Andin memang terkenal cerewet dan keras kepala. Dia sanggup memarahi siapa saja termasuk suaminya sendiri. Tak jarang Andin bertekak dengan Ronald saat mereka bertemu. Karin mafhum. Begitulah risiko punya mertua. Kita tidak pernah tahu bagaimana watak dan karakternya sebelum benar-benar menikah dengan anaknya. Hingga sampai saat ini pun, Karin berusaha untuk menerima mertuanya dengan lapang dada. Tak pernah barang sedikit pun ia melawan. Karin mencoba menganggap Andin sebagai ibu kandungnya sendiri.
"Bukan begitu, Ma. Kemarin Aru dibawa Ronald mand-"
"Halah! Jangan alasan. Bisa-bisanya anakmu jatuh sakit setelah pulang dari desa,"
Belum sempat Karin menjelaskan penyebabnya, tapi Andin sudah mengomel duluan. Nenek satu itu tidak peduli. Dia kecewa dan menganggap Karin tak lihai dalam menjaga cucunya.
"Iya, Ma. Dengar dulu penjelasakanku. Semalam Ronald mem-"
"Tidak usah ke desa kalau memang tak bisa menjaga anak!" Lagi-lagi Andin menyela di saat orang lain belum selesai berbicara.
Karin menarik napas dalam. Ingin sekali rasanya berteriak kencang di hadapan Andin sambil mengatakan kalau Ronald lah yang sebenarnya mengajak Aru mandi di sungai, sehingga menyebabkan anak itu jatuh sakit.
"Ingat ya, Karin! Jadi Ibu itu harus becus. Jangan sembarang menjaga anak. Untung Aru masih hidup. Kalau mati, bagaimana?"
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang mengintai dari penjuru lain.
"Ya ampun, Ma. Jangan berbicara seperti itu." Mata indah Karin berkaca-kaca. Tidak bisakah Andin menjaga omongannya?
"Mama bukan mengingingkan yang tidak-tidak, tapi sebagai Ibu kau harus pintar menjaga anak. Jangan karena keasikan ngobrol dengan Ratih kau lalaikan Aru,"
"Aru sakit karena kubawa berendam di sungai, Ma." Percakapan Andin dan Karin mendadak terhenti saat seseorang menyela keduanya.
Itu adalah Ronald. Dia baru saja kembali dari rumah dan tidak sengaja mendengar percakapan Mama dan istrinya ketika baru membuka pintu.
Pria yang hanya mengenakan kaos oblong dan jeans itu menghampiri Andin. Tak seharusnya Mamanya bersikap demikian terhadap menantunya sendiri. Karin pasti sakit hati. Terlebih memang bukan dia pelakunya.
Mendengar perkataan Ronald sontak membuat mulut Andin bungkam. Ia melirik paras Karin dari ekor mata. Agak malu karena ternyata tuduhannya tidak benar.
"Akulah yang sudah menyebabkan Aru sakit, Ma. Bukan Karin. Mama jangan berkata yang tidak-tidak, apalagi menuduh Karin sebagai Ibu yang tidak becus,"
Bibir merah Ronald semakin membuat Andin merasa terpojok. Wanita itu mendumel dalam hati. Ingin melawan, tapi sudah terlanjur malu. Alhasil, Andin ngeloyor pergi saat sudah tahu tak dapat melakukan apa-apa. Sekilas ia menilik raut pucat Aru yang tengah tertidur pulas. Tidak ada basa-basi. Andin langsung keluar kamar tanpa permisi.
"Maafkan Mama ya, Sayang," ucap Ronal lalu mengecup singkat puncak kepala istrinya. Karin hanya mengangguk samar. Jauh di lubuk hati, sesungguhnya wanita itu merasa sakit.
Menjelang magrib, Karin kembali dikagetkan dengan kemunculan orang lain di ruangan putranya. Bahkan kali ini ritme jantungnya jauh lebih kencang daripada yang tadi. Karin tak bisa berkata apa-apa. Sontak ia menghentikan aktivitasnya yang sedang menyuapi Aru beberapa potongan buah. Matanya memancarkan ketidaksangkaan. Bersamaan dengan itu, sosok yang hadir di kamarnya meminta izin untuk masuk.
"Bolehkah kami masuk?"
Tak lain dan tak bukan orang itu adalah Setyo. Pria itu hadir didampingi oleh Guina. Dada Karin mendadak cenat-cenut. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Setyo menjenguk Aru yang sedang sakit.
"Wah, Setyo. Masuk,"
Ronald yang tadinya sedang fokus menyusun pakaian Aru dan mengemasnya dalam tas, seketika bangkit. Ia menjabat tangan Setyo dan Guina. Tampak raut bahagia karena rekan kerja istrinya sangatlah perhatian. Mereka menyempatkan waktu untuk melihat kondisi Aru.
"Guina. Kenapa tidak bilang dulu?" Karin tersenyum masam.
"Pak Setyo yang punya ide. Aku hanya mengikut," balas Guina mesem-mesem.
Tadinya Karin memang izin pada Guina, agar perempuan itu menyampaikan permohonan maaf Karin karena tidak dapat masuk hari ini kepada Setyo. Namun, siapa sangka jika Setyo akan mengambil langkah lain. Entah apa yang melatarbelakangi Setyo menjenguk Aru. Padahal, Karin berharap kalau pertemuannya dengan Setyo hanyalah sebatas di kampus saja. Sial!
"Ibu Karin tidak keberatan kalau kami datang tanpa izin, kan?"
Setyo tersenyum miring. Tanpa diberitahu pun, pria itu mafhum jika saat ini Karin tengah memendam emosi. Dia pasti tidak suka dengan kehadiran dirinya di sini.
"E- eum. Tidak masalah," balas Karin mengulum senyum masam.
"Oh, ya. Bagaimana keadaan Aru?" Setyo berdiri persis di sisi brankar.
"Panasnya belum turun. Hanya saja, anak ini sudah tidak mual-mual lagi,"
Tanpa mereka sadari, sejak tadi Guina memerhatikan Ronald penuh keseriusan. Guina mengernyit. Di awal, Ronald menyapa Setyo dengan menyebut namanya. Kenapa Ronald bisa tahu? Apakah mereka sudah saling kenal sebelumnya? Guina jadi penasaran dengan hubungan tiga orang dewasa di hadapannya itu.
Ronald mempersilahkan Setyo dan Guina untuk duduk di sofa yang tersedia di ruang pasien. Ronald juga memberikan beberapa buah dan air mineral sebagai jamuan tamunya. Maklumlah, di rumah sakit tidak ada apa-apa. Ronald akan menghabiskan banyak waktu kalau membelinya lagi di luar.
Guina lebih memilih untuk duduk berdampingan dengan Karin di sisi brankar. Perempuan itu bertanya kenapa Aru bisa sampai sakit lalu diopname. Sambil mendengarkan Karin bercerita, sesekali Guina melirik Ronald dari ekor mata. Entahlah. Guina jadi ketagihan memandang wajah pria yang mirip sekali dengan alm mantan kekasihnya sewaktu SMA dulu.
"Oh, ya. Apakah suamimu mengenal Pak Setyo sebelumnya? Kenapa mereka terlihat akrab sekali?" Guina mulai mengorek informasi.
Mata Karin jadi tertuju pada pria yang pernah mengusirnya kala itu. Guina pasti tidak menyangka kalau sebenarnya Setyo adalah mantan suami Karin.
"Iya. Mereka sudah berteman sejak kecil,"
Jawaban Karin membuat netra Guina sedikit terbelalak. Dunia terlalu sempit rupanya. Pasti Dora akan lebih tertarik kalau diberitahu bahwa suami Karin adalah teman kecil suaminya sendiri. Guina yakin kalau Dora tidak tahu menahu soal ini. Tampak sekali dari caranya yang bertanya, apakah Karin sudah menikah atau belum waktu itu.
"Ngomong-ngomong suamimu itu punya kembaran, ya?"
Merupakan sebuah pertanyaan yang mengundang lipatan di dahi Karin.
***
Bersambung