Chereads / HE COMES BACK / Chapter 11 - MENDADAK SAKIT

Chapter 11 - MENDADAK SAKIT

Karin menceritakan bagaimana awal mula ia dapat bertemu dengan mantan suaminya itu. Ratih mendengarkan dengan hikmat. Apakah ini bagian dari ujian rumah tangga? Ratih paham betul betapa Karin sangat mencintai Setyo kala itu. Jangan sampai perasaannya timbul kembali, karena Karin sudah memiliki keluarga baru.

"Yah. Mau bagaimana lagi, Nak? Sangat lemah jika kau berhenti dari pekerjaan hanya karena tak ingin melihat Setyo. Mama berpesan agar kau selalu menjaga perasaan Ronald. Dia adalah laki-laki yang tak pernah menyakitimu setelah Papa," ucap Ratih penuh penegasan.

Tuhan… berilah Karin kekuatan. Bantu dia untuk menjaga hati. Katakan pada Karin bahwa Setyo hanya puingan masa lalunya.

"Iya, Ma. Aku juga tak akan mungkin mengkhianati Mas Ronald. Lagipula, sudah ada si kembar sebagai penyempurna keluarga kami," Karin tersenyum manis.

Sebisa mungkin Karin menahan agar hatinya tak lagi jatuh. Karin tidak akan pernah membongkar perasaan yang telah lama ia kubur. Sudah cukup kebersamannya dengan Setyo.

Obrolan Karin dan Mamanya terhenti saat melihat Ronald dan Aru sudah naik ke atas. Bibir keduanya tampak membiru. Air sungai itu dinginnya menusuk tulang. Tak lama kemudian, Rejo ikut nimbrung dengan membawa hasil tangkapannya. Isha terlonjak kaget. Tidak biasa ia melihat ikan selebar telapak tangan orang dewasa. Karena selama ini yang gadis cilik itu lihat hanyalah ikan-ikan kecil di dalam akuarium.

"Wow. Betal cekali," Isha mendelik.

"Atu mau itannya. Ayo, Mommy. Cepat masak!" seru Aru kegirangan.

Berhubung api dan bumbu sudah siap, Ratih gegas melumuri hewan bersirip itu dengan cabai hijau yang telah diulek oleh putrinya. Setelahnya, Ronald mengambil alih memanggang ikan tersebut. Aroma sedap menusuk hidung.

Setelah semua beres dan terhidang, Aru dan Isha adalah orang pertama yang mencomot ikan tersebut. Mereka makan dibantu oleh papa dan mamanya agar tidak kelolotan tulang ikan. Disusul oleh Rejo dan Ratih yang juga ikut melahap sajian di tepi sungai tersebut. Semuanya fokus makan tanpa banyak bicara.

***

"Kami pulang dulu ya, Ma, Pa. Baik-baik, ya,"

Secara bergantian Karin dan Ronald mencium punggung tangan orang tua mereka. Diikuti dengan Aru dan Isha yang memeluk kaki opa oma mereka.

"Kalian semua hati-hati, ya," Rejo melambaikan tangannya.

Pertemuan sudah usai. Kini, saatnya bagi keluarga Ronald untuk kembali ke Kota. Semua barang sudah dikemas dan dimasukkan ke bagasi mobil. Karin memboyong Isha sedangkan Aru digendong oleh Ronald. Sejak tadi lajang cilik itu tiada berhenti sendawa. Entah karena kebanyakan makan atau karena terlalu lama berendam di air.

Tin tin…

Klakson mobil tanda perpisahan telah terdengar. Kedua orang tua Karin menyapu lelehan air mata yang membasahi pipi. Tidak ada yang bisa menjamin usia seseorang. Semoga saja mereka masih diberi kesehatan serta umur panjang agar dapat berkumpul dengan anak serta cucunya.

Di perjalanan, Isha tiada henti-hentinya mengoceh. Berbagi kebahagiaan dengan keluarga kecilnya. Isha mengatakan gambar kupu-kupunyalah yang paling disenangi oleh opa dan oma. Padahal, kedua orang tua tersebut sama sekali tak ada membandingkan hasil coretan tangan si kembar. Dasar Isha tukang ngarang!

Sementara itu, Aru tampak diam sambil bergelayut di tangan Mommynya. Entah kenapa anak itu mendadak dingin. Mungkin Aru sedih karena meninggalkan Rejo dan Ratih. Ia tahu untuk ke sana tidaklah mudah. Harus benar-benar menunggu kedua orang tuanya terbebas dari dunia kerja.

Mobil tiba di Kota setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam. Purnama berpijar dengan indahnya. Karin memandang keramaian Kota dari balik jendela mobil. Di luar sana, masih banyak bocah-bocah cilik yang berseliweran sambil memegang kepala badut. Miris. Karin ikut sedih melihatnya.

Namun, tiba-tiba saja Karin merasa seseorang menarik tangannya berulang kali. Gegas Karin menoleh dan alangkah kagetnya ia, saat mendapati Aru menutup sebelah mulutnya dengan mata terbelalak. Badannya naik turun. Anak itu gelisah tak menentu.

"Loh! Aru kenapa, Nak?"

Pertanyaan Karin berhasil ditangkap oleh Ronald. Ia ikut memanglingkan wajah. Kedua alisnya berkerut. Aru seperti orang yang sedang menahan mual.

Hueeeeeek!

Benar saja. Beberapa detik berikutnya, Aru mengeluarkan seluruh isi perutnya. Membuat Karin terlonjak kaget. Isha yang mendapati kakaknya muntah, langsung menangis. Ada apa dengan Aru?

"Bagaimana ini, Mas? Kenapa Aru muntah-muntah begini?" Karin ikhlas celananya tersiram isi perut Aru. Bau tidak sedap menyengat. Gegas Ronald membuka kaca mobilnya.

"Apa Aru ada salah makan?" tanya Ronald pada istrinya.

"Tidak. Dia makan apa yang kita makan juga kok,"

Sedangkan Isha semakin terisak panik. Ia menggenggam erat kedua tangan Aru. Menyalurkan kekuatan pada bocil lajang itu, meskipun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Wajah Aru semakin pucat. Ia tidak berselera untuk membuka mata.

"Kita ke rumah sakit sekarang," ucap Ronald panik.

Mobil melaju dengan kencang. Ronald menyalip kendaraan lain tanpa pikir panjang. Ia hanya memedulikan kondisi putranya yang entah kenapa mendadak sakit. Padahal, Ronald dan Karin sudah menjaga Aru dengan baik selama di desa.

Setelah sampai di rumah sakit, Aru langsung digiring ke ruang pasien dengan brankar. Kedua orang tuanya diminta untuk menunggu di luar. Membiarkan dokter fokus memeriksa kondisi unyil tersebut.

"Alu tenapa Mommy?" Isha sesenggukan.

"Nanti kita dengar apa kata dokter ya, Sayang,"

Tak lama setelah itu, sosok yang dinanti-nanti akhirnya keluar juga. Buru-buru Ronald mengambil langkah guna mendekatkan diri pada sang dokter.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Ronald penuh khawatir.

"Apakah anak Bapak terlalu banyak minum air hari ini?"

Ronald dan Karin saling pandang.

"Tidak, Dok. Namun, kami memang mandi di sungai tadi,"

"Itu dia penyebabnya. Anak Bapak dan Ibu mengalami masuk angin. Barangkali pasien terlalu lama berendam di dalam air,"

"Masuk angin? Kenapa bisa sepucat itu wajahnya?" Detak jantung Karin tak beraturan. Wanita itu terlampau khawatir dengan kondisi Aru.

"Cukup parah. Bahkan sudah memasuki fase demam mendadak,"

Pikiran buruk menyerang Ronald dan Karin. Keduanya langsung masuk ruangan pasien setelah berpamitan pada sang dokter. Ronald menjadi sosok yang paling menyesal dalam hal ini. Andai saja dia tidak membawa Aru berendam di sungai, pasti anak itu akan baik-baik saja sekarang..

"Apakah Aru lemas, Nak?" Karin mengusap lembut puncak kepala putranya. Ia menyerahkan Isha pada Ronald.

Netra Aru sayu. Bahkan untuk sekadar berbicara pun dia sudah tak mampu. Tubuhnya begitu lemas. Aru merasa mual dan pusing tujuh keliling.

"Biarkan Aru beristirahat dulu. Kita tunggu saja di sini," titah Ronald. Berusaha menenangkan istrinya yang tampak sedih.

Keesokan harinya, Karin meminta agar Isha dibawa pulang dan diserahkan pada baby sitter saja. Karin ingin fokus menjaga Aru selama di rumah sakit. Seberes sarapan pagi, Ronald membawa mobilnya menuju rumah. Meninggalkan Karin dan putranya di ruang pasien. Tak lupa Karin minta izin pada pihak jurusan untuk tidak mengajar hari ini.

"Bagaimana mungkin Aru bisa masuk rumah sakit?!"

Dua jam setelah kepulangan Ronald, Karin dikagetkan dengan kemunculan sosok perempuan dengan wajah sangar dari balik pintu kamar pasien.

***

Bersambung