"Kenapa kau tidak bilang kalau suamimu adalah Ronald?"
Setyo mengedarkan pandangan ke sekitar. Sebelumnya, ia meminta seseorang untuk memanggil Karin yang baru saja keluar dari kelas pertamanya. Saat ini Karin dan Setyo tengah duduk bersebrangan di kantor jurusan. Di saat ada beberapa staff yang juga nangkring di sana.
"Apa hanya untuk ini kau memanggilku?" tanya Karin berang. Setyo telah menghabiskan energinya sia-sia.
Sepasang insan itu saling merapatkan gigi. Berbisik. Tak ingin obrolannya didengar oleh orang lain. Semoga saja mereka mengira bahwa Setyo memanggil Karin, karena memang sedang ada keperluan.
"Jawab saja pertanyaanku!" balas Setyo tak ingin kalah.
Pria itu masih tidak menyangka dengan kebenaran yang baru saja ia peroleh. Setyo tidak peduli jika harus membahas hal pribadi di ranah formal.
"Ck! Mana aku tahu kalau Ronald temanmu. Ingat, ya. Jangan sampai kau adukan bahwa kau adalah mantan suamiku, karena selama ini aku tidak pernah membahas itu dengannya." Karin memberi ultimatum.
Mereka tampak begitu serius dan tegang. Saat Karin menoleh ke belakang guna memastikan keadaan, ia menangkap Guina yang rupanya menilik meja Setyo. Pertanda bahwa gadis itu tengah mengintai. Buru-buru Guina membelokkan pandangan. Menatap apa saja asal tidak kepala jurusan dan dosen Public Relations itu. Guina tertangkap basah.
***
Hari beranjak sore. Waktu yang seharusnya bisa dimanfaatkan manusia untuk melihat senja, kini menjadi bayangan semata. Mentari bersembunyi di balik awan gelap yang menghasilkan kilatan petir. Rinai hujan turun dengan derasnya sejak dua jam lalu.
Banyak mahasiswa yang menembus badai itu tanpa pikir panjang. Tidak peduli jika ia bisa sakit. Para dosen yang menggunakan mobil, lantas saja tidak khawatir. Mereka tetap melanjutkan perjalanan guna pulang ke rumah masing-masing.
Di luar, tampak Guina tengah mengambil ancang-ancang untuk masuk ke mobilnya. Payung yang dia pegang siap untuk direkahkan. Sebelum ia benar-benar pergi, perempuan itu melihat Karin yang sedang memandang hujan dengan tatapan kosong. Gegas Guina lari menghampiri temannya.
"Karin. Kau tidak pulang?" tanya Guina. Sejenak ia melupakan kejadian siang tadi.
"Eh. Iya, Guin. Aku akan pulang sebentar lagi," balas Karin sedikit terkejut.
"Oh, ya sudah. Kalau begitu aku pulang duluan, ya,"
Guina menepuk bahu Karin. Ia ngeloyor pergi ke parkiran menggunakan payung yang ia pegang sedari tadi.
Seusai punggung Guina melenggang jauh, Karin meraih ponselnya di dalam tas. Kebetulan dia sedang tidak bawa mobil. Jadi, minta dijemput suami akan menjadi pilihan terakhir.
Tut…
Malangnya Ronald tidak menjawab telepon dari istrinya.
Karin mencoba berulang kali. Namun, hasilnya tetap nihil. Wanita itu mulai khawatir. Bagaimana ia bisa menempuh hujan badai begini?
Setelah berpikir panjang, akhirnya Karin memutuskan untuk duduk di bangku tunggu yang terdapat di sebelah kantor jurusan Ilmu Komunikasi. Ia akan memesan kendaraan online. Mudah-mudahan ada yang sedang beroperasi meskipun tengah hujan begini.
Saat Karin berbalik badan dan hendak duduk, ia tidak mendapati bangku kosong selain bangku yang terletak di bagian paling pojok. Karin mendengus kesal. Bukan karena tempatnya yang terselip. Melainkan di sebelah lapak kosong itu ada pria yang tidak ia sukai. Siapa lagi kalau bukan Setyo. Lelaki itu tidak sengaja melihat Karin hendak mengambil tempat.
Tap!
Langkah Karin berhenti seketika.
"Tak apa. Duduklah di sini, Bu. Kita bisa mengobrol dengan dosen-dosen lain selagi menunggu hujan reda,"
Setyo kembali berulah. Sengaja ia mempersilahkan Karin untuk mendaratkan bokong di sebelahnya dengan bahasa formal. Agar orang-orang tidak berpikiran buruk terhadap kepala jurusan itu. Padahal, hatinya bersorak kegirangan saat bisa bersisian dengan wanita itu lagi.
"Benar. Bu Karin tidak usah sungkan,"
Kepercayaan Setyo semakin bertambah saat ada salah satu staff kantor jurusan yang ikut meminta Karin untuk duduk. Mungkin mereka mengira bahwa perempuan itu masih canggung karena ia dosen baru. Padahal, Karin memang tidak sudi duduk berdekatan dengan laki-laki yang pernah mempermalukannya di depan umum kala itu.
Tak ada pilihan lain selain menuruti permintaan Setyo. Lagipula, Karin tidak enak kalau sampai dosen lain melihatnya menghindari atasannya sendiri. Bisa-bisa ada stigma negatif yang muncul.
Setyo tertawa puas di dalam hati. Sudah lama ia merindukan saat-saat seperti ini. Menikmati hujan seraya bersisian badan. Andai saja tidak ada orang, pasti Setyo sudah memeluk erat tubuh wanita yang ia kasihi itu.
Di sana, Karin tampak sibuk dengan ponselnya. Tindakan itu jelas tertangkap oleh mata Setyo yang sengaja melirik ke samping. Setyo mendapati Karin yang bolak balik gagal memesan kendaraan online. Sedang hujan petir begini, memang jarang ada pengemudi yang menerima. Mereka juga tak ingin mengambil risiko.
Satu dua staff jurusan mulai berpergian saat hujan tak kunjung reda. Mereka memilih untuk menembus badai. Tidak tega dengan keluarganya yang sudah menunggu di rumah. Dan, hal itulah yang sedang terjadi pada Karin saat ini. Pikirannya tertuju pada Alisha dan Arusha. Meskipun ada baby sitter, tapi kedua anak itu pasti menanti-nanti Momynya pulang.
"Ikut mobilku saja,"
Tiba-tiba suara khas pria terdengar dari arah samping. Karin sontak menoleh. Seketika itu juga dia sadar, kalau Setyo memerhatikan dirinya yang kerap gagal memesan kendaraan online.
"Kau menguntit ponselku? Lancang sekali!"
Sudah tidak ada orang di sana. Oleh karena itu, Karin bisa sepuasnya mengekspresikan sikap. Gegas ia menggeser bokongnya ke penjuru lain. Tak ingin berdempetan lagi dengan Setyo si tidak tahu diri.
"Kau tidak akan menemukan kendaraan. Ini hujan lebat. Lihatlah! Hanya tersisa kita berdua dan satpam saja di sini. Lebih baik kau pulang denganku daripada jadi patung kampus," cercah Setyo mencoba merayu. Pintar sekali dia mengambil kesempatan di tengah kesempitan.
"Tidak sudi aku satu mobil dengan laki-laki busuk seperti dirimu," Karin mencibir.
Semua bayangan saat Karin masih bersama dirinya kembali terulang. Melihat wajah cemberut Karin, membuat Setyo semakin ingin mendekapnya. Kejadian seperti ini pernah mereka lalui beberapa tahun lalu. Karin itu gadis manja. Selalu saja ia merajuk pada Setyo.
"Yakin? Ah! Aku bahkan masih ingat eranganmu saat kau berada dalam satu selimut yang sama dengan diriku,"
"SETYO, JAGA MULUTMU!"
Karin kesal. Dadanya bergemuruh hebat bercampur malu. Jangan sampai perkataan Setyo tertangkap oleh telinga lain. Karin harus menghentikan hal itu sesegera mungkin.
Melihat rona kemerahan di pipi mantan istrinya, membuat Setyo semakin geram. Kembali ia duduk di sebelah Karin. Berusaha memecahkan amarah perempuan itu.
"Aku hanya bercanda. Jangan masukkan dalam hati. Sudahlah! Ayo, pulang. Hujan semakin deras. Kau bisa mengatakan naik kendaraan online kalau takut Ronald marah,"
Setyo menarik pergelangan tangan Karin sehingga membuat wanita itu terpaksa bangkit. Ia melepas rengkuhan itu saat melintasi satpam penjaga gerbang utama kantor jurusan.
Karin berpikir keras. Sepertinya memang tak akan ada kendaraan online yang akan menerima pesanan jika sedang hujan deras begini. Ronald juga tak kunjung menjawab telepon. Agaknya, pria itu tengah sibuk mengurus café. Alhasil, dengan berat hati Karin memutuskan untuk ikut dengan Setyo.
"Akhirnya kau menurut denganku." Melihat lawan bicaranya manut membuat hati Setyo bersorak kegirangan.
***
Bersambung