Suwa mendesah lega. Akhirnya dia bisa melarikan diri dari makhluk legendaris itu. Setelah dirasa yakin bahwa posisinya sudah cukup jauh, Suwa merebahkan punggung di sebuah pohon besar. Istirahat sejenak sembari mengurut kakinya yang terasa pegal.
Hutan ini sangat lebat. Kicauan berbagai jenis burung dan derik serangga terdengar jelas di gendang telinga. Sebelum larut, ia harus keluar dari hutan ini jika tidak mau bertemu dengan hewan buas yang siap menjadikannya menu makan malam.
Walau setelah ini Suwa tak tahu harus ke mana, tetapi setidaknya ia bisa terbebas dari Falcon dan mencari hunian yang sepi kalau perlu tidak ada manusia pengganggu di dalamnya. Sendiri lebih baik. Menjalani hidup damai, tanpa ada seorang pun yang menjadikannya wayang di mana harus selalu digerakkan oleh sang dalang. Karena Suwa sudah tidak mempercayai siapapun di dunia ini. Satu - satunya manusia yang ia percayai sudah tiada. Meninggalkan dirinya untuk selamanya.
"Ayah."
Suwa menatap nanar ke langit. Merindukan sosok hangat yang selalu memeluknya dahulu kala.
"Ayah...." Suwa kembali memanggil. Tanpa sadar setitik air mata meluncur membasahi pipi. Duduk menekuk kaki kemudian meringkuk menenggelamkan kepalanya di lutut. Ia menangis, "Aku merindukanmu."
Selalu terlintas di benaknya untuk menyusul sang ayah yang sudah berada di surga. Tetapi entah kenapa, di saat dirinya putus asa dan ingin mengakhiri hidup. Selalu saja tekadnya untuk bertahan hidup kembali muncul. Seakan dewi kehidupan selalu mengusir setiap bisikan setan padanya.
Dan ia juga belum siap mati. Meski hidupnya sudah tak berarti.
Suwa menjalani hidup dengan kosong dan hampa. Tetapi ia tetap memanfaatkan nyawanya yang masih setia tinggal di tubuhnya. Sampai menunggu ajal menjemput dengan sendirinya. Rumit memang, namun itulah yang ia rasakan.
Beberapa kali terbelesit dalam pikiran untuk membalas dendam atas kematian keluarganya. Namun beberapa kali juga keinginannya selalu luntur, saat sadar dia hanya wanita lemah yang tidak punya daya apapun untuk melakukan hal itu. Terlebih, dia juga tidak tahu pasti siapa pembunuh keluarganya. Yang ia tahu hanyalah mereka dari kaum bangsawan.
Para bangsawan yang sebenarnya menginginkan kematiannya.
Tangan Suwa mendadak terkepal. Teringat kembali peristiwa berdarah itu. Marah, sedih, takut, gemetar, merinding jadi satu. Ayahnya yang begitu baik harus merenggang nyawa berikut dengan keluarganya yang lain. Mereka bukan hanya membunuh keluarganya. Namun juga membunuh kehidupannya.
Setelah kejadian tersebut, entah kenapa setiap manusia yang ditemuinya selalu memiliki maksud tertentu. Tak ada orang yang benar - benar tulus menolongnya.
Suwa masih duduk meringkuk. Meratapi nasibnya. Dan...
>
>
>
"Wah... Akhirnya ketemu."
****
Ruby menatap nyalang perempuan yang tengah bermain bersama seekor monster kecil. Ingin sekali dia merobek jantungnya kemudian mencincang tubuh manusia itu dan memberikannya kepada makhluk - makhluk kelaparan di luar sana. Tetapi ia tidak bisa melakukan hal itu. Setidaknya tidak sekarang. Heise akan sangat murka.
Ya, akan ada saatnya ia menghabisi manusia tidak berdaya ini.
"Matamu akan copot jika memandang seperti itu."
"Diam kau penyihir!" Ruby mendengus sarkas. Membalikkan tubuh guna menatap lawan bicaranya, "Ada apa kau kemari? Astaga, kenapa selalu saja ada pengganggu."
Yazzi, peramal sekaligus penyihir yang merupakan penasehat sang kegelapan terkekeh. Pria berkulit pucat, berahang tegas namun berwajah lembut itu menyelampirkan jubahnya lantas berjalan mendekati Ruby.
"Hmm... Kalau tidak salah ini musim kawin bagi bangsa rubah. Jadi aku ke sini untuk~."
'BUAAKK'
Sebelum sempat meneruskan kalimatnya, Yazzi mendapat pukulan dari Ruby.
"Kau pikir aku siluman rendahan hingga repot - repot melakukan tradisi itu?" Ruby menatap marah. Sementara Yazzi hanya terkekeh sembari mengelus pipinya yang terkena tinju dari siluman ekor sembilan yang cantik ini.
"Ruby, Ruby aku bahkan belum menyelesaikan kalimatku. Tetapi jika kau ingin bercinta, aku tak keberatan."
Ruby menyimpitkan mata, "Kau ingin mendapat pukulan lagi Yazzi?"
Yazzi tergelak, "Hahaha, aku ingin mendapat satu ciuman darimu."
"Yazzi..." Ruby mengeram, hampir hilang kesabaran.
Yazzi hanya tersenyum lembut. Ahh siluman ekor sembilan ini memang sangat unik. Dalam keseharian ia adalah wanita yang begitu dingin dan sangat ketus. Namun di sisi lain, ia bisa berubah menjadi wanita perayu penuh goda.
Berdehem sejenak, Yazzi berkata, "Aku ke sini untuk menemui Heise. Membahas rencana selanjutnya menemukan gadis pemanggil Falcon."
"Meilan mendapat info mengenai jejak Falcon. Saat ini dia ada di ruangan Heise."
Yazzi mengangguk mengerti, "Kalau begitu kenapa kau di sini?" Manik hijaunya sengaja melirik gadis manusia yang berada di sudut taman. Dia tahu mengapa Ruby berdiri mengawasi manusia itu.
"Ayo tinggalkan aktivitas tidak berguna mu ini Ruby." Ajak Yazzi melangkah ke ruangan Heise.
***
"Wah... Akhirnya ketemu."
Tubuh Suwa menegang. Perlahan mendongak. Nafasnya tercekat saat di hadapannya berdiri sosok lelaki tinggi tegap dengan seringaian di wajahnya.
"Tanpa harus berburu. Mangsa sudah di depan mata." Pria itu menatap Suwa dengan pandangan menilai, "Ahh... Cantik juga."
Alarm bahaya. Suwa meneguk ludah. Menangkap hal aneh pada pria tersebut. Telinga pria ini.... terletak di atas kepala seperti karakter inuyasha.
Mata Suwa melebar, menyadari sosok di depannya bukanlah manusia.
"Si.... Siluman."
Hendak bangkit melarikan diri, namun sebuah pukulan terlebih dahulu membuat Suwa jatuh pingsan.
Pria bertelinga rubah itu menyeringai, "Bawa dia!" Perintahnya kepada dua anak buah yang tadi memberi pukulan di tengkuk Suwa.
****
Suwa merasakan tubuhnya terayun - ayun. Telinganya berdenging. Kepalanya terasa pusing. Saat hendak mengangkat tangan guna menyentuh pucuk kepalanya, dia terbelalak. Menyadari bahwa tubuhnya telah diikat dan dibopong seperti karung beras oleh seorang pria.
"Le.. Lepaskan aku!"
"Ahh.. Sudah bangun rupanya." Sapa pria bertelinga rubah yang tersenyum manis.
"Lepaskan!" Suwa meronta. Menggelinjang layaknya ulat keket untuk melepas ikatan yang melilit ke dua tangan dan kakinya.
Pria bertelinga rubah itu hanya terkekeh. Menikmati kepanikan buruannya. Dia berjalan terus sampai di sebuah gua.
Gua tersebut begitu luas hingga dapat dijadikan sebuah pemukiman. Di sudut - sudut gua terdapat tanda - tenda besar. Beberapa makhluk terlihat menduduki masing - masing tenda. Bahkan terdapat bocah - bocah kecil berlarian, bermain layaknya gua ini adalah sebuah desa.
Beberapa makhluk membungkuk hormat kepada pria yang membawa Suwa. Bisa dipastikan bahwa pria yang memanggulnya ini merupakan orang penting.
Suwa masih terus meronta. Menjerit bahkan memukul - mukul badan pria itu dengan kakinya yang terikat. Tetapi makhluk itu tak mempedulikan. Tetap berjalan lurus dan sampai di sebuah kerumunan siluman yang dipastikan sejenis dengannya sedang berpesta. Mengelilingi api unggun, mereka menyambut kedatangan pria bersurai hitam dengan penuh hormat.
"Wuaa... Cepat sekali anda mendapat buruan tuan." Celetuk salah satu siluman. Pria berbadan tambun itu mendekat. Memberi hormat diikuti siluman lain kepada sosok yang saat ini tengah membawa seorang wanita.
'Buakk'
Tubuh Suwa diturunkan hingga menimbulkan suara bantingan cukup keras di atas tanah. Suwa meringis. Tulangnya mungkin patah.
"Mandikan dan dandani wanita ini! Malam ini dia adalah pengantinku."
"HORE!!"
Sorakan kebahagiaan mewarnai kerumunan pesta. Tetapi tidak dengan wanita yang disebut.
'Pengantin?' Wajah Suwa sontak memucat. Netra hitamnya melebar. Tubuhnya menegang. Meronta kembali, ia mengumpat kasar saat beberapa wanita siluman tiba - tiba menyeretnya menuju sebuah tenda.
Hari ini, tepat dimana musim kawin bagi bangsa rubah.
***