Chereads / Suamiku Berbeda / Chapter 3 - Suamiku Tidak Normal?

Chapter 3 - Suamiku Tidak Normal?

Darrel terlihat menghela nafas berat, "Akan ku jelaskan padamu, tapi duduklah dulu, tenangkan dirimu."

Tenang katanya? Mana bisa ia tenang dalam situasi seperti ini? Mana bisa ia tenang saat suaminya sendiri menolak untuk berhubungan dengannya secara terang-terangan? Apa yang salah dengan tubuhnya?

"Jelaskan saja sekarang, tidak perlu berbasa basi!" teriak Ilene tidak mau tahu.

Darrel mendesah mendengar desakan Ilene, ia mulai terlihat membuka mulutnya. Ilene menarik nafasnya, mencoba mempersiapkan diri atas semua penjelasan Darrel.

"Aku tidak menolakmu. Maafkan aku, tapi aku tidak bisa melakukan hubungan intim denganmu sekarang,"

Alis Ilene terangkat, ia sangat terkejut mendengar penuturan Darrel, "Kenapa tidak bisa? Ada yang salah dengan tubuhku?"

"Tidak, kamu tidak salah, disini aku yang bersalah. Aku tidak normal,"

"Tidak normal? Apa maksud kamu?" Tanyanya lagi semakin tidak paham.

"Aku tidak tertarik pada tubuh wanita,"

Jantung Ilene seolah berhenti berdetak mendengar jawaban Darrel yang tanpa beban. Tidak tertarik dengan tubuh wanita? Berarti suaminya...? Ilene membekap mulutnya tidak percaya.

"Kamu menyukai pria?" Tanyanya cepat. Bulu kuduknya meremang memikirkan kemungkinan terburuk dari jawaban Darrel. Apa yang harus ia lakukan jika suaminya benar-benar seorang gay?

Darrel mengangkat kedua tangannya dengan cepat, "Tidak bukan seperti itu, tapi aku selalu merasa gelisah dan jijik saat aku melakukan sentuhan fisik berlebihan dengan wanita,"

Kepalanya berputar-putar mendengar penjelasan Darrel. Suaminya yang tampan, yang memiliki tubuh atletis menggoda dan kekar ini ternyata tidak normal? Tubuhnya limbung, kenyataan ini tidak bisa ia terima begitu saja.

Darrel menahan siku Ilene agar tidak terjatuh, namun ia segera mengangkat tangannya meminta agar pria itu mundur.

"Lalu kenapa menikahiku? Hm? Kenapa kita harus menikah?" Teriaknya geram.

"Aku tidak punya pilihan, orang tuaku selalu curiga terhadapku karena tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita. Jadi saat mereka mengenalkanku padamu, aku berusaha untuk mengabulkan keinginan mereka agar aku segera menikah. Awalnya ku pikir aku bisa mengatasi traumaku jika aku tinggal satu atap dengan seorang wanita. Dokterku juga menyarankan seperti itu, tapi ternyata itu lebih sulit dari yang ku kira,"

Apa?? Jadi jika diibaratkan ia hanyalah bahan percobaan dan kedok yang dimanfaatkan oleh Darrel?

"Kamu memanfaatkanku, Mas?" Tanya Ilene tidak percaya.

"Tidak, aku hanya butuh bantuanmu,"

Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali. Setelah semua kebohongan dan sandiwara yang ia mainkan, seenaknya saja Darrel berkata bahwa ia butuh bantuan.

"Butuh bantuan? Kamu pikir pernikahan itu apa? Apa semua ini hanya terapi pengobatan bagimu? Bagaimana dengan perasaanku? Apa kamu tidak memikirkannya?" Teriak Ilene di luar kendali. Ia merasa menjadi wanita paling bodoh karena telah tertipu selama ini.

Darrel hendak membuka mulutnya, namun Ilene segera memotong perkataannya.

"Ah, aku lupa kamu memang tidak memiliki perasaan, kamu tidak normal!" Teriaknya kembali emosi.

Wajah Darrel merah padam mendengar ucapannya. Jika Darrel tersinggung, ia tidak perduli.

"Aku tahu aku salah, tapi kamu tidak berhak menghinaku seperti itu, Len!"

Ilene mendengus mendengar ucapan Darrel, "Kamu yang terlebih dahulu menghina harga diriku Mas, kamu yang menipuku terlebih dulu,"

"Sebaiknya aku pergi, kita bicarakan ini besok."

Darrel membuka pintu lalu keluar dari kamar, kini Ilene tidak bergeming, ia juga enggan melihat wajah Darrel saat ini.

Sepeninggal Darrel, ia kembali menangis tersedu-sedu sendirian. Kenyataan ini terlalu pahit untuk ia terima.

****

Hari ini ia bergegas menemui Dokter Daniel, dokter yang menangani Darrel beberapa bulan terakhir. Ia harus mengetahui segala perihal penyakit yang diderita suaminya agar ia mengetahui langkah apa yang harus ia lakukan.

"Geno... apa?" tanyanya bingung dengan istilah yang dokter berikan.

Dokter Daniel terlihat mengambil laporan medis di tangannya, "Darrel kemungkinan mengidap Genophobia, sebuah phobia akan berhubungan intim dengan seseorang. Lebih parahnya lagi dia menghindari setiap sentuhan yang mengarah kesana,"

Ia memijat kepalanya yang kembali berputar mendengar ucapan Dokter, "Kenapa dia bisa mengidap penyakit itu, Dok?"

"Ada pemicu yang menjadikan seseorang mengalami phobia,"

"Apa Darrel tidak menjelaskan sesuatu lebih detail soal pemicunya itu?" tanya Ilene penasaran.

Dokter Daniel menggelengkan kepalanya, "Tidak, Darrel merupakan pasien saya yang paling tertutup. Ia juga jarang melakukan konsultasi,"

Ilene menghela nafas berat mendengar penjelasan Dokter di hadapannya. Jika Dokter yang menangani Darrel sendiri tidak tahu menahu soal kehidupan Darrel, bagaimana dengan dirinya?

Ilene kembali menegakkan tubuhnya, dengan ragu ia bertanya, "Apa phobia itu bisa disembuhkan? Maksud saya, apa Mas Darrel bisa kembali normal?"

"Kemungkinan itu akan selalu ada. Jika keinginan Darrel sendiri kuat untuk sembuh, saya yakin hal itu bisa terlaksana. Hanya saja kemungkinannya sangat kecil jika pasien sendiri tidak ingin melawan traumanya,"

Kemungkinannya kecil? Jadi ada kemungkinan suaminya tidak bisa sembuh? Ini sangat memusingkan. Kenapa dia harus menikahi pria seperti ini?

"Saya minta maaf karena saya pernah menyarankan Darrel untuk tinggal dengan seorang wanita. Saya pikir Darrel tidak bertindak sejauh ini dengan menikahi seseorang," ucap Dokter itu dengan nada menyesal.

Ilene mengulas senyum tipis di bibirnya. Ia bingung memilih kata-kata untuk membalas perkataan sang dokter.

"Kalau begitu, saya permisi. Terimakasih atas penjelasannya, Dok," pamit Ilene lalu berdiri dari kursinya.

Dokter Daniel menganggukkan kepalanya lalu ikut berdiri, "Sama-sama, saya harap Anda bisa lebih sabar menghadapi ini semua," ucap Dokter Daniel kembali dengan lembut.

Ilene mengulas senyum kembali. Meski ia tersenyum, ia ragu bisa menjalankan perkataan Dokter Daniel yang terakhir. Ia tidak bisa menjalani pernikahan seperti ini.

Ilene keluar dari ruangan Dokter Daniel dengan langkah gontai. Ia menyentuh sisi tembok, kakinya terasa sangat lemas untuk menopang seluruh bobot tubuhnya. Ilene memegang dadanya, merasakan nyeri di sekujur area itu. Sakit dan perih. Ia tidak bisa memaafkan segala perlakuan Darrel yang menipunya. Ia akan mengakhiri pernikahannya sekarang juga. Ia tidak mau merasakan nyeri di hatinya kembali karena sikap Darrel yang berbeda dari pria normal.

Ilene menghela nafas berat lalu mencoba berjalan kembali. Ia harus kuat. Meski pernikahannya baru seumur jagung, ia harus tabah untuk mengakhiri semuanya.

****

"Ayo kita bercerai," ucap Ilene dengan yakin pada Darrel.

Darrel tersentak mendengar ucapan Ilene, ia menatap istrinya, mencoba mencari gurauan dari wajah tegas itu.

"Ilene, jangan main-main. Kamu pikir kedua orang tua kita bisa menerimanya? Kita baru menikah beberapa hari."

Ilene menggelengkan kepalanya kuat-kuat lalu menatap Darrel dengan wajah serius.

"Aku tidak bisa menghadapinya. Jika kamu sama sekali tidak menyukaiku, bagaimana bisa aku terus berperan menjadi istrimu? Aku tidak bisa Darrel, tolong jangan berikan beban seberat ini padaku," lirih Ilene dengan suara bergetar. Ia menatap Darrel dengan tatapan terluka.

Darrel menghela nafasnya keras. Ya, ini semua salahnya karena telah menyeret Ilene kepada masalah yang ia hadapi.

"Baik. Jika itu memang maumu, aku akan segera mengurus semua keperluan perceraian kita. Kau tidak perlu khawatir,"

Ilene menganggukkan kepalanya. Ia bangkit berdiri meninggalkan Darrel. Namun, baru beberapa langkah kakinya menjauh, telepon rumah mereka berdering dengan sangat kencang. Ilene menghela nafasnya berat. Dengan langkah yang diseret, ia menghampiri telepon itu lalu mengangkatnya dengan enggan.

"Hallo?" sapa Ilene dengan suara lirih.

"Sayang, Ayah.. Hiks,"

Ilene segera menegakkan tubuhnya mendengar suara Ibunya yang terdengar panik di seberang sana.

"Ada apa Bu? Kenapa Ibu nangis?"

"Ayah masuk Rumah Sakit, Nak. Kamu segera kesini sama Darrel, ya?"

Ilene tersentak mendengar ucapan Ibunya, "Rumah Sakit?"

"Iya Sayang, Ayah terkena serangan jantung,"