Di sudut ruang disalah satu bagian rumah, terdapat 4 pasang mata yang saling bersitatap. Dua di antara penuh dengan amarah, salah satunya penuh kekalutan, dan satu lainnya berusaha keras agar tetap tenang.
Satu dari dua orang yang penuh amarah itu menggebrak meja dengan kuat. Wajahnya sudah merah padam. Ia menatap salah satu lainnya dengan nyalang.
"Leonard! Jaga ucapanmu! Kau menyakiti hati ibumu!"
Leo, lelaki yang dibentak pun mendecih. Ibu macam apa yang selalu diam tak membela anaknya? Setidaknya itu yang ada di pikirannya.
"Semua yang kuucapkan itu berdasarkan fakta. Ibu bahkan gak mengelak. Dan ayah, jangan coba bawa Richard setelah apa yang sudah kau lakukan selama ini padanya."
Sang ayah menatap Richard, putra bungsunya yang sekarang sudah masuk dalam kualifikasi untuk menjadi anaknya. Ia berjalan ke arah Richard yang masih duduk manis di sofa dengan pandangan tertunduk.
Richard melihat kaos kaki hitam di bawah sana. Ada yang mendekat. Tapi, kakaknya hanya memakai sandal rumah. Sontak ia mendongak, melihat siapa yang ada di hadapannya. Matanya terkunci. Pandangan ayahnya seolah meremehkan dirinya. Sama. Semua yang ada dalam pancaran mata ayahnya masih sama seperti dulu.
"Chie, ikutlah dengan ayah. Ayah sudah memikirkan untuk menempatkanmu menjadi brand ambassador suatu produk relasi ayah. Kita akan dapat uang banyak dari sana. Ayo! Bersiaplah kemasi pakaianmu dan kita terbang kembali ke Jepang."
"Ayah!"
Leo berjalan mendekat dengan mata berkilatnya. Ia menarik kerah kemeja ayahnya. Dengan pongahnya, sang ayah hanya menyeringai dan tatapan merendahkan itu lagi-lagi ia tunjukkan pada putra sulungnya.
"Heh. Kenapa? Merasa iri karena sekarang bukan kau lagi yang ayah inginkan? Ingat 2 tahun lalu kau dengan angkuhnya menolak tawaran ayah dan kabur ke sini dengan alibi ingin kuliah. Kau membohongi adik tersayangmu, bukan?"
Cengkraman Leo melemah. Pupil matanya bergerak resah. Bukan. Sungguh Leo tak bermaksud berbohong pada adik yang ia bela seumur hidupnya.
Sang ibu mendekat. Ia menarik lembut lengan sang suami akan tetapi segera ditepis.
"Richard, putra bungsu ayah, tak perlu ragu. Ikutlah dengan ayah. Kita bisa mencetak banyak uang bersama."
Richard menatap mata ayahnya lalu beralih ke kakaknya yang tampak mematung. Sepasang matanya kini terarah pada mata hazel sang ibu. Ibunya mengernyit dengan tatapan mata yang seolah memohon. Richard kembali mengarahkan pandangannya kepada sang ayah. Ia menatap obsidian itu dengan tatapan elangnya.
"Aku tidak akan mencetak uang untukmu. Maka dari itu, pergilah."
Richard berdiri. Emosinya masih stabil. Ia menghampiri Leo yang berdiri kaku menatap dirinya.
"Kenapa kau datang kemari? Kenapa anak yang tidak kau inginkan selama ini tiba-tiba menarik perhatianmu? Aku akan tetap bersama Bang Leo di sini."
Richard menatap kakaknya dengan penuh senyuman. Leo pun merasa terharu dengan keputusan sang adik.
'Bang Leo udah bela gue dari gue masih kecil. Kali ini biar gue yang bela lo, bang.' ucap Richard dalam hati.
"Dasar anak tak berguna!" teriak ayah mereka dengan lantang. Richard melihat sang ayah keluar dan membanting pintu dengan keras. Ia kemudian melihat sang ibu mendekat ke sisinya.
"Chie, maafkan sikap ayahmu."
"Pergilah, bu. Ibu gak membantu sama sekali. Ibu juga gak pernah membela ka-"
Richard menyentuh lengan kakaknya. Sang kakak pun segera membungkam mulutnya. Ia juga berjalan menjauhi kedua orang tersebut dan masuk ke area dapur guna menenangkan diri.
"Ibu. Sedari kecil aku selalu menunggu pembelaan darimu. Sekarang pun ibu masih tidak berubah. Aku tahu ibu menyayangi ayah, tapi bu, aku ini anakmu. Tak pernahkah sekali saja terbersit untuk melindungi anakmu ini dari kekerasan psikis suami ibu?"
"Chie, ibu hanya tak ingin ayahmu memukuli ibu. Tatapan mematikannya itu bagai alarm akan pertanda buruk bila ibu melawan."
Ibunya menunduk. Ia menangis. Richard sudah sering melihat hal itu juga mendengar alasan yang sama tiap kali ibunya merasa bersalah. Richard meraih wajah ibunya dan menghapus air mata yang sudah menganak sungai di pipinya. Richard mendesah kecil.
"Don't cry mom. I'm ok."
"I'm a bad mom. Forgive me, hon."
Richard memeluk sang ibu dengan erat. Biar bagaimana pun ia sangat menyayangi sang ibu. Ia juga tak bisa menyalahkan keadaan karena memang ayahnya seperti itu. Richard juga tak bisa menyalahkan kakaknya yang sangat tidak menyukai sang ibu. Richard hanya bisa mengusap punggung ibunya dengan lembut, mencoba membagi ketenangan yang ia miliki.
"You have to be strong, mom. I'll always love you. No, but we'll always be by your side no matter what."
Sang ibu semakin mengeratkan pelukannya dan menangis tersedu-sedu. Leo yang melihatnya pun mendekat. "Pergilah, bu. Jangan buat ayah marah dan memukul ibu lagi."
"Maafkan ibu, Leo."
Leo melangkah menjauh tanpa mengucapkan patah kata apa pun.
"Sudahlah, bu. Bang Leo selalu peduli pada ibu. Jangan diambil hati. Pergilah, hati-hati di jalan bu."
Richard sedih. Orangtuanya masih saja bersikap seperti dulu. Mereka munafik dan Richard benci semua hal yang berbau kemunafikan. Satu hal yang ia pahami bahwa tak semua yang terlihat itu sesuai dengan kenyataan yang ada. Terkadang siapa yang tersenyum paling lebar adalah orang yang menyimpan luka paling dalam.
***
Seminggu sepeninggalan orangtua Richard dan Leo, kadaan rumah terasa canggung. Leo selalu berusaha meminta maaf pada sang adik. Dan Richard selalu disibukkan dengan banyak hal. Saat sedang ingin membuka mulut selalu saja ada hal lain yang harus dikerjakan Richard.
Pagi ini, Leo menunggu Richard di depan pintu rumah mereka. Ia sengaja melakukannya untuk menyelesaikan kecanggungan yang terjadi di antara mereka.
"Oh, Chie! Gue mau ngomong-"
"Jangan sekarang, bang. Farel udah nunggu di warung depan."
"Tapi-"
"Nanti malam aja di rumah. Gue bakal pulang sekitar jam 7. Gue duluan, bang."
Leo mendesah. Ia sedikit kecewa. Kesempatannya gagal lagi. Yah, setidaknya masih ada nanti malam. Richard juga sudah mengatakan nanti malam, bukan? Jadi, ia tak perlu merasa kecewa berlebih.
Di sisi lain, Richard bergerak terburu-buru memasuki kelas bersama dengan Farel. Richard memang berangkat bersama Farel karena ia tahu sang kakak sedang tidak ada kelas pagi.
"Oy, Richard! Ayo masuk! Jangan ngelamun terus lo."
Richard menampakkan cengiran khasnya dan mengekori Farel. Sedari awal pelajaran dimulai, Richard tak pernah memperhatikan dengan benar. Atensinya berpusat pada sesuatu yang lain. Hingga pada akhir jam pelajaran usai pun, Farel menegur Richard. "Akhir-akhir ini gue lihat lo sering melamun. Ada apa, Chie?"
"Ta-"
"Tasya masih sakit, lo 'kan tau itu. Kenapa lo gak jenguk dia aja supaya rasa penasaran lo itu berkurang?"
Richard menimang ucapan Farel. Benar, ia hanya perlu datang dan menjenguknya. "Menurut lo, apa Tasya mau ketemu gue?"
Farel menarik kursi panjang di kantin. Dua gelas Caramel Macchiato yang dibawanya ia letakkan di atas meja. Satu untuknya, satunya lagi ia suguhkan kepada Richard, mengisyaratkan untuk diminum.
Richard berterimakasih. Setidaknya satu cup Caramel Macchiato dapat mengalihkan sedikit kecemasannya. Perlahan ia menyesap dan merasakan lembutnya busa dan manisnya karamel yang berpadu dengan sedikit pahit espresso yang menyapu indra perasanya pertama kali.
'Kompleks. Seperti... kehidupanku.' batin Richard nelangsa. Farel memperhatikan Richard yang lagi-lagi sedang melamun. Sepertinya ia tahu apa isi lamunan itu. Namun, ia menghiraukannya.
"Oh! Hei, Chie, belakangan ini gue lihat lo gak pernah nempel sama Bang Leo. Apa lo lagi ada masalah?"
"Enggak. Gue emang lagi sibuk sama tugas gue yang melimpah kaya tumpukan sampah di TPS dan jam kuliah kita banyak yang bertolak belakang."
Farel mengangguk kecil beberapa kali. Tak lama, Rin datang menghampiri dengan menepuk keras bahu Farel sehingga ia sedikit tersentak. Rin mengambil posisis duduk di depan Farel dan Richard. Matanya menatap tajam hanya kepada Richard.
"Kak, jangan menatap Chie kayak gitu. Lo kayak mau makan dia."
"Emang."
Richard tekekeh. Ia menatap Rin dengan tatapan lembut, khas miliknya seorang. Rin pun mendesah dan mengalihkan pandangannya ke kanan. Richard mengernyit. Bingung dengan tingkah gebetan sahabatnya itu. Tanpa menunggu lama, ia pun membuka suara.
"Ada apa, kak?"
"Pulang nanti datanglah ke rumah. Jenguk si Tasya."
Richard tersenyum dan mengangguk kecil. Lihatlah. Judes itu tak berarti acuh. Bisa jadi, sebenarnya dialah yang paling peka dan memperhatikan keadaan.