Taaya naik dan duduk dengan tenang di jok belakang motor Richard. Ia memandangi bahu lebar lelaki yang memunggunginya. Kedua telapak tangannya tanpa sadar menyentuh pundak Richard, membuat empunya sedikit menoleh dan membuka kaca helm full-face miliknya.
"Ya, Sya? Kekencengan ya gue bawa motornya? Gue pelanin deh. Maaf ya."
Tasya menggeleng, tentu saja Richard tak bisa melihat itu. Ia refleks menarik kedua tangannya setelah mendengar suara Richard, lalu ia meletakkan keduanya di atas lutut guna menahan berat badannya. Namun, tanpa diduga, Richard menarik tangan kiri Tasya yang sontak saja membuat tubuhnya sedikit terhuyung ke depan. Alhasil, posisinya kini Tasya memeluk Richard.
Rona merah menjalar ke seluruh wajah Tasya. Rasa hangat menyebar ke seluruh permukaan kulit halusnya serta merebak mengisi relung kosong di hatinya. Ia tidak berontak akibat perlakuan lelaki di hadapannya. Dengan perlahan, ia menyembunyikan wajahnya di balik bahu lebar Richard.
Richard melirik sekilas melalui spion. Tidak jelas memang, tapi ia tahu bahwa Tasya di sana sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Dapat diterka dari caranya meremat jaket Richard dan cara menyembunyikan wajahnya di balik bahu Richard. Menggemaskan.
Sepanjang perjalanan, tak banyak obrolan yang terjadi. Mungkin hanya dua kali. Semua itu karena masing-masing dari mereka bergelut dengan pikirannya sendiri. Tak lama kemudian Richard berdehem dan membuka suara.
"Udah sampe nih."
Terdengar Tasya yang menyahut dengan rasa terkejutnya. Ia segera turun dan menyerahkan helm kepada si pemilik motor itu.
"Tadi lo bilang mau beliin sesuatu buat abang lo. Sesuatu itu apa emangnya?"
Richard sedikit menerawang, matanya pun otomatis menyipit. "Cuma perlengkapan sembunyi aja sih."
Tasya mengernyit, "Maksudnya gimana? Perlengkapan sembunyi buat apa?"
Richard merapihkan rambut Tasya yang sedikit berantakan setelah membuka helm tadi. Ia menyisipkannya di balik telinga gadis itu.
"Ya gue mau beli masker, topi, syal, dan lain-lain. Perlengkapan nyamar gitu biar dia gak terlalu susah pas dateng ke kampus."
Tasya tergelak. 'Sebegitu perhatiannya dia,' batinnya. Tasya menyentuh rambutnya yang sempat dirapihkan Richard tadi. Ia tersenyum kecil. 'Dia emang perhatian,' lanjut batinnya. Ia pun melangkah mengikuti Richard yang sedang berhenti di sana, menunggu sembari tersenyum padanya.
Mereka memasuki mall kelas A. Tatanannya begitu estetik, menarik perhatian Tasya yang baru pertama kali ke sana. Tasya menarik lengan jaket Richard dan menunjuk topi yang menarik penglihatannya.
"Yang itu kayaknya cocok deh buat abang Bang Leo."
Richard menoleh dan mengangguk setuju. Tanpa lama, ia mengamit topi berwarna putih gading yang dipilihkan Tasya dan segera membayar. Setelah itu mereka keluar dari sana dan berputar-putar di lantai satu.
Setibanya di lantai dua, Richard menarik lengan Tasya dan membawanya ke salah satu store bertema vintage di mana banyak terdapat model syal. Namun, belum selesai memilih, Tasya izin pergi ke toilet.
"Chie, gue ke toilet bentar ya."
"Mau gue anter?"
"Enggak perlu. Gue bisa tanya ke satpam kok biar gak nyasar."
Richard mengangguk paham. Ia memutuskan membeli satu syal yang cukup tebal dan lebar berwarna marun. Tak lama ia pun segera keluar dari sana dan memilih untuk berdiri di pinggir pembatas kaca.
"Maaf, gue lama ya?"
Richard menggeleng. Ia menggenggam jemari Tasya dan mengajaknya naik ke lantai atas. "Kita makan dulu ya sebelum pulang. Gue laper banget. Gak apa 'kan?"
Tasya mengangguk. Ia melepaskan genggamannya dari Richard dan berjalan mendahuluinya. Ia menunjuk salah satu restaurant kesukaannya.
"Gue mau makan itu!"
Richard tersenyum. Ia memperhatikan gadis itu dari belakang. Surai hitam lurusnya bergerak ke sana-kemari mengikuti gerak tubuhnya.
"Apa bisa gue dapetin lo, Sya?" gumam Richard sambil memasuki restaurant yang dipilih Tasya.
"Langsung pesan aja ya, Chie? Gue Soto Betawi sama air mineral aja. Lo?"
"Gue? Hm, samain aja deh kaya lo, Sya."
Tasya mendecih. "Gak kreatif lo, gendut."
Richard tertawa pelan. "Lo yang gak kreatif. Lihat dong, gue udah gak gendut. Ubahlah julukan itu. Aneh tahu dengernya."
"Sekali gendut ya tetap gendut, gendut."
Richard duduk di salah satu meja yang memunggungi kaca tembus pandang yang mengarah langsung ke luar. Tidak nyaman bukan bila makan telihat oleh orang lain di dalam mall?
"Kenapa lo pesen soto betawi, Sya? Makanan yang asing kan banyak di sini"
"Kuah santennya enak banget di sini. Dan lagi campuran kaldu, daging, kentang, dan tomatnya udah kayak nyatu dengan sempurna. Gue pastiin lo juga bakal langsung suka."
"Emang di Bali ada kedai ini?"
"Justru di Bali ini terkenal banget. Rasanya paati gak jauh beda lah sama yang di Bali."
"Nah pas banget nih udah dateng. Seberapa enaknya sih soto Betawi pilihan lo ini?"
Tasya memperhatikan Richard yang menyesap kuah soto itu. Indra perasanya bekerja dengan baik, karena ia langsung menyantapnya dengan nikmat. Seolah lupa bahwa di hadapannya ada Tasya.
"Gimana? Kayaknya enak banget, ya?" goda Tasya.
Richard mengangguk pasti. "Lo bener. Ini enak banget. Makasih udah kasih tau gue tempat soto ini."
Tasya mengangguk perlahan. Hatinya berdesir kala melihat senyum itu terpampang indah hanya untuknya. 'Ini gak bener, Tasya. Inget Vernon masih menunggu lo,' batinnya gundah.
Tasya memakan Soto Betawi miliknya dengan perlahan. Ia sedang gundah gulana memikirkan perasaannya yang ia tahu sudah goyah. Namun, ia menahannya setengah mati.
Richard memanggil pelayan dan meminta bill. "Ada apa? Lo lagi mikirin sesuatu? Sedari tadi gue perhatiin, makan lo kaya orang sakit. Bukannya ini soto favorit lo?"
"Ah! Engga. Gue cuma lagi mikirin apa gue perlu beliin Rin atau enggak? Perempuan itu pasti belum pernah makan soto di sini."
"Oh, tunggu sebentar ya. Gue pesenin lagi aja buat di bungkus. Lo sendiri bersiaplah. Jadi, habis selesai di sini kita langsung pulang. Udah jam segini juga."
Tasya mengelap sudit bibirnya dan beranjak dari bangku. Ia memilih menunggu di luar sembari mengamati banyaknya orang di bawah sana yang berlalu-lalang. Ia menarik dan menghembuskan nafasnya pelahan. Ia membayangkan wajah calon suaminya yang sedang berjuang dari kapalnya yang setengah tenggelam. Bayangan itu selalu menghantuinya.
Satu tepukan lembut pada bahu Tasya menyadarkan dari lamunan singkatnya. Ia menoleh dan mendapati Richard sudah berada di belakangnya sambil membawa dua goody bag lagi.
"Ayo pulang."
Kini tampak Richard mengantar Tasya pulang selepas dari acara berbelanjanya di Mall. Sebelum melewati pagar, Ricard turun dari motor dan menahan lengan Tasya.
"Sebentar. Ini gue beliin dua bungkus. Satu buat Kak Rin dan satu lagi buat lo. Karena lo cuma makan sedikit tadi, jadi nanti lo harus habisin ya."
"Oh iya gue lupa. Besok gue ganti uang lo. Gua lagi gak ada uang cash."
Richard menolak. Ia memang berniat membelikannya. "Dan satu lagi-"
Richard mengeluarkan kotak kecil dari sela jaketnya dan menyematkannya pada surai Tasya.
"Gue beli ini pas lo ke toilet. Gue pikir itu cocok buat lo. Terima ya sebagai ucapan terimakasih karena udah menemani dan memilihkan sesuatu buat Bang Leo."
Tasya diam. Saat deru motor itu menjauh, ia pun sontak menoleh. Alih-alih ingin balik berterimakasih, ia malah terpaku seperti orang bodoh di sana. Selaras kemudian, ia menyentuh hairpin yang ia sendiri tak tahu persis bentuknya.
Tasya segera memasuki rumah. Ia memberikan bungkusan berisi Soto Betawi pada Rin yang sedang duduk bersebrangan dengan Farel. Sebelum ia masuk ke kamar mandi, ia memperingatkan Rin dengan suara lantangnya. "Yang satu punya gue!"
Ia menutup pintu dan menarik hairpin yang bertengger manis di surai legamnya. Ia mengamati ukiran hairpin itu. Detailnya indah sekali. Tepat di balik hairpin, tiba-tiba matanya memicing memegaskan sesuatu.
"Dasar gendut bodoh, harganya masih menempel di sini tau."