Coklat. Itu warna kesukaan Leo. Tapi lihat, semua barang yang di berikan adiknya tidak ada yang berwarna coklat. Ia menghembuslan napasnya perlahan dan menoleh ke arah Richard.
"Makasih, Chie."
Richard mengangguk dan berjalan masuk ke kamarnya. Ia melihat kening kakaknya berkerut. Sepertinya ia melupakan sesuatu tentang kakaknya. Namun, ia senang melihat perubahan raut wajah sang kakak yang sudah tampak santai sekarang. Tidak seperti kemarin yang kaku seperti kerah kemeja baru.
Richard menutup jendela kamarnya. Karena sebentar lagi ia harus pergi ke kampus, ia bergegas mandi dan menyiapkan diri. Tak lupa, ia juga memilih setelan yang cocok untuknya, tapi ia berhenti di depan lemari sambil berkacak pinggang. Baju lamanya belum ia rapihkan dan ia juga tidak memiliki banyak baju baru yang seukuran tubuhnya sekarang. Ia pun mendesah. Matanya tampak mencari dan tangannya bergerak lebih cepat dari sebelumnya.
'Ketemu!' pekiknya dalam hati. Sejurus kemudian, ia mengambil setelah kemeja kotak bergradasi olive-hijau tua dan celana panjang bahan berwarna hitam. Cocok sekali di tubuh proporsionalnya.
Kala itu, ia diberi tugas untuk menjadi pengajar di sebuah kelas adik tingkatnya. Dosen yang menjadikannya asisten sedang berhalangan hadir. Ia pun menerima tawaran itu bukan karena bayarannya, tetapi memang karen ia senang menolong orang yang membutuhkan. Saat ia keluar kamar, sang kakak juga sudah siap di depan pintu. Ia pun menepuk bahu sang kakak dan berjalan beriringan dengannya.
"Bang Leo yakin masuk hari ini? Gue bisa ngizinin lo lagi."
"Pastinya si enggak, tapi dosen pengampu gue udah ribet nyuruh gue buat masuk. Katanya gue harus ikut mata kuliahnya. Kalo gak, dia bakal bikin gue ngulang mata kuliahnya di semester depan," keluh Leo. Ia melempar tasnya ke dalam jok mobil belakang dan duduk di depan kemudi.
"Bukannya kampus bikin pengecualian buat orang kayak lo, bang?" tanya Richard dengan alis hampir bertautan. Ia memasang seat belt dan membenahi kemejanya.
"Dia emang begitu, Chie. Udahlah, gak apa. Gue harus biasain diri juga, 'kan?"
"Lo benar. Tapi, kenapa lo gak pake hadiah dari gue semua?"
Leo mendengung. Ia melirik adiknya dan tersenyum tipis. "Lo pikir gue harus pake semua itu sekaligus? Gue malah kelihatan mencolok. Haha."
Richard tertawa mengikuti alunan tawa sang kakak. Ia berpikir, ucapan sang kakak ada benarnya juga. Ia pun menyarankan agar semua hadiahnya dipakai bila sedang berada di luar lingkup kampus saja. Ia juga menyemangati sang kakak agar tidak mudah stress karena pasti menjadi model yang sedang viral itu sulit dan akan sedikit banyak mengganggu mentalnya. Belum lagi kalau ada fans fanatik.
"Apapun yang terjadi, lo harus kasih tau gue, lo harus cerita segalanya ke gue bang."
Sesampainya di kampus, mereka keluar beriringan. Selagi ingin berpisah, ada dua mahasiswi yang menghampiri. Fokus mereka hanya tertuju pada Leo. Richard pun menepuk pundak Leo sebelum pergi meninggalkannya. Tentu saja ia memberi semangat sekali lagi sebelum pergi.
Richard menyusuri lorong yang mengarah ke fakultasnya. Sepanjang jalan, banyak mahasiswi yang berbisik mengatakan dirinya tampan atau hanya sekadar memuji caranya berpakaian. Ada juga yang bertanya mengenai rumor kakaknya yang tersebar secepat kilat. Respon Richard juga tak banyak. Ia hanya mengangguk dan membenarkan semua itu. Tak semuanya berkomentar bagus soal sang kakak yang tiba-tiba menjadi model. Ada juga yang dengan terang-terangan mengatakan kakaknya hanya mencari sensasi atau semacamnya.
Richard tertegun. Ia menoleh ke sisi kirinya dan menemukan Tasya tengah menutup kedua telinganya dengan susah payah. Perbedaan tinggi yang cukup signifikan membuatnya harus berjinjit. Setelah bisikan-bisikan negatif itu hilang, Tasya menarik kembali tangannya.
"Bukannya lo ada kelas gantiin dosen gue? Cepat! 10 menit lagi dimulai."
Tasya berjalan mendahului Richard. Dress selututnya bergoyang mengikuti langkah kakinya. Richard mengamati. Sejenak ia menunduk dan tersenyum. 'Bisa gila gue,' batinnya.
Sesampainya di kelas, seperti biasa, kelas yang sunyi menjadi gaduh setelah Richard datang dan kelas pagi itu menjadi tak terkendali. Gadis-gadis berisik dan kaum lelaki menimpali dengan sengit. Ricuh sekali. Tasya pusing dibuatnya. Sebelum kelas usai, teman sebelah Tasya bertanya padanya.
"Sya, apa lo pacaran sama kak Richard? Kalian sering kelihatan berdua."
Tasya syok. Hatinya berdebar, tapi ia menggeleng dan mengatakan tidak dengan ekspresi dinginnya. Teman sebelahnya pun mengangguk perlahan dan berjalan keluar. Sebelum itu, ia menyapa Richard dengan malu-malu.
Richard menyapu pandang seluruh kelas. Kosong, kalau saja Tasya keluar. Ia berjalan menghampiri Tasya dan mengajaknya ke kantin. Tasya menatap sejenak. Setelah memasukkan bukunya, ia turun lebih dahulu, sementara Richard mengikuti dari belakang.
"Penggemar lo makin banyak ya. Lihat, mereka kaya mau bunuh gue."
Richard mengedarkan pandangannya. Beberapa gadis tertangkap basah sedang menggerutu dan menatap tajam Tasya. Namun, Richard malah mendekatkan dirinya, membuat Tasya terkejut.
"Jauh jauh, Chie...," pinta Tasya.
"Enggak. Lo bisa di bully lagi. Mulai sekarang, jangan jauh-jauh dari gue," pinta Richard balik.
Tasya berhenti. Ia menatap Richard geram. Cara Richard menatap membuatnya luluh. Ia pun mendesah. "Baiklah, jangan beranggapan gue nyusahin lo ya. Lo sendiri yang mengajukan diri."
Mereka berjalan dan memesan makanan. Seperti biasa, Tasya hanya memesan roti croissant dan es latte, sementara Richard memesan cappucino dan croissant . Selepas itu mereka berjalan menuju air mancur, tempat favorit Tasya. Selagi berjalan, mereka melihat Leo yang sepertinya sedang kesulitan. Tasya pun menghampiri dan mengatakan sebuah alasan pada segerombol gadis yang mengelilingi Leo.
"Terimakasih, Tasya."
"Gak masalah kak. Kali lain kakak harus bisa tegas ambil sikap biar mereka gak ganggu kakak."
Leo terkesima. Tasya itu perempuan yang dua tahun di bawah usianya. Namun, ia bisa berpikir sedewasa itu. Gadis itu juga membantu dirinya yang kesusahan dengan senang hati. Padahal, bila ia dengar cerita dari Richard, gadis itu acuhnya bukan main.
"Bang, lo gak apa-apa?" tanya Richard yang baru sampai di sana. Ia melihat kakaknya berpeluh di cuaca yang sedang sejuk sejuk.
"Lo lari menghindari mereka?"
"Iya."
Leo pamit ingin menuju kelasnya lagi, tapi Tasya menahan lengannya. Ia memberikan roti croissant dan es latte miliknya pada Leo. Ia hanya merasa kasihan pada kakak dari Richard.
"Buat kakak aja. Kakak pasti belum sempat ke kantin buat makan."
Setelah memberikannya,Tasya pergi dan duduk kembali di air mancur. Richard menyusul dan ikut duduk di sisi kanannya. Ia membuka bungkusan kertas berisi croissant miliknya dan membaginya menjadi dua. Belahan yang lebih besar ia berikan pada Tasya.
"Makanlah. Lo pasti lapar juga."
Tasya menoleh. Matanya seolah berkata apa tak apa? Namun, Richard sudah lebih dulu memarik jemarinya dan meletakkan sebelah croissant itu di telapak tangan Tasya. Richard tersenyum dan memakan miliknya dengan perlahan. Ia teringat, kopinya hanya satu.
"Ah, kopinya tapi cuma ada satu. Gak apa kalau berbagi?"
Tasya mengangguk. Ia sudah terlanjur memakan roti itu dan pasti akan merasa haus bila tak minum dengan segera. Mau tak mau ia pun menyetujui ide itu. 'Hanya minum, bukan berarti ciuman,' batinnya meyakinkan.
"Minumlah lebih dulu, gue belakangan aja."
'Ah, bodoh,' respon Tasya di dalam hati.