Chereads / Janji atau Hati / Chapter 10 - Kenangan Penuh Makna

Chapter 10 - Kenangan Penuh Makna

Lembayung senja baru saja menampakkan diri, mengikat banyak pasang mata agar tertuju padanya. Richard tampak melenggangkan kakinya membuntuti dua sejoli di depannya. Mereka menuju tempat parkir.

"Kak Rin, apa yang Tasya sukai saat sedang sakit seperti ini?"

Rin menyipitkan matanya, otaknya menerawang jauh dan kilasan masa lalunya membawa ia mengenang suatu masa berharga.

"Hei, mana ada orang sakit dikasih permen? Mau bikin batuk aku makin parah ya?" Tasya kecil memberi sindiran pada Rin. Saat itu Tasya berusia 9 tahun dan Rin berusia 11 tahun.

"Eh? Dulu kamu selalu suka banget sama permen sampai selalu aja merengek ke aku sekalipun lagi sakit."

"Aku 'kan sudah besar sekarang. Aku tau kalau permen bakal buat aku makin sakit, kak."

Rin kecil terkekeh geli. 'Umur 9 tahun tau apa sih,' batinnya.

"Dari pada permen, beliin aja es krim."

Tawa Rin meledak sedangkan Tasya memiringkan kepalanya, ia bingung.

"Kok ketawa?"

Rin menggeleng. Ia menjulurkan tangan lainnya yang membawa 1 goody bag kecil. Ia menyerahkannya langsung pada Tasya meski di sisinya ada kedua orangtua anak itu.

"Permen dan es krim sama saja, Anak Agung. Gak bagus buat batukmu. Mending makan aja apa yang ada di dalam tas itu. Ibuku yang membuatnya untukmu."

"Bibi? Wah, pasti enak." Tasya membuka tas itu. Bibirnya seketika mengerucut.

"Aku tidak suka kue sumping!"

"Kak? Kak!" panggil El susah payah untuk menarik atensi Rin kembali. Akan tetapi, yang dipanggil sepertinya sedang melamun hebat hingga saat El berteriak barulah ia merespon.

"Oh, ya! Kenapa pake teriak, sih?"

"Lo ngelamun, kak. Jangan salahin El kalo dia pake toa, hahaha...."

Rin tertawa singkat. 'Benar, aku melamun ya,' batinnya.

"Soal Tasya gimana ka?" Richard berjalan sejajar dengan Farel dan Rin setelah itu mereka semua masuk ke dalam mobil Rin.

"El, lo kan bawa motor. Sana naik motor lo."

Richard hanya melirik Farel. Matanya menangkap kesenduan si pemilik motor besar itu. Ia pun menepuk pundak sang sahabat.

"Gue masuk ya, El."

Farel mengernyit. Apa-apaan sahabatnya itu? Mengejek atau memberi semangat? Sudahlah, Farel berjalan berlawanan untuk mengambil motornya.

"Jadi, gimana kak soal tadi?"

"Oh iya, kayaknya Tasya suka apa aja kecuali kue sumping. Gue kurang tau sekarang apa yang jadi favoritnya."

"Kue sumping?"

"Iya, itu salah satu kue khas Bali yang terbuat dari tepung beras gitu deh."

Richard mengangguk singkat. Ekor matanya melirik spion. Sosok Farel terlihat mengikuti di belakang.

"Oh ya kak, jangan kebangetan judes sama El."

"El? Gue tau. Justru itu cara gue biar dia tetap berjuang dan semua jadi gak ngebosenin. Tenang aja, gue ini pemain handal-"

"Kak! Berhenti!"

"Duh! Apa-apaan sih!" gerutu Rin. Mendengar teriakan itu ia pun seketika mengerem dengan tiba-tiba.

"Hehe sorry ka, gue mau beli sesuatu. Kakak pergi aja, gak perlu nunggu. Kasih tahu aja ke Tasya kalau gue mau menjenguknya."

Richard keluar dan membiarkan mobil itu menjauh. Stelahnya, tak lama ia melihat motor Farel berhenti tepat di depannya.

"Duluan aja, El. Gue mau beli sesuatu."

Farel mengangguk lalu pergi melajukan motornya kembali setelah mendengar ucapan Richard. Tanpa buang waktu, Richard pun memasuki toko itu. Ia membeli setangkai mawar putih dan beberapa buah tangan lainnya.

Richard tiba setelah 45 menit berlalu. Ia langsung diperbolehkan masuk dan menuju kamar Tasya. Ini bukan inisiatifnya, melainkan saran dari Rin untuk segera masuk ke kamar Tasya saja.

"Masuk."

Serak sekali. Sekiranya itulah yang ada di pikiran Richard.

"Hai. Lo udah baikan?"

Tasya mendudukkan dirinya di tepi kasur. Ia melirik Richard dengan mata sayunya, khas orang sakit.

"Ini, gue gak tau lo suka apa. Jadi, ya begitulah."

Tasya menerima pemberian Richard dan membuka isi goody bag itu. Sementara Richard meletakkan mawar putih itu di atas meja dekat lampu tidur.

"Lo pikir gue anak kecil?"

"Maksud lo?"

"Permen, kue berlemak tinggi, es krim, dan semua yang lo bawa ini. Lo tau 'kan sakit gue bisa makin parah dengan semua ini?"

"Tapi lo bukannya cuma demam ya?"

"Orang pintar macem lo ternyata ada bodohnya juga ya."

Tasya melirik Richard. Menangkap sorot mata yang seperti penyesalan.

"Tapi makasih udah peduli. Dan yang paling penting lo gak beliin gue kue sumping."

"Mana ada jajanan Bali di sini. Susah nyarinya."

"Intinya makasih."

Richard tersenyum. Rasa menggebu-gebu itu memenuhi relung hatinya. Akan tetapi ia sadar tak bisa berlama-lama di sana karena Tasya harus istirahat kembali.

"Gue pamit pulang, Sya. Lo harus banyak istirahat. Cepat sembuh ya. Selamat malam."

Richard sudah keluar dari kamar Tasya. Jemari mungil itu meraih setangkai mawar putih di atas nakas. Ia memandangi helai mawar yang sudah merekah sempurna itu. Vernon. Tasya merapalkan nama calon suaminya.

Jam yang melingkar di pergelangan tangan Richard sudah menunjukkan pukul 8 malam. Setelah berbincang sedikit dengan kakak sepupu Tasya, ia pun izin pamit. Ia tidak bersama Farel karena tampak sekali bahwa El tidak ingin diganggu.

Richard melangkahkan kakinya menuju halte terdekat. Ia memutuskan pulang dengan bus saja. Jalanan yang cukup sepi menghantarkannya ke rumah dengan waktu yang cukup singkat, setengah jam.

Richard melihat sepatu sang kakak sudah terisi rapi di dalam raknya. Itu artinya sang kakak sudah ada di dalam. Lantas ia zmasuk dan menghampiri sang kakak.

"Maaf gue pulang telat. Lo mau ngomong apa, bang?"

Leo melirik singkat. Ia meneguk air yang dibawanya sambil berjalan ke arah sofa dan

Richard mengikuti sang kakak yang duduk di sofa. Mata elangnya tepat menusuk sang kakak.

"Lo marah sama gue?"

"Buat?"

"Soal ayah yang bilang kalau itu cuma alibi gue aja."

"Buat apa marah? Abang selalu bela gue. Kalaupun memang alibi, gue maklum, lo pasti juga sangat tertekan."

"Lo benar. Gue minta maaf karena sempat nunggalin lo sama ayah dan ibu dulu. Pasti berat."

Richard mengangguk dengan pasti. "Banget. Tapi gue bukan orang lemah. Lihat! Sekarang bahkan ayah sudah ngakuin gue, bukan?"

Leo tersenyum. Ia tahu adiknya tidak lemah. Adiknya hanya butuh pembuktian saja.

"Ya, ya. Berterimakasihlah sama gadis itu. Secara gak langsung ia mengubah jalan pikiran lo. Mana tahu di masa depan ia akan lebih banyak bantu lo lagi."

Richard tertawa. Benar. Kalau tidak berkat Tasya ia tidak mungkin berpikiran untuk mengidealkan bentuk tubuhnya. Perjuangan itu memang benar adanya.

"Oh ya, sebenarnya ayah dan ibu menetap di sini selama proyek yang ayah tangani berlangsung. Mungkin lo bakal kesulitan karenanya."

"Gue gal terkejut sama hal itu. Gue pernah gak sengaja lihat mereka turun dari mobil gak jauh dari hadapan gue."

"Kenapa gak kasih tau gue?"

"Bukan hal penting juga, 'kan, bang? Yang penting mereka gak tinggal satu rumah sama kita."

"Soal itu sebenarnya ayah mengusir kita."

Richard menghela nafas gusar. Ia tak habis pikir. Ayahnya benar-benar keterlaluan.

"Tenang aja. Kita gak akan keluar dari sini. Gue udah tanganin."

"Caranya?"

"Udah gak usah dipikirin. Bukan hal yang penting."

Leo mengeratkan genggaman tangannya yang entah sedang mengepal apa. Yang jelas, terlihat gumpalan bekas kertas yang diremas di bawah kakinya.